Featured Post

Ashes Under the Aspen | Genshin Impact Fanfiction: MavuiTano / CapUika ( Mavuika x Capitano ) — America Colonization AU

    Hutan aspen di kaki Pegunungan San Juan tunduk pada kesunyian kala cahaya rembulan menyinari jagat. Dedaunannya berdesir pelan seperti desahan roh-roh tua bersahutan. Batang-batang putihnya menjulang bak jemari para dewa yang lupa bagaimana rasanya menyentuh bumi. Tahun di catatan sejarah telah menginjak angka 1908, rel kereta telah mulai menggigit pinggiran barat Colorado. 

Sungai Arkansas mengalir lambat saat matahari terbenam, membelah tanah merah dan hutan pinus menjadi dua dunia yang tak pernah saling bicara. Di sisi timur berdiri kokoh kediaman keluarga Hadleigh, bangsawan kulit putih, pemilik tanah, pemegang kontrak dagang, dan peluru. Di sisi barat, di balik bayang-bayang pohon aspen, hidup suku Tetsune—para penjaga gunung, peramu hujan, dan pewaris bumi—jauh sebelum peta-peta dibuat.

Kendati dunia luar sudah berubah mengikuti perkembangan zaman, masih ada satu sudut kecil yang belum terjamah modernisasi. Tempat itu tidak tergambar dalam peta manapun, tidak dikenali oleh sistem penjajahan, dan tidak dicatat oleh negara. Di sanalah waktu tunduk pada hal yang lebih tua dari sejarah.



Capitano Hadleigh berdiri di pinggir sungai dengan tangan berlumur tanah dan sisa darah rusa di jari-jarinya. Seragam abu-abunya tak lagi bersih. Ia datang bukan sebagai pewaris Hadleigh hari itu, tetapi sebagai pria yang ingin melihat wajah yang tak bisa ia hapus dari pikirannya.

la mencium bau pinus basah ... dan entah mengapa, ia jadi teringat momen Mavuika menyelipkan serpihan daun itu ke dalam saku dadanya sambil berkata, “Agar kau tahu mana arah angin pulang.” 


Saat itu, ia hanya tertawa. 



Sekarang, kini ia meraba lagi saku itu—serpihannya masih ada.



... dan di bawah pohon aspen raksasa pinggir hulu Sungai Arkansas itu, seorang gadis lokal menunggunya.


Gadis itu duduk di atas batu yang biasa mereka duduki bersama. Kali ini rambut kemerahannya terurai panjang, masih mengenakan kalung dari gigi serigala yang pernah ia lepas saat tertawa di dada Capitano. “Kukira kau takkan kembali,” katanya tanpa menoleh.


Capitano menarik napas panjang. “Andai aku tak kembali ke tempat ini, Mavuika ... apakah engkau akan mencariku, meski dunia tak menghendaki kita bertemu lagi?”


Ia berbalik. Mata mereka bertemu.


Sang gadis Indian, dipanggil Mavuika, menyipit. “Jika kau mati, aku akan mengambil jantungmu dan menguburnya di bawah pohon aspen tertua, agar kau tak pernah bisa pergi.”


Capitano terkekeh mendengar ujaran Mavuika. “Betapa romantisnya.”


Setelah ujaran Capitano itu, kesunyian merebak di sekitar mereka. Sunyi menyisakan desir air dan burung hantu muda yang memecah senja.


Cukup lama mereka tidak bicara. Sementara Capitano duduk di sebelahnya tanpa bersuara, Mavuika melemparkan sesuatu kecil ke kaki Capitano.


Buah pinus kering.


“Masih ingat?” tanyanya pelan.


Capitano sedikit membungkukkan badan untuk mengambilnya. Tentu saja ia ingat. Buah pinus kering ... itu benda pertama yang Mavuika lemparkan ke kepalanya kala pertama kali mereka bertemu.


Mereka saling membenci saat pertama kali bertemu. Capitano menodongkan senapan ke arah perkemahan Tetsune yang ia kira kamp penyelundup. Kala itu, sebagai balasan, dalam waktu kurang dari lima detik Mavuika telah menempelkan belati di lehernya.

“Lihat? Darah bangsawan tak menjamin penglihatan tajam,” ejeknya waktu itu. “Kau tidak tahu mana musuh, mana yang hanya ingin hidup.”

