Langsung ke konten utama

Featured Post

Ashes Under the Aspen | Genshin Impact Fanfiction: MavuiTano / CapUika ( Mavuika x Capitano ) — America Colonization AU

    Hutan aspen di kaki Pegunungan San Juan tunduk pada kesunyian kala cahaya rembulan menyinari jagat. Dedaunannya berdesir pelan seperti desahan roh-roh tua bersahutan. Batang-batang putihnya menjulang bak jemari para dewa yang lupa bagaimana rasanya menyentuh bumi. Tahun di catatan sejarah telah menginjak angka 1908, rel kereta telah mulai menggigit pinggiran barat Colorado.  Sungai Arkansas mengalir lambat saat matahari terbenam, membelah tanah merah dan hutan pinus menjadi dua dunia yang tak pernah saling bicara. Di sisi timur berdiri kokoh kediaman keluarga Hadleigh, bangsawan kulit putih, pemilik tanah, pemegang kontrak dagang, dan peluru. Di sisi barat, di balik bayang-bayang pohon aspen, hidup suku Tetsune—para penjaga gunung, peramu hujan, dan pewaris bumi—jauh sebelum peta-peta dibuat. Kendati dunia luar sudah berubah mengikuti perkembangan zaman, masih ada satu sudut kecil yang belum terjamah modernisasi. Tempat itu tidak tergambar dalam peta manapun, tidak di...

Monosea | Honkai Impact 3rd: KiaMei ( Kiana Kaslana x Raiden Mei )

  Dahulu, ada seorang gadis cerewet yang tak bosan memanggil nama Mei dengan nada sembrono — kepalang ceria, urakan, dengan senyum cerobohnya yang lebar terukir di wajah— namanya Kiana Kaslana. Adik kelas yang selalu terlalu penuh energi dan entah bagaimana, lama-kelamaan Mei pun terbiasa dengan keberadaannya.


"Kak Mei! Hari ini bawa bekal enggak? Aku bawa teh susu~ kita barter, ya?"

"Kak Mei! Aku ikut klub sastra juga, lho. Biar bisa lihat Kak Mei tiap hari!"


Waktu itu, setiap langkah Kiana selalu disertai suara. Tertawa, celoteh, atau protes manja. Bersamaan dengan jutaan tingkah serampangan Kiana, setiap itu pula Mei hanya mendesah pelan, pura-pura kesal, pura-pura sibuk. Padahal, sejak kapan, sih, pagi-pagi terasa kosong kalau tak ada suara Kiana?


Lalu suatu hari, Kiana berhenti datang ke sekolah. Berminggu-minggu ia absen tanpa kabar—keberadaannya bagai hilang ditelan bumi.

Sekali lagi, Mei mengingat seruan-seruan sembrono yang dilantunkan bibir tipis itu.

"Kak Mei, Kak Mei! Aku mimpi Kak Mei jadi daun bawang tadi malam!"

"Kak Mei, teh susu aku kepedesan, bantu habisin dong~"

"Kak Mei, kenapa sih muka Kak Mei kayak soal pilihan ganda? Bingungin banget."


Sekarang, tak ada lagi suara-suara cempreng itu.





Sampai akhirnya, semester baru dimulai dan gadis itu kembali. Berjalan melewati koridor sekolah seperti orang asing, seragam rapi, langkah tenang, mata dingin. Tanpa senyum. Tanpa suara.


Kiana melangkah melewati lorong sekolah seperti orang asing yang mengenakan seragam lama. Wajahnya sama, tapi sorot matanya—tidak. Pandangannya seperti laut yang kehilangan gelombang. Jauh. Datar. Dingin.

Kiana telah kembali, ya. Tapi seperti lukisan yang telah dibersihkan terlalu keras-warnanya pudar, ekspresinya hilang.


Dia datang kembali ke sekolah setelah absen selama hampir dua bulan. Tak ada penjelasan. Hanya tubuh yang sama, nama yang sama, tapi jiwanya... seperti laut yang kehilangan gelombang.


