Cari Blog Ini
Sebuah pojok fanfiksi berbahasa Indonesia, dibuat oleh penggemar untuk penggemar pula
Featured Post
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
There is a Love that's Good | Alien Stage: HyunLuka (Hyuna x Luka) Fanfiction | No Alien, Earth AU
Luka bukan tipe mahasiswa baru yang mudah dikenali. Itulah yang dipikirkan orang sekitar kala pertama kali melihatnya. Ia hampir tidak bergaul, sama sekali tak aktif di organisasi, dan selalu duduk di deret paling pojok di kelas Kalkulus Lanjut. Namun, tak ada dosen yang tak mengenalnya. Si jenius pendiam, langganan juara olimpiade Matematika Nasional sejak kecil. Nilai ujian semesternya pun selalu memuaskan, dengan probabilitas kelulusan mata kuliah sangat besar—99%. Luka dengan otak jeniusnya telah mencatat rekor baru, bahkan di sebuah universitas tersohor. Ia merupakan anak dari keluarga akademisi terpandang, selalu tampil rapi dengan jas panjang dan nada bicara kaku.
Dari semua itu, Luka bukan siapa-siapa. Setidaknya begitu menurut anak-anak kampus barunya—tipikal mahasiswa baru yang kaku, pendiam, dan terlalu pintar untuk ukuran orang biasa. Ia lebih nyaman mengutak-atik integral daripada ngobrol soal drama kampus. Tangan kanannya sering mengenggam pensil mekanik, dan tangan kirinya ....
... ada sebuah bekas luka kecil tetapi memanjang di pergelangan ....
... hasil dari ribuan malam penuh lelah dan begadang, ditemani penggaris logam.
Di sebuah ruang yang sunyi, suara dosen tua berkacamata bundar memecah suasana setelah membalik lembar-lembar tugas mahasiswa.
“Seperti biasa,” gumamnya sambil menepuk setumpuk kertas tebal, “Luka. Hasil kerjamu ... wow! Tidak hanya benar, tapi elegan. Fantastis! Pendekatanmu pada limit tak hingga ini … sejujurnya, saya belum pernah melihat mahasiswa baru menyelesaikannya dengan gaya sebersih ini.”
Beberapa kepala menoleh ke arah pojok belakang, tempat Luka duduk sendirian dengan wajah datar dan pensil mekanik di genggaman jemarinya.
“Ini sudah keberapa kalinya ya saya bilang?” lanjut sang dosen sambil terkekeh kecil. “Kalau saya bisa mengulang masa muda saya, mungkin saya akan coba jadi sepertimu, Luka! Meski saya tahu itu mustahil.”
“Wah, hebat, hebat. Saya rasa saya perlu mulai menyimpan salinan tugasmu, Luka. Untuk bahan diskusi kelas tahun depan,” tambah sang profesor lagi, lalu kembali melanjutkan dengan sebuah candaan, “tapi tolong jangan terlalu jenius, nanti yang lain makin minder!”
Luka hanya menunduk sedikit, tak mengatakan apa-apa, lalu kembali mencatat sesuatu di margin bukunya.
Sedemikian sempurnanya citra seorang Luka di kampusnya. Namun, siapa sangka, ada secuil ketidaksempurnaan dari banyak hal yang Luka miliki?
Di balik tembok kamarnya yang tenang, ada satu sisi yang kacau. Selalu terasa penuh, selalu terasa sesak—mencerminkan segala cerita yang pernah terlukis bagi sang pemilik ruangan. Sebuah sudut dinding penuh potongan majalah.
Setiap lembar majalah yang menyebut nama Hyuna ia sobek perlahan, lalu ia tempel di tembok kamarnya dengan rapi. Di bawahnya, ia kadang menulis dengan spidol merah:
She was here.
Dinding itu dipenuhi foto-foto Hyuna dari berbagai tahun. Seragam basket yang berbeda-beda, gaya rambut berubah-ubah. Satu hal yang tak pernah berubah: senyum itu.