Sejak itu, mereka bertemu diam-diam. Di antara pohon-pohon aspen yang mengelupas kulitnya di musim gugur, mereka bicara tentang hal-hal yang tak pernah bisa dibicarakan dengan siapa pun ....


... tentang peliknya rasa bersalah, 


tentang kakek Captano yang bunuh diri karena kalah perang, 


bahkan tentang sosok ibu yang mengajari menganyam jaring sebelum perutnya tertembak peluru perjanjian ....


... banyaknya kisah yang terucap, mendekatkan mereka terhadap satu sama lain.


Mavuika terkekeh, turut mengenang momen-momen memorabel itu. Lalu ia melanjutkan tuturnya, “Buah pinus ... itu andaku untuk ‘jangan dekati aku’. Tapi kau bodoh dan tetap maju ....”


“... dan kau menepuk wajahku,” balas Capitano.


“Dengan cinta,” gumam Mavuika. Ia menyenderkan kepala ke bahunya, hanya sebentar. “Sekarang tandaku berubah. Kalau aku lempar buah pinus, artinya aku ingin kau tetap tinggal.”


Mendadak Mavuika bangkit dari duduknya, lalu menepuk-nepuk bagian bawah kain yang membalut tubuhnya. “Ayo kita cari ikan, yang dapat paling sedikit harus mencari kayu bakar malam ini!” teriaknya seraya berlari menjauh dari pohon aspen raksasa tadi. 


Capitano tertawa, lalu bergegas menyusul tempat Mavuika berada.


⋆˚࿔(⁝҉𓆮⸽҉⁞⸽҉⁝) 𝜗𝜚˚⋆


Mavuika dan Capitano selalu bertemu paling tidak seminggu sekali, di bawah pohon aspen raksasa yang akarnya menjalar hingga ke sungai—sebuah tempat yang tampaknya belum terjamah oleh siapapun, kecuali mereka. Jadwal pertemuan mereka berdua selama ini tak pernah meleset. Tepat saat pergantian antara matahari dan bulan, tetapi sebelum sang candrakala sempat bersinggah lebih tinggi di langit. Memang tak pernah ada kata janji yang membelenggu secara lisan, tetapi keduanya selalu hadir. Entah apa yang mengikat mereka: waktu, ingatan, atau keinginan merajut kasih yang tak sempat teranyam dengan betul.

Namun pada suatu hari, sang gadis Indian berambut kemerahan itu terduduk di bawah pohon aspen raksasa jauh lebih lama dari biasanya. Sendirian, tanpa lelaki dari bangsa kulit putih yang biasa duduk di sana bersamanya. Langit telah rebah sempurna. Angin dari gunung membawa hawa yang tak mengenakkan. 

Hingga burung hantu yang semula hinggap di dahan pohon aspen itu berpindah, sosok tinggi Capitano Hadleigh masih jua belum tampak.

Mavuika mendesah pelan. Ia melirik ke kalung taring serigala—hadiah Capitano–yang dipakainya, lalu membolak-balikkan gigi itu dengan perasaan campur aduk. Cemas, kecewa, dan takut. Gadis itu menengok ke cakrawala, bahkan kini kilau bintang pun semakin terkikis jumlahnya.


Dalam beberapa jam lagi, hari akan segera berganti.



Mavuika hendak berdiri, kala secercah cahaya tiba-tiba berkelebat di antara pepohonan. Cahaya itu kian mendekat, hingga akhirnya tampak nyala sebuah lampion yang bergoyang pelan—disusul sosok jangkung berseragam compang-camping dari balik semak belukar. Napasnya tersengal, sepatu botnya terkotori oleh sisa-sisa lumpur—menandakan sang pemilik bot baru saja melewati bagian sisi timur sungai yang becek beberapa waktu lalu.


“Maaf,” lirihnya dengan suara nyaris patah. “Aku terlambat.”


Pupilnya mengecil kala mengetahui siapa yang datang. Ada setitik kelegaan pada sorot matanya. Kendatipun, Mavuika tak menjawab. Ia hanya menggeser duduknya, memberi Capitano tempat duduk di sebelah dirinya.


Capitano meletakkan lampion di antara mereka. Nyalanya kuning, kecil, dan genting seperti waktu.


“Berita apa yang membuatmu tak bisa melihat bintang bersamaku malam ini?” tanya Mavuika, pelan tapi jelas.


Capitano memejamkan mata sebentar. Saat ia membuka suara, kalimatnya seperti keluar satu per satu dari luka yang belum sembuh. “Ayahku ingin aku menikahi putri pengusaha tembakau dari Boston,” ujarnya.