Kiana yang itu terasa asing—sama sekali bukan Kiana yang Mei kenal.


Kiana duduk di barisan belakang sekarang. Tak ikut klub sastra. Tak lagi menyapa Mei, apalagi mengejarnya dengan teh susu di tangan. Matanya selalu menatap jauh—entah ke mana. Dan yang paling menyakitkan, ia bahkan tidak tampak merindukan siapa pun.


Mei bisa saja menyapanya lebih dulu. Mei tahu dia bisa saja bertanya. Bisa menarik tangan Kiana, memaksa jawaban. Tapi entah mengapa, ada sesuatu dalam tatapan Kiana yang baru itu… yang membuat Mei tercekat. 

Suatu hal yang membuatnya takut tahu jawabannya.


Lalu hari-hari berlalu dalam senyap. Mei mulai menghafal cara baru Kiana menunduk di kelas. Menghitung detik saat mereka saling lewat tanpa sapa. Cara ia menatap jendela lebih lama dari papan tulis. Cara diamnya terasa seperti pagar tinggi yang tak bisa Mei lewati. 

Tiap kali iris ungunya beradu rayu dengan iris biru Kiana, Mei menatapnya dalam-dalam—membayangkan, bagaimana dulu Kiana akan menyapanya kalau tidak begini.


*


Suatu sore, di ruang bimbel menjelang ujian masuk perguruan tinggi, hanya mereka berdua yang tersisa.

Kiana Kaslana.



Raiden Mei.





Kiana dan Mei.



Sunyi. 





Seperti dua planet yang tak lagi punya gaya gravitasi yang sama.




Kiana duduk di sudut, membuka catatan.

Mei berdiri di depan pintu, ragu. Jemarinya mengepal. Netra lavendernya berusaha mencari-cari titik temu dengan mata Kiana. Mei mendesah ringan kala upayanya gagal, lalu mengeluh, “Kenapa kamu nggak pernah nyapa aku lagi?”

Kalimat itu akhirnya keluar. Lebih lirih dari yang ia maksudkan, tapi cukup untuk membuat Kiana mengangkat kepala. Meski pelan—nyaris malas.

“Lebih suka aku yang dulu?” tanya Kiana dengan nada aneh, seolah dirinya tengah menyebut nama hantu. Nada suaranya pelan—bukan lembut. Tapi dingin, terlampau tenang untuk jadi damai.

Mei ingin menjawab. Ingin marah. Ingin berteriak bahwa ia rindu. Bahwa pagi-paginya jadi tidak utuh. Tapi lidahnya kelu.

“Yang dulu udah nggak ada,” ujar Kiana. Ia berdiri. Menatap Mei seperti sedang melihat cermin yang pecah—pernah utuh, kini berantakan.

“Dan yang sekarang… nggak butuh jawaban dari kamu, Kak Mei.”




Lalu ia pergi.



Meninggalkan Mei di tengah ruangan yang tiba-tiba terasa terlalu besar. Terlalu kosong. Terlalu banyak kata yang gagal terucap.







Beberapa minggu sebelum ujian masuk, Mei bermimpi.

Dalam mimpinya, Kiana yang dulu datang lagi. Dengan teh susu dan senyum cerobohnya. Duduk di meja belajar yang berantakan. Menyodorkan soal fisika dan hati sekaligus.


“Besok aku nggak bisa nemenin Kak Mei belajar lagi, ya.”



“Lho? Kenapa?”




“Karena Kak Mei terlalu serius. Nanti Kak Mei jatuh cinta beneran, gimana dong?”




Mei terbangun. Napasnya tercekat.
Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar mengerti.


Yang menyakitkan bukan hanya karena Kiana berubah.



Tapi karena Kiana tidak tahu—bahwa di antara semua pilihan yang Mei benci, hanya satu yang tak pernah ia sangkal:



Andai kamu tetap tinggal, mungkin aku akan mengejarmu balik.




Sejuta alasan—yang ia tahu tak mungkin pernah cukup jadi alibi pendukung ego tingginya.









Komentar

Postingan Populer