Senyum yang Luka lihat terakhir kali di halte kecil dekat rumahnya, saat mereka masih duduk di kelas lima SD.
Hari di mana Hyuna lenyap dari kehidupannya ....
... meski tidak dari ingatannya.
đ。đŠč°‧₊˚⊹♡đ
Ada satu hari dalam seminggu di mana Luka memohon kepada supir pribadinya agar tidak menjemputnya begitu kelas selesai.
Hari itu ialah hari Jumat, hari terbitnya majalah mingguan yang sudah ia ikuti sejak SMP. Tak pernah tertinggal satu edisi sekalipun, seberapa mahalpun harganya.
Sayang sekali, bus kota hari ini tiba di halte kampus agak lebih terlambat dari biasanya. Luka menghentakkan kakinya tak sabar, sesekali melirik ke jam di tangan kiri dengan gusar. “Hyuna ... Hyuna ...,” gumam Luka, seraya mengeratkan cengkeramannya pada tiang halte.
Hyuna adalah nama yang familiar bagi siapa pun yang pernah membaca majalah olahraga SMA se-Asia Timur. Sang MVP tiga tahun berturut-turut, penyeret Dewi Fortuna bagi semua klub yang pernah ia gabungi. Wajahnya langganan terpampang di halaman depan. Terkadang, bisa saja satu kolom penuh hanya membahas teknik shooting-nya, kadang bisa juga hanya karena ragam ekspresi menariknya saat buzzer beater.
Semua tentang Hyuna membuat mereka menggila.
Namun bagi Luka, itu semua bukan semata soal prestasi. Semua itu bukti bahwa dia nyata. Bahwa dia pernah ada.
Bahwa luka ini bukan delusi.
Brrr ... pssssssshhh!
Tak lama kemudian, sebuah bus berhenti di depan Luka dengan desisan pelan. Bus kota itu akhirnya tiba. Suara berat mesin tua bercampur desisan rem angin menembus kekalutan Luka. Badannya kekuningan pudar, catnya mengelupas di beberapa sisi, dan knalpotnya menyemburkan asap putih pekat sesaat setelah berhenti.
Ban depan melindas genangan kecil hingga menyipratkan air kotor ke trotoar, lalu pintu lipatnya terbuka dengan decit serak, seolah menjerit karena usia. Di dalamnya, hanya ada dua-tiga penumpang yang terlihat setengah terlelap. Aroma logam tua dan oli samar-samar menguar dari balik sela-sela lantai bus yang mulai berkarat.
Luka melangkah naik tanpa pikir panjang, mengabaikan derit lantai dan sentakan kecil tiap mesin menggeram kembali. Tangannya gemetar ringan saat meraih gantungan tangan, tapi bukan karena lelah, melainkan karena tak abar.
Begitu bus mulai melaju, Luka melirik lagi ke jam tangannya. la tahu betul, kedai buku di pojok jalan itu hanya buka sampai pukul lima sore, dan biasanya edisi baru akan langsung habis tak lama setelah pintu dibuka. Luka menggertakkan gigi.
Sesampainya di depan toko, bahkan sebelum bus berhenti sepenuhnya, Luka sudah berdiri. Bus melambat menjelang tikungan terakhir, lalu ....
... sreeeeeeet ... pssssssshhh!
Rem angin dilepas, dan kendaraan besar itu berhenti dengan helaan napas panjang.
Luka melompat turun bahkan sebelum pintu sepenuhnya terbuka. Udara di luar terasa lebih tajam, lebih dingin, seperti baru saja lahir kembali dari mimpi buruk.
Luka berlari kecil menuju kedai buku di pojok jalan, meski setiap aktivitas fisik berlebih dapat membuatnya kehabisan napas. Meski paru-parunya terasa menyempit, meski tubuhnya memprotes tiap langkah, Luka tahu ia harus bergegas.