Mavuika terdiam sejenak, tetapi lalu tertawa miris. Ia kembali menengadah ke langit, matanya seolah mengais sisa bintang di sana. Helaan napas berat keluar dari mulutnya kemudian. Ia tidak terlalu terkejut dengan kabar buruk yang dibawa Capitano, telah diduganya suatu saat hal ini akan datang. 

Namun, ia tak pernah mengira momen itu akan datang di hari ini. Saat rasa lelah benar-benar telah mendekapnya, memuncaki piramida emosi dalam diri. 

Meski lirih, Mavuika meneguhkan hati untuk bertanya, “Apakah ia cantik?”


“Aku tak tahu,” katanya. “Aku hanya tahu bahwa aku akan belajar mencintainya sampai aku tak ingat suaramu.”


Mavuika tertawa, getir. “Lalu aku akan mencumbu lelaki dari puak selatan yang bahkan tak bisa mengeja namaku. Dan kita akan berpura-pura bahagia di pernikahan masing-masing.”


Capitano menoleh. Tatapannya masih jua tak gentar. “Apa engkau akan bahagia?”


Mavuika mengangguk pelan, tetapi matanya enggan ikut menjawab. “Tidak. Tapi mungkin anak-anakku bisa.”


Capitano menunduk, menatap tanah yang mulai mengeras oleh udara malam. Ia menggenggam sarung tangannya, lalu melepasnya, lalu menggenggam lagi. Lidahnya terasa kelu. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi otaknya tak kunjung menemukan bentuknya.


“Apakah itu cukup bagimu?” tanyanya akhirnya. “Kebahagiaan yang tidak kau rasakan sendiri?”


Mavuika menoleh, memandang lampion yang bergoyang ringan di antara mereka.


“Tidak,” katanya. “Tapi setidaknya itu bukan sepenuhnya kebohongan.”


Capitano mengangguk pelan, lalu menatap ke arah seberang sungai. Dari kejauhan, rumah keluarganya tampak seperti bayangan—kokoh, gelap, dan tidak pernah benar-benar menjadi rumah.


“Aku tidak bisa membawamu ke dalam hidupku,” katanya. “Dan aku juga tidak tahu bagaimana caranya hidup tanpa memori tentangmu.”


Mavuika menarik napas, panjang dan tenang. “Kalau begitu, simpan saja aku di tempat yang tak mungkin diusik siapapun.”


“Di mana itu?”


Ia menyentuh dadanya sendiri, sekali, ringan. “Di sini. Tapi jangan terlalu erat. Kita berdua tahu itu menyakitkan.”


Lampion mulai redup, cahayanya menguning dan berkedip pelan. Mavuika berdiri, membersihkan debu dari lututnya. Capitano tidak mencegahnya.


Saat ia melangkah menjauh, Capitano berkata lirih, hampir tidak terdengar.


“Mavuika.”


Perempuan itu menoleh sebentar. Netranya menatap nanar pada iris biru gelap lelaki di hadapan. Ekspresi wajahnya seolah menanyakan maksud panggilan Capitano kepadanya.


Namun, tak ada jawaban. Hingga ....


“Lain kali,” ujar Mavuika akhirnya, “datanglah lebih awal. Aku tak ingin lagi menghabiskan malam sendirian di antara kisah yang tak bisa kita miliki.”


Dan dengan itu, ia melangkah masuk ke dalam kegelapan, membiarkan malam dan lampion kecil itu menunggu padam dengan sendirinya.



⋆˚࿔(⁝҉𓆮⸽҉⁞⸽҉⁝) 𝜗𝜚˚⋆

Keesokan harinya, pagi buta yang dingin menyelimuti kaki Pegunungan San Juan. Kabut menggulung tipis dari balik pepohonan, membawa bau tanah basah dan sisa embun malam. Dari kejauhan, terdengar roda-roda kayu berdecit pelan di atas tanah becek. Dua gerobak penuh rempah, akar kering, dan pakaian berbulu ditarik oleh dua ekor kuda coklat tua. Capitano Hadleigh berjalan di sampingnya, jaketnya basah oleh hujan sisa fajar tadi. Rambut obsidiannya lepek dan menggumpal, seolah jagat pun belum sempat membenahkannya pagi ini.


