Langsung ke konten utama

Featured Post

I Still See Your Shadow Even with Lights Off | ALIEN STAGE: MIZISUA (Mizi x Sua)

            Mizi sama sekali bukan anak yang begitu giat, apalagi saat gadis berambut merah jambu itu masih duduk di bangkus sekolah menengah pertama . Tiada hari tanpa bangun dan berangkat sekolah terlambat, dengan penampilan serba kusut dan lecek—tentu tak ada yang nyaman di sampingnya. Namun, itu semua berubah semenjak ia menapaki jenjang sekolah menengah atas . Tiba-tiba ia selalu tiba lebih pagi di sekolah, jauh sebelum bel berdentang. Pakaian rapi dan wangi, dengan senyum berseri-seri yang hampir 24/7 ia pajang di wajahnya itu. Sama sekali bukan karena rajin, melainkan karena satu kebiasaan kecil yang tak pernah ia akui pada siapa pun: menunggu Sua . Sua akan datang dua puluh hingga lima belas menit sebelum kelas dimulai. Jalannya tenang, pundaknya tegak, selalu dengan buku di tangan yang setengah terbuka, seolah halaman-halaman itu menuntunnya lebih dari sekadar papan arah jalan. Dan setiap kali itu pula, Mizi merasa dadanya seperti dipenuhi ratusan...

As Snow Falls on Desert Sky | Attack on Titan: EreMika ( Eren x Mikasa ) | Demolition Lovers Songfiction

   Di tengah musim salju pertama tahun itu, ketika lonceng gereja tua di lembah Schwarzwald berdentang tiga belas kali, Eren Yeager dan Mikasa Ackerman berdiri di altar. Cahaya dari kaca patri membingkai wajah mereka dalam warna-warna surga: merah delima, emas zaitun, biru safir. Seolah Tuhan sendiri menjahitkan restu ke dalam siluet tubuh mereka.

Jubah pengantin Mikasa jatuh anggun hingga menyentuh lantai marmer. Gaunnya putih gading, dengan detail renda halus seperti pahatan salju. Di kepalanya tersemat veil tipis yang bergoyang pelan oleh angin dari jendela tinggi. Eren, berdiri di hadapannya, tampak seperti lukisan zaman Renaisans—mata hijau yang tak gentar, rahang tegas, dan tangan gemetar sedikit saat memegang cincin kecil dari perak.

Kala pendeta merapalkan doa, semesta menahan napas. “Dengan cahaya dari langit dan tanah yang memeluk, hari ini, dua jiwa menjadi satu.”

“Eren Yeager, bersediakah kau mencintai Mikasa Ackerman dalam terang maupun gelap, dalam darah maupun salju?”

Eren tersenyum simpul, menatap lembut Mikasa. “Aku bersedia,” bisiknya.

“Mikasa Ackerman, bersediakah kau menjaga Eren Yeager, meski langit runtuh dan bumi membelah?”

Mikasa menatap Eren dalam-dalam, dan dalam sekejap, ia merasa sesuatu menarik perhatiannya ke jendela seperti bayangan. Tapi saat ia berkedip, hanya cahaya biru senja yang tersisa. “Aku bersedia.”

Cincin melingkar.

Ciuman pertama mereka sebagai suami istri berlangsung singkat, tapi waktu seolah melambat.

Tepuk tangan menggema di dalam gereja, tapi di antara bunga mawar putih dan harum dupa, ada satu aroma yang menyusup: logam dan pasir.

Tak ada yang menyadarinya.

Tidak juga ketika seekor burung gagak hinggap di ujung salib besar di atas altar, memperhatikan mereka dalam diam.


    ⃢🕊️⃢🗡️ ⃢


Dua tahun kemudian, kota kecil itu masih memberkati dan senantiasa mencintai mereka. Tuan dan Nyonya Yeager, pasangan muda yang elegan dan ramah, selalu berjalan bergandengan tangan setiap akhir pekan, sesekali memberi sumbangan untuk rumah anak yatim dan museum lokal. 

Eren kini mengelola tanah warisan di pinggiran kota. Sementara Mikasa, yang lebih jeli dan tenang, menata ulang sistem keuangan kota kecil itu hingga semuanya lebih efisien.