Langkahnya melambat sejenak saat ia sampai di depan pintu kedai. Bel kecil berdenting pelan saat ia mendorong pintu kaca, dan aroma kertas serta tinta familiar menyambutnya seperti rumah yang lama ditinggalkan. Dunia seakan melambat. Hanya satu hal yang ia cari di antara rak-rak kayu berderet: sampul berwarna cerah dengan sosok perempuan bertubuh lentur dalam pose lay-up, keringat di pelipisnya berkilau seperti perak di bawah lampu stadion. Hyuna.
Majalah itu tersisa dua. Tangannya sedikit bergetar saat menyentuh permukaan sampul yang masih hangat dari pencetak. Ia menatap foto itu lama.
Hyuna sedang tersenyum kecil, tidak ke arah kamera, tapi seolah pada seseorang yang berdiri di pinggir lapangan. Luka menelan ludah. Ia tahu senyum itu bukan untuknya, tapi tetap terasa seperti hadiah.
Tak pernah ia merasakan haru akan keberhasilan sedalam ini. Tidak, tidak bahkan saat ia sukses membawa pulang medali emas olimpiade matematika internasional.
“Taksi!” seru Luka, seraya melambaikan tangannya. Majalah didekapnya erat di dada, seakan takut menguap jika tersentuh udara terlalu lama.
đ。đŠč°‧₊˚⊹♡đ
Langit senja menggantung kelabu saat Luka berdiri di depan gedung olahraga dengan napas tertahan. Dari balik kaca tinggi, lampu-lampu stadion menyala terang, menggores gelap seperti sorotan mimpi. Suara sorak-sorai dari dalam gedung terdengar seperti gema dalam kepala Luka.
Pertandingan belum dimulai, tapi tribun sudah penuh. Luka menggenggam tiket di dalam sakunya erat-erat, merasakan sudut kertasnya menusuk jari.
“Ayo,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Langkahnya perlahan memasuki arena, tapi jantungnya berdebar seperti baru saja lari dari badai. Luka tahu, ini bukan sekadar pertandingan. Lagipun, sebelumnya Luka telah mempelajari terlebih dahulu teknik-teknik permainan basket, jadi seharusnya dia aman.
Sorak-sorai meledak saat Hyuna mencetak three-point shot di detik terakhir kuarter ketiga. Skor imbang. Luka, yang sempat ragu mencari kursinya, kini terpaku di tepi tribun, lupa bernapas. Matanya hanya tertuju pada nomor punggung 23, satu-satunya alasan ia di sini.
Kuarter keempat benar-benar medan perang yang gila. Dua menit terakhir, tim Hyuna memimpin dengan selisih dua angka. Luka meremas lengan jaketnya. Semua orang berdiri. Waktu tersisa tinggal tiga puluh detik. Cukup untuk satu permainan terakhir.
Pelatih tim lawan mengambil timeout. Saat pertandingan dimulai lagi, Hyuna memimpin pertahanan. Keringat membasahi pelipisnya, lututnya menegang. Ia mengatur posisi, membaca pergerakan lawan.
Satu operan ke sayap kiri. Pemain lawan mengecoh. Hyuna bergerak cepat menutup jalur—lalu terjadi benturan. Tubuhnya jatuh lebih dulu ke lantai.
Wasit meniup peluit.
Foul.
Hyuna.
Penonton riuh. Luka menegang.
Tayangan ulang di layar besar menunjukkan kontak tubuh yang seharusnya masuk kategori 50-50. Namun, wasit telah membuat keputusan. Dua lemparan bebas diberikan untuk lawan, dan satu pemain utama—Hyuna–dikeluarkan dari lapangan karena foul keempatnya.
Lemparan pertama masuk.
Imbang.
Lemparan kedua ...
masuk juga!
Dengan waktu tinggal 5 detik, tim Hyuna mencoba menyerang balik. Tapi tanpa Hyuna di lapangan, ritme mereka goyah. Bola sempat diperebutkan, lalu meluncur keluar garis.