Kedatangannya tidak mengejutkan banyak orang. Anak-anak Tetsune berlari mendekat, beberapa menyapa dalam bahasa mereka, beberapa lagi hanya menatap dengan rasa ingin tahu yang tak tersembunyi. Lelaki itu telah dikenal sebagian besar dari mereka. Bukan hanya karena ia sering datang, tetapi karena tiap datang, Capitano tak pernah membawa senjata—melainkan garam, salep, dan seringkali kisah petualangannya mengembara laut.


Tetua suku, seorang perempuan tua berjubah kulit rusa yang telah memudar warnanya, berdiri tegak di ujung pemukiman. Keriput di wajahnya melingkar seperti cincin umur pada batang pohon. Ia menatap Capitano dengan sorot yang sulit dibaca—gabungan antara hormat, curiga, dan sedikit sayang seperti kepada anjing liar yang akhirnya tahu jalan pulang.

“Tuan Capitano Hadleigh,” ujarnya seraya mengangguk. “Kau datang sebelum salju. Itu pertanda baik.”

Di umurnya yang senja, wanita tua ini masih menyempatkan diri untuk mempelajari bahasa Inggris—bahasa asing yang dibawa pendatang berkulit putih ke tanah leluhur mereka. “Kau basah kuyup,” tuturnya pada Capitano, singkat. Lalu kepada dua orang di sekitarnya ia memberi perintah dalam bahasa Tetsune. Salah satunya berlari ke arah perapian, satunya lagi bergegas menuju barak perempuan. “Bawa Mavuika ke mari. Dan kalian, siapkan kain kering untuk anak bangsawan ini.”


Capitano menunduk hormat. Di hadapan sang tetua suku Tetsune, dia segan membuka mulut. Ia tidak membantah, tidak juga mencoba terlihat tahu diri. Ia hanya berusaha menunggu dengan sabar, sementara kain hangat diletakkan di pundaknya dan beberapa anak muda mengangkat karung-karung dari gerobak ke gudang kecil di sisi timur pemukiman.


Mavuika datang beberapa menit kemudian, dengan rambut yang setengah dikepang dan mata yang masih menyimpan rasa kecewa sisa tadi malam. Ia mengenakan jubah bulu tipis dan tak terkejut melihat keberadaan Capitano. Mungkin karena ia tahu, lelaki itu mustahil bisa tidur nyenyak setelah malam sebelumnya, yang akhirnya membawa kaki pria jangkung itu kemari.


Mereka bertiga makan bersama di bawah atap rendah balai kayu tengah. Tangan mereka sama-sama memungut irisan daging asap dan bubur jagung yang dimasak dengan kaldu pinus. Tak banyak kata di antara mereka, tetapi tiap suapnya terasa penuh. Atmosfer yang mengelilingi ketiganya seolah mengandung ketegangan halus yang tak terusik.

Setelah makan selesai, Capitano membersihkan tangannya pada bagian bawah jaketnya. Lalu ia menatap tetua suku dengan sungguh-sungguh, dan berbicara dengan nada yang lebih rendah dari biasanya. “Bolehkah saya bicara berdua dengannya?” tanyanya pelan.


Tetua suku menatap Capitano dan Mavuika bergantian, tersenyum simpul, lalu mengangguk lambat. “Jangan terlalu jauh. Banyak mata di hutan ini.”


Capitano berdiri, diikuti Mavuika dengan langkah tenang. Mereka berjalan ke sisi barat pemukiman, mendekati semak bunga liar yang mulai layu menjelang musim dingin. Di sanalah, di antara aroma basah bumi dan napas embun, Capitano menggenggam tangan Mavuika—tangan yang penuh bekas luka dari memotong tali perangkap, tangan yang dulu pernah memukul wajahnya di pertemuan pertama.


“Aku bisa membawamu pergi, Mavuika,” ucap Capitano. Kalimat itu bagaikan rintihan doa yang tak memiliki tempat berpulang.


Mavuika memandangnya, lama. Mata yang dahulu mencemooh kini hanya menatap dalam diam. “Ke mana?” tanyanya. “Dunia ini dibangun untuk menolak kita. Di tanahmu aku disebut liar. Di tanahku kau disebut penjajah. Aku dan kau berbeda. Kita tak akan pernah memiliki definisi tanah yang sama, Capitano.”


Capitano menoleh ke utara, ke balik dua bukit rendah yang memeluk lembah kecil di antaranya. Jarinya menunjuk ke sana.