Hari itu, salju turun tipis ketika mereka meninjau tanah di ujung utara kota. Ladang itu kosong, hanya dipagari kayu tua dan semak belukar. Mikasa tampil paripurna seperti biasa, kali ini mengenakan mantel putih dan topi bundarnya.  Sedangkan Eren mengenakan setelan tiga potong berwarna gelap yang rapi, celana pinggang tinggi, sepatu kulit mengilap, serta topi tingginya. Aura khas pasangan aristokrat seolah mengobar di sekitar mereka kala keduanya berjalan berdampingan.

Eren menyulut cerutu kecil di tangannya. Aroma tembakau Cuba menyebar tipis di udara dingin. Asapnya menggulung perlahan, membentuk kabut di antara wajah mereka. Ia menjepit cerutu itu di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, lalu menghembuskan asap lewat sudut mulut.

Tangan kirinya tetap menggenggam tangan Mikasa erat, seolah dunia ini tak akan bisa memisahkan mereka. Tawa mereka mengalun di tengah heningnya ladang beku ....

... hingga langkah Mikasa terhenti.


Seketika, Eren memutar tubuhnya, menatap wajah istrinya dengan alis terangkat. “Ada apa?”

Mikasa tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada sesuatu di kejauhan, di balik semak belukar yang membeku. Di sana, berdiri sosok kecil, nyaris tak terlihat jika bukan karena mantel merah tua yang kontras dengan lanskap putih sekelilingnya. Seorang anak perempuan. 

Rambutnya hitam legam, panjang dan acak-acakan, wajahnya pucat seperti salju yang dipijaknya. Ia hanya berdiri diam, menatap Mikasa dan Eren tanpa ekspresi.

“Eren,” bisik Mikasa. Suaranya nyaris tak terdengar di antara desir angin.

Eren mengikuti arah pandangnya, lalu memicingkan mata. “... anak itu? Apa dia ... dari kota?”

Mikasa menggeleng perlahan. “Aku tidak mengenalnya.”

Mereka mendekat beberapa langkah, namun anak itu tidak bergerak. Tak lari, tak mundur. Hanya menatap dengan mata gelap yang dalam, seperti menyimpan terlalu banyak rahasia untuk tubuh sekecil itu. Eren melepas genggaman tangannya dari Mikasa, melangkah lebih dulu.

“Hey, kau sendirian? Kau dari mana?”

Anak itu tetap diam. Lalu, pelan-pelan, ia mengangkat tangannya. Kala telapak mungil yang kotor itu terbuka lebar, sebuah benda kecil terlihat: liontin perak, bentuknya oval, dengan ukiran burung gagak di permukaan.

Dada Mikasa tiba-tiba mengencang. Ia mengenal benda itu.

Itu peninggalan mendiang ibunya.

Tanpa sadar, Mikasa melangkah cepat melewati Eren, dan anak perempuan itu menutup telapak tangannya lagi. Seolah ia tahu siapa Mikasa, tahu mengapa mereka ada di sini. Lalu tanpa berkata sepatah pun, ia berbalik, berjalan ke dalam hutan tipis di belakang ladang.

Mikasa ingin mengejarnya, tetapi Eren menahan lengannya. “Tunggu. Kita harus hati-hati.”

Mikasa menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir gema nama lama yang mengguncang benaknya. Ingatan tentang sang ibu menyelinap masuk, menyeruak dingin dan tajam seperti angin musim dingin yang menusuk tulang. Ibunya sudah lama meninggalkannya ... meninggalkan semua yang ada di dunia ini. Memori usang itu hanya mengoyak kembali luka lama yang seharusnya lambat laun telah menutup.

Namun, liontin itu tak mungkin salah.

Tidak akan pernah.

Eren menggenggam tangan Mikasa kembali. “Kita kembali dulu ke rumah. Aku akan kirim orang untuk menyisir daerah ini. Kalau anak itu tersesat, kita akan menemukannya.”

Mikasa menatap ladang kosong itu sekali lagi. Kabut turun perlahan, menelan jejak-jejak kaki kecil yang tertinggal di salju. Tapi di dalam dadanya, perasaan aneh itu belum juga reda.

Seperti ada sesuatu yang belum selesai ....

... seperti masa lalu mereka .... 

... belum benar-benar dikubur.

Sementara di kejauhan, seekor burung gagak kembali hinggap, kali ini di pagar kayu tua. Gagak itu memekik satu kali sebelum terbang menuju hutan.

Langkah-langkah kecil telah dimulai ... dan musim dingin bahkan belum menunjukkan seluruh wajahnya.