Waktu habis.
Peluit panjang terdengar.
Pertandingan terakhir Hyuna musim ini berakhir dengan sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya: kekalahan. Skor akhir terpampang di layar digital, dan angka itu menghantam Hyuna lebih keras daripada benturan apa pun yang pernah ia terima di lapangan.
Lampu-lampu stadion dalam ruangan mulai diredupkan perlahan. Sorak sorai berubah menjadi bisik-bisik penuh rasa tak percaya. Beberapa rekan setimnya memeluknya singkat lalu pergi menunduk, membiarkannya sendiri.
Ia berjalan tanpa arah di lorong belakang stadion. Tangan kirinya memegang erat handuk kecil yang kini tak lagi menyerap keringat, hanya menjadi pelampiasan emosi. Saat sampai di ujung lorong beton, dinding abu-abu menjadi sasaran.
Ia meninju sekali.
Keras.
Sekeras kemarahannya yang tidak bisa terucap oleh kata.
Brak!
Tangan kanannya bergetar. Napasnya berat. Keringat mengalir deras di pelipis. Dunia terasa sempit, dan diam-diam ia ingin larut dalam kehampaan ini.
Lalu, suara langkah datang.
Hyuna menoleh. Luka berdiri di sana, tak terlalu dekat, namun cukup untuk membuat waktu berhenti sejenak.
Ia mengenakan kemeja putih tipis dan jaket rajut kebesaran, seperti murid kutu buku yang salah masuk arena gladiator. Namun sorot matanya—tenang, nyaris terlalu jernih untuk ukuran malam yang sekelam ini—bertemu mata Hyuna yang berkabut amarah.
Hyuna membuka mulut, mungkin untuk bertanya kenapa Luka ada di sini, atau untuk memintanya pergi. Tapi tak ada satu kata pun yang keluar. Luka juga diam. Ia hanya menyodorkan sebotol air yang belum dibuka, tanpa banyak gerakan, tanpa basa-basi.
“Untukmu,” katanya pelan.
Hyuna menatap botol itu seperti benda asing, namun akhirnya mengambilnya. Tangannya basah karena keringat, dan sedikit gemetar saat menyentuh jari Luka—hanya sekejap.
Luka menunduk ringan. “Hyuna,” katanya lagi, lebih pelan dari tadi. “Kami selalu ada di sisimu.”
Suaranya nyaris tak terdengar, tapi gaungnya menempel di dinding hati Hyuna. Tidak aku, tetapi kami. Luka tak berani mengklaim kehadiran itu sendirian. Entah siapa yang ia maksud dengan kami itu. Mungkin ingatan lama, mungkin masa kecil mereka, mungkin Luka dan kenangan yang ia rawat seorang diri.
Hyuna tidak menjawab. Hanya menatap Luka, lama. Seolah mencoba mencari bentuk luka yang tersembunyi di balik sorot mata bening itu.
Akan tetapi, Luka sudah melangkah pergi sebelum tatapan itu menemukan jawabannya.
Ia tak menoleh sedikit pun. Namun jantungnya berdetak terlalu cepat, nyaris seperti genderang kemenangan yang tak pernah ia menangkan.
đ。đŠč°‧₊˚⊹♡đ
Dua tahun kemudian, penerimaan mahasiswa baru.
Hari itu, langit menggantung mendung yang belum jatuh.
Hyuna berjalan pelan di antara tumpukan koper, wajah-wajah baru, dan pengumuman organisasi kampus. Ia baru saja melepas seragam, menyimpan sepatu basketnya di rak kenangan, dan memulai hidup baru di tempat yang tak pernah menjanjikan kemenangan mudah.
Ia tak menyangka akan bertemu Luka lagi. Akan tetapi saat itu juga, tak ada yang mengejutkan lagi dalam hidupnya, kecuali mungkin kenyataan bahwa Luka tak berubah sedikit pun.