“Tapi kita punya pohon itu,” katanya. “Tempat kita tanam biji apel, waktu itu. Tempat kita pernah mengucap ikrar bersama.”


Capitano menatap Mavuika dengan ketulusan yang tak bisa dipelajari dalam buku sejarah.


“Kalau pohon itu tumbuh … mungkin dunia belum benar-benar menolak kita.”


Mavuika menggigit bibir. Angin pagi membelai rambutnya pelan, seolah turut menimbang-nimbang segala probabilitas, yang condong lebih berat ke arah kemustahilan.


Ia tak menjawab. Namun untuk sesaat, ia sempat menggenggam balik tangan Capitano.


Di dunia yang tak lagi menyediakan tempat untuk mereka, pohon kecil itu—di suatu tempat yang jauh dari peta dan kuasa—mungkin masih berusaha tumbuh.


⋆˚࿔(⁝҉𓆮⸽҉⁞⸽҉⁝) 𝜗𝜚˚⋆


Tiga tahun tanpa komunikasi telah berlalu sejak kedatangan Capitano terakhir.

Kabut turun lebih tebal dari biasanya di Pegunungan San Juan. Matahari belum benar-benar singgah di tahtanya, tetapi derap langkah kuda, gesekan pelat besi, dan dengung perintah menggema dari sisi timur sungai. Dari balik rerimbunan pinus dan semak belukar, pasukan bangsa asing bergerak bagai bayangan nan ditakdirkan menghancurkan segala yang di hadapannya.


Capitano memimpin dari tengah. Seragamnya kini lengkap: sabuk kulit, senapan, dan lambang negaranya tersemat di dada. Di balik helm baja, matanya menyapu kabut, mencari sesuatu.


Di sisi seberang, drum perang ditabuh. Suaranya menggema di sepanjang lembah batu merah.

Mavuika berdiri teguh di barisan depan Tetsune, mengenakan mantel kulit rusa yang dilukis oleh tangan-tangan terampil para tetua. Di tangan kanannya, sebilah pisau berburu warisan ayahnya. Sementara di tangan kiri, digenggamnya sebuah busur, dengan tiga anak panah tersisa.


Ia tidak gemetar.


Ia tidak pernah gemetar jika menyangkut tanah ini.


Dua dunia yang semula tak pernah saling bicara, akhirnya berseteru juga.



Pada pagi itu pula, lembah batu merah berubah jadi ruang antara tempat para kekasih kehilangan nama, dan para pejuang lupa alasan.


“Majulah!” teriak perwira di belakang Capitano.



Suara tembakan pertama pecah dari timur.



Tanpa menunggu aba-aba, Tetsune membalas dengan hujan anak panah.


Capitano menembak, tapi pelurunya tak berarah. Ia menembak ke tanah, sengaja meleset. Tangan kanannya gemetar saat mengokang peluru berikutnya. Di antara debu dan pekikan, ia melihat sekelebat rambut kemerahan bergerak cepat menuju sisi timur.


“Mavuika ...,” desisnya. Akan tetapi, tak akan ada yang bisa menghentikan badai yang sudah pecah.


Mavuika menebas salah satu tentara kulit putih yang menerobos ke wilayahnya. Wajah rupawannya berlumur lumpur dan darah, tetapi matanya tetap terbuka lebar, penuh akan kewaspadaan.


Ia dapat mengenali sebuah gerak tubuh di kejauhan.


Capitano.


Capitano Hadleigh.



Dan entah karena apa, ia melesat lebih cepat ke arahnya. Tak bertujuan membunuh, tak jua untuk menyelamatkan. Hanya demi melihat apakah masih ada jiwa yang bisa diselamatkan dari nama Hadleigh dan Tetsune, yang kini saling menodai.


Keduanya bertemu di celah di antara dua batu besar, tempat mereka dulu duduk seraya bertukar cerita saat hujan deras menerpa.


Kini, keduanya berdiri dengan napas memburu. Tangan masing-masing masih memegang senjata, dada mengembang, dan sorot mata tak gentar.


“Pergilah,” tandas Mavuika. Tajam.


“Mavuika, aku bisa—”


“Tidak,” tukas Mavuika cepat, tak berkeinginan memberi kesempatan lebih untuk Capitano bersuara. Dengan langkah kilat, ia mundur, memperjauh jarak antara mereka. “Jika kau bertahan di sini, kau akan kubunuh. Karena Tetsune adalah rumahku. Tetsune adalah milikku. Tetsune adalah aku. Dan tak ada satu pun yang boleh menghanguskannya.”