    ⃢🕊️⃢🗡️ ⃢


Keesokannya, Mikasa keluar dari kediaman Yeager sendiri. Telah bersimpang-siur kabar masuknya para pengungsi dari desa dan kota-kota kecil terdampak perang. Sang Nyonya Yeager memutuskan untuk berkunjung ke lokasi pengungsian baru yang didirikan di bekas sekolah dasar, sekitar dua kilometer dari pusat kota. Sebagai istri dari seorang penguasa tanah, sudah menjadi tugasnya untuk hadir dan memberi teladan. 

Pasangan Yeager muda bertekad untuk tak hanya menjadi dermawan di atas kertas. Pakaian hangat, perban, dan kaldu kental telah dikemas lebih dulu pagi tadi oleh para pelayan kediaman Yeager.  Eren sendiri telah mendonasikan sebagian hasil panen gandum terakhir untuk dapur umum di sana, sementara Mikasa menyumbangkan pakaian serta mantel hangat. Ia bahkan menjahit sebagiannya sendiri.

Hari itu, langit berwarna abu-abu pucat. Salju belum turun, tetapi angin dingin sudah membawa aroma logam dari arah pegunungan. 

Anak-anak dari berbagai desa terdampak berkumpul dalam aula luas dengan lampu-lampu minyak. Tawa mereka sayup, tapi tak bisa menyembunyikan tubuh yang ringkih, wajah yang belum kenyang tidur maupun makan. Udara pengap dengan aroma campuran bubur jagung basi dan luka yang belum sembuh menyergapnya. 

Mikasa menekuk lutut, duduk bersila di samping seorang anak perempuan dengan tubuh yang terlalu kurus untuk usianya. Rambut anak itu bercampur debu dan serpihan jerami. Tangannya yang halus, tetapi cekatan itu gemetar saat mencoba menggenggam sendok. 

Mikasa menyuapinya perlahan, menatap wajah anak itu seperti sedang mengobati dirinya sendiri. Bocah itu menatap Mikasa dengan mata cokelat lelah yang penuh kepercayaan. Mikasa mengusap pipi anak itu pelan, lalu tersenyum tipis.

Namun, saat ia menoleh hendak mengambil mangkuk lain, napasnya tercekat.

Di pojok aula, berdiri sosok dengan mantel gelap yang kumal, rambut panjang terurai tak rapi, sebagian menutupi wajah. Kulitnya pucat, dan matanya … matanya tampak seperti cermin rusak yang memantulkan sesuatu yang tak seharusnya dilihat manusia. Mikasa mematung.

Lusuh. Rambut hitam panjang berantakan, pipi cekung, mantel kelabu kebesaran yang penuh bercak lumpur. Tapi wajahnya ....

... wajah itu ....

... wajahnya sendiri.

Tidak, bukan pantulan. 

Terefleksikan seperti kenangan buruk di cermin tua. Mata yang sama. Tulang pipi yang sama. Sorot yang tak asing. Mikasa merasa seolah dilucuti dari dirinya sendiri.

Perempuan itu menatapnya lekat-lekat.

Diam. Seolah menanti sesuatu.

Mikasa buru-buru berdiri, mencari-cari pengurus pengungsian, bertanya siapa perempuan itu. Tapi tak ada yang tahu. Tak ada yang melihatnya. 

"Mungkin salah satu pengungsi yang baru datang dari utara," kata seseorang. 

Namun, Mikasa tahu.

Perempuan itu bukan semata seorang pengungsi.


... perasaannya benar-benar tidak enak tentang ini.

 ⃢🕊️⃢🗡️ ⃢


Sore menyapa dengan bias keemasan yang lembut, menari di sela dedaunan yang mulai menguning. Mikasa duduk di tangga kayu balai pengungsian, diam, kedua tangannya masih menggenggam cangkir kosong. 

Di dalam, anak-anak pengungsi mulai tertidur dalam pelukan ibunya masing-masing. Tapi pikirannya masih terpaku pada satu hal: satu sosok lusuh, berdiri di antara kerumunan tadi siang. Wajah yang seperti miliknya sendiri. Terlalu mirip. Terlalu asing.

Mikasa masih saja melamun, hingga dari kejauhan, suara mesin datang perlahan. Tidak nyaring, tidak halus. Seperti dengung tua yang sabar, sesekali tersendat