Dia melihatnya duduk di bawah pohon tua dekat lapangan kampus, sendirian. Membaca majalah yang sudah sedikit tertekuk di sudutnya. Wajah di sampulnya: dirinya sendiri. Foto lama, dari tahun pertama kejuaraan.
Hyuna mendekat tanpa suara.
Keheningan menyelimuti keduanya, hingga akhirnya Hyuna membuka mulut, “Senior Luka.”
Luka mengangkat wajah. Kali ini, senyumnya datang duluan, sebelum kata-kata.
Hyuna terkekeh geli, seraya menunjuk majalah dalam genggaman Luka. “Kamu masih membaca itu?”
Luka mengangguk.
“Kamu gila,” seloroh Hyuna, lalu tertawa kecil. Miris. Masa keemasannya sebagai atlet basket putri telah lama rampung, ditutup dengan kelalahan pertama dan terakhirnya yang pahit. Semua tentang Hyuna membuat mereka menggila, tak terkecuali berita kehancuran sang jawara muda.
Namun, tampaknya Luka tak memusingkan hal itu. Baginya, sekali bintang pernah bersinar begitu menyilaukan di angkasa, meski pada akhirnya sang bintang mengalami supernova, tak akan pernah menghilangkan legasi yang pernah diampunya. Sebagai jawabannya atas kelakar menyedihkan Hyuna, Luka mengedikkan bahu pelan. “Mungkin.”
Hyuna mendekat tanpa suara.
Ada momen hening setelah itu, tetapi Hyuna tidak bisa menahan pikirannya untuk kembali ke masa lalu ... kembali pada hari yang seharusnya menjadi titik terendah dalam kariernya. Hari itu, ketika ia terjatuh setelah sebuah kekalahan yang tak pernah ia duga.
Kekalahan pertama dan terakhirnya di pertandingan kejuaraan, yang mengubur segala impian dan harapan.
Namun, Luka hadir saat itu. Ia tidak datang untuk menghibur, tidak menawarkan kata-kata bijak. Dia hanya berdiri di sampingnya, melihatnya dengan mata yang penuh pengertian, mengulurkan botol air dengan senyuman yang tidak bisa Hyuna lupakan.
Kata-kata Luka saat itu mengalir dengan begitu alami, menghapus sebagian dari rasa sakit yang ada di hatinya. Hyuna teringat bagaimana Luka selalu ada, memberikan semangat meski tak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah hasil pertandingan. Tidak ada kata-kata yang lebih berarti saat itu. Hanya kehadiran dan kenyataan bahwa Luka tetap ada di sana, sebagai saksi kesakitan dan kegagalan yang ia rasakan.
Mereka memang tak berbicara panjang hari itu, tetapi sesuatu dalam diam itu berubah. Luka tak lagi hanya mengumpulkan serpih masa lalu—ia mulai dapat melihat dirinya berjalan ke masa depan, bersama Hyuna.
Dan Hyuna, untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir, menatap seseorang bukan sebagai lawan, bukan sebagai beban kekalahan ....
... melainkan sebagai saksi yang tak pernah pergi.
đ。đŠč°‧₊˚⊹♡đ
Hyuna merasakan kelelahan yang mendera setiap inci tubuhnya begitu dia membuka pintu apartemennya. Seharian dia terjebak di ruang kampus, tenggelam dalam tumpukan skrip kuno peninggalan kerajaan Gojoseon yang harus dia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris sastra. Matanya sudah berat, dan pikiran seakan melayang di luar tubuhnya. Ia ingin langsung berbaring di tempat tidur, menutup mata sebentar, melupakan dunia yang terlalu keras hari ini.
Namun, begitu pintu apartemen terkatup di belakangnya, ada aroma makanan yang langsung menyergap indra penciumannya. Instingnya langsung terjaga. “Apa-apaan ini?” gumamnya, masih lelah namun penasaran.