Namun, Capitano tidak mundur. Ia hanya menatap mata jingga itu lamat-lamat, lalu menunduk.


“Kumohon … jika aku mati di tanah ini, kuburkan aku di bawah pohon aspen itu,” katanya. “Setidaknya, aku ingin kembali sebagai akar dari sesuatu yang tak bisa kita selamatkan.”


Mavuika mengangguk sekali, seraya menghunuskan belatinya ke arah Capitano dan kudanya. “Kalau kau mati di sini, Hadleigh ... maka kau akan mati sebagai tanah. Bukan sebagai penakluk.”


Kemudian Mavuika bergegas kembali ke medan perang, membelah kabut, seolah ia lahir dari kabut itu sendiri.


Capitano hanya berdiri mematung. Tiga peluru ditembakkannya ke arah langit. Lalu matanya ia pejamkan, menunggu dunia memutuskan sisi mana yang layak menang, kala keduanya sama-sama kehilangan.


⋆˚࿔(⁝҉𓆮⸽҉⁞⸽҉⁝) 𝜗𝜚˚⋆



Pagi berikutnya, asap membumbung di langit timur. Pasukan Hadleigh membakar pos penjagaan Tetsune, dengan alasan ‘defensif.’ 



Capitano tak diberi tahu. 


Ia datang terlambat. Penampilannya semrawut. Kuda hitamnya kehabisan napas. Peluh membasahi lehernya ....



... dan tubuh para perempuan tua yang sudah hangus di balik tenda ....




... dan di tengah reruntuhan itu, Mavuika berdiri dengan wajah tenang. Air mukanya setenang langit sebelum badai. Tangannya dengan tegas menggenggam sebuah busur.


“Kau tahu apa yang telah mereka lakukan.”


Capitano menatap ke arah ayahnya yang memberi aba-aba dengan senyuman menang. Ia lalu kembali menatap perempuan itu, perwujudan satu-satunya hasrat yang pernah dan akan selalu ia dambakan dalam hidup.


“Mavuika … aku tak tahu. Aku bersumpah.”




“Aku tahu.”




“Aku akan meninggalkan mereka. Aku akan pergi bersamamu.”





Akan tetapi, Mavuika menggeleng.





“Kita sudah selesai, Capitano. Bukan karena aku berhenti mengasihimu. Tapi ... karena perasaan yang orang sebut dengan cinta ini ... terlalu suci untuk dibagi dengan dendam.”




⋆˚࿔(⁝҉𓆮⸽҉⁞⸽҉⁝) 𝜗𝜚˚⋆









Di lereng utara, sebuah pohon apel diam-diam tumbuh. Kecil, tapi hidup. Diterpa angin dan salju, tetapi akar-akarnya tetap menembus tanah dengan keras kepala.







Sejak perang itu, Mavuika dan Capitano ....











... mereka tak pernah bertemu lagi.











Namun di kemudian hari ....







... kadang-kadang, orang-orang yang mendaki gunung itu membagikan cerita tentang dua sosok yang duduk di bawah pohon. Seorang pria berdarah Eropa dengan seragam militer abu-abu tua dan perempuan native berambut panjang yang menyanyikan lagu-lagu yang tak pernah mereka mengerti. 

Banyak pendaki yang mengaku pernah melihat dua sosok itu.



Konon, mereka tidak bicara. 



Hanya duduk. 





Berdua ...



... terkadang orang melihat mereka di bawah pohon aspen raksasa yang menjulang tinggi ....





... terkadang pula, orang melihat mereka di bawah rindangnya pohon apel ... yang tidak pernah berbuah.







༒︎





“To be born from opposing bloodlines and still choose each other ... perhaps that is the truest form of defiance.”




⋆˚࿔(⁝҉𓆮⸽҉⁞⸽҉⁝) 𝜗𝜚˚⋆


⋆˚࿔(⁝҉𓆮⸽҉⁞⸽҉⁝) 𝜗𝜚˚⋆


༒︎


﹌﹌﹌﹌﹌

♯┆song of the day  .ᐟ 









OTP requested by Ms. Saccharomyces Cerevisiae.

(pretty much Pocahontas, baru nyadar pas udah kelar. Maaf OOC BGT INI SUWER😔)

Komentar

Postingan Populer