Kala ia melangkah ke ruang tamu, matanya terbelalak melihat Luka duduk di sofa, dengan setumpuk piring dan mangkuk di meja makan kecil di depan dirinya. Makanan itu terlihat seperti hidangan rumahan yang sempurna.
Nasi dengan daging tumis, dan sup bening yang menguap harum.
Luka, dengan ekspresi tenang dan sedikit canggung, duduk di sana, mengenakan pakaian kasual yang masih cukup rapi meskipun tak seperti biasanya. Ia menoleh ke arah Hyuna yang berdiri di pintu dengan pandangan bingung.
“Selamat datang di apartemenmu, Hyuna,” katanya dengan suara datar yang tidak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun. “Aku sudah buat makan malam, kamu pasti lapar setelah hari yang panjang.”
Hyuna terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Luka di sini, di apartemennya, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Lebih aneh lagi, dia tahu persis cara masuk.
“Tunggu, bagaimana kamu bisa masuk?” tanya Hyuna, dengan sedikit gugup. Ia was-was, tetapi masih juga takut menyinggung perasaan Luka.
Luka hanya mengangkat bahu, tanpa ekspresi cemas. “Kamu selalu merapalkan passkey-mu saat memasukkan kode,” jawabnya sambil tersenyum tipis. Tangannya menggapai Surai coklat Hyuna. "aku hanya mengingatnya. Tidak masalah, kan?"
Hyuna menghela napas, sedikit kesal namun lebih merasa terkejut dan bingung. Namun, meski pikirannya berkecamuk, ia mencoba menenangkan diri. “Kamu ini memang ... hah! Baiklah, ayo, duduk. Kita makan,” katanya, suaranya mulai mereda.
Luka tersenyum, jelas menikmati situasi ini. Tanpa banyak bicara, Hyuna duduk di kursi yang berhadapan dengan Luka. Mereka mulai makan bersama, dengan suasana yang sedikit kaku namun tetap nyaman. Hyuna terkadang melirik Luka yang dengan cermat menyendok makanannya, seolah tidak ada yang aneh.
Setiap kali matanya berpapasan dengan mata Luka, ada ketegangan yang tidak bisa ia jelaskan. Luka, yang diam-diam selalu ada di latar belakang kehidupannya, sekarang hadir dalam kehidupan pribadi Hyuna, memasuki ruang yang biasanya hanya untuk dirinya sendiri. Keheningan yang mengiringi makan malam mereka terasa lebih berat, seolah ada lebih banyak hal yang tak diungkapkan, lebih banyak yang tersimpan di balik tatapan Luka yang selalu penuh teka-teki.
Hyuna menelan suapan terakhirnya, memutuskan untuk tidak lagi menanyakan bagaimana Luka bisa tahu segalanya tentang dirinya, termasuk tempat tinggalnya, atau betapa dia bisa membuat makanan ini dengan sempurna. Luka adalah Luka, selalu berada di antara kenyataan dan khayalan, sulit untuk ditebak.
"Semuanya enak," kata Hyuna akhirnya, berusaha memecah keheningan yang terasa menyesakkan. "tapi, kenapa kamu melakukannya?"
Luka hanya tersenyum tipis, tatapannya lembut tapi penuh arti. "Aku hanya ingin melihatmu bahagia, Hyuna. Itu saja," jawabnya singkat, seolah itu adalah alasan yang cukup.
Hyuna menunduk, berusaha menyembunyikan perasaan tak nyaman yang tiba-tiba menyeruak dalam dadanya. Luka memang selalu seperti itu, ada tanpa diundang, tahu lebih banyak daripada yang seharusnya, dan dengan cara yang sulit untuk diabaikan.
Namun, maksud Hyuna bukan benar-benar datang tak diundang ke apartemennya seperti ini.
đ。đŠč°‧₊˚⊹♡đ
Sejak hari itu, mereka bertemu lagi. Sesekali. Dua kali. Seringkali.
Kebetulan aneh, kata Hyuna.
Namun, Luka tak pernah merasa begitu. Luka mencatat semuanya. Warna hoodie, cara Hyuna mengikat tali sepatu, bahkan makanan yang dia pesan di kafetaria kampus.
Dan saat Hyuna sedang tidak melihat, Luka mencuri serbet yang ia buang, sobekan tiket bioskop, bahkan catatan latihan yang jatuh di bangku perpustakaan. Semua dimasukkan ke dalam folder khusus. Bukti bahwa mereka masih pernah berjalan berdampingan, walau hanya sejenak.
Namun, Luka tahu sesuatu telah berubah.
"Our same old habits, proof that we were together ... but now we speak different things."
Hyuna tak lagi menyukai cokelat susu. Ia tak ingat pohon akasia tempat mereka menggambar nama di batangnya. Ia bahkan tak tahu, bahwa Luka pernah—dan masih—menyukainya.
Hyuna telah tumbuh.
Sementara Luka tetap memelihara versi dirinya yang dulu.
... atau mungkin tidak.
Hari itu, setelah latihan basket, Hyuna memutuskan untuk melewati kafe kampus yang biasa ia kunjungi. Langkahnya berhenti sesaat ketika ia melihat seseorang yang sudah tidak asing.
Luka.
Dia duduk di meja pojok, menyandarkan punggung pada kursi dengan ekspresi tak terbaca, matanya mengikuti pergerakan Hyuna yang berjalan mendekat.
Hyuna menarik napas, mengalihkan pandangan sebentar, lalu terus berjalan tanpa memberi isyarat. Luka sepertinya mengerti, karena saat dia melihat punggung Hyuna yang menjauh, ia bangkit dengan cepat dan mengikuti di belakangnya.
“Hyuna,” Luka memanggil lembut, dan suara itu membuat Hyuna terhenti.
“Luka,” jawabnya, tanpa menoleh.
Luka berdiri di sampingnya, wajahnya penuh dengan senyum yang sudah sangat dikenal. Senyum yang dulu sempat menghangatkan hati Hyuna. Namun kali ini, rasanya hanya memberi ketegangan.
“Kenapa buru-buru? Kita nggak pernah ngobrol lagi,” katanya sambil menatapnya. Hyuna mengerutkan dahi.
“Aku ada urusan,“ jawab Hyuna singkat, mencoba untuk tidak terbawa suasana.
“Tunggu sebentar,” Luka bersikeras. “Ayo, kita ngobrol dulu. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan.”
Hyuna memandangnya, merasa sedikit cemas. Sesuatu dalam cara Luka memandangnya membuatnya merasa tidak nyaman. Sebelum ia sempat berkata apa-apa, Luka melangkah lebih dekat, menempatkan dirinya di depan Hyuna, seolah mencoba menghalangi jalannya.
Hyuna mundur sedikit, wajahnya meringis. “Luka, kita bukan lagi teman masa kecil yang dulu. Jangan terlalu jauh,” katanya, mencoba memberi batasan.
Luka hanya tertawa kecil, tetapi senyumnya tidak sampai ke mata. “Kita masih bisa seperti dulu, kan? Kita punya banyak kenangan bersama.”
Hyuna merasa ada yang aneh dengan suasana itu. Luka terus melangkah lebih dekat, semakin membatasi ruang pribadinya. Matanya tak bisa lepas dari wajah Hyuna, seakan ia memeriksa setiap ekspresi yang muncul. Hyuna mulai merasa terperangkap.
“Tolong, Senior Luka. Aku nggak nyaman,” kata Hyuna dengan suara yang sedikit tegang.
Namun Luka tak bergeming. Sebaliknya, ia melangkah lebih dekat lagi, kali ini dengan tangan yang menjulur ke arah Hyuna. “Kita bisa kembali seperti dulu. Aku yakin itu.”
Hyuna mundur, menepis tangan Luka dengan gerakan cepat. “Kamu nggak paham, Luka! Kita sudah bukan seperti itu lagi! Jangan invasi ruang pribadiku!”
Wajah Luka berubah, sedikit terkejut. Dia menyentuh wajahnya, seperti mencoba mencerna kata-kata Hyuna. “Aku hanya ingin kita kembali dekat, Hyuna. Apa salahnya?”
Hyuna merasa matanya mulai panas. Luka, yang dulu begitu mengenal dirinya, kini terasa asing. Luka yang ia kenal bukanlah pria yang berdiri di depannya sekarang. Luka yang ini tidak bisa menerima batasan—dan itu yang membuat Hyuna takut.
“Aku ... aku harus pergi,” kata Hyuna, suaranya lebih tegas.
Namun sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, Luka melangkah cepat, menangkap lengannya dengan erat. “Jangan pergi! Aku hanya ingin kamu tahu, kita bisa punya lebih dari sekadar memori!”
Hyuna merasa detak jantungnya berdetak lebih cepat. Tangannya gemetar, dan rasa cemas itu berubah menjadi ketakutan yang semakin kuat. “Luka, lepaskan aku!”
Untuk pertama kalinya, Hyuna merasakan ketegangan yang begitu mendalam. Luka yang tak lagi mengenali batasan, yang mencuri setiap serpihan kenangan mereka—kenangan yang ia kira akan tetap aman. Memori lampau yang mampu membentengi dan menjadi alibi dari segela tindak-tanduknya. Memori lampau yang ia kira, dapat menjadi penangkal dari segala racun yang sengaja maupun tak sengaja dalam ikatan mereka.
Dengan tangan yang gemetar, Hyuna meraih ponselnya dan dengan cepat menelepon polisi. “Saya ingin melaporkan penganiayaan,” katanya dengan suara bergetar.
Luka yang menyadari apa yang terjadi, menatap Hyuna dengan tatapan kosong. “Hyuna ... kamu nggak bisa seperti ini. Kita ... kita masih bisa ....”
Namun suara sirene polisi sudah semakin dekat. Luka mundur sedikit, tetapi perasaan bersalah dan kebingungannya tak bisa ia sembunyikan.
Hyuna berdiri tegak, tidak mengalihkan pandangan dari ponselnya. Ia berusaha terlihat tegar, meski seluruh tubuhnya telah gemetar tak terkira. Meski ia tahu, jauh di lubuk hatinya, ia menyayangkan apa yang Luka dan ia lakukan. Hyuna sendiri pun tahu, tak akan pernah sampai hati ia membalas kepada Luka dengan tangannya sendiri.
Akan tetapi, bagaimanapun juga, hanya ini satu-satunya cara untuk menjaga diri.
Luka ....
... bukan tipe orang yang bisa Hyuna konfrontasi terang-terangan, menggunakan fisik.
Berhadapan dengan orang seperti Luka, memang mengharuskannya sedikit memutar otak. Tidak ada yang pernah bisa benar-benar menebak apa yang ada di balik ekspresi datarnya, atau apa yang sebenarnya sedang dipikirkannya. Luka bukan tipe orang yang langsung menunjukkan apa yang ia inginkan atau rasa ...
... dan itu membuat segalanya menjadi rumit.
Setiap perkataan atau tindakan harus dipikirkan ulang, seolah setiap kata yang keluar bisa menjadi kunci untuk membuka pintu yang selama ini terkunci rapat-atau malah mengarahkannya pada jurang yang lebih dalam. Tidak ada jalan pintas ketika berurusan dengan Luka ....
... dan syukurlah, kali ini akhirnya Hyuna memilih hal yang tepat.
đ。đŠč°‧₊˚⊹♡đ
﹌﹌﹌﹌﹌
♯┆song of the day .á
Postingan Populer
Summer Fireworks — Genshin Impact Oneshot Fanfiction: Tomo, Kazuha, Yoimiya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Rekomendasi Manhwa Bertema Hubungan Ayah-Anak!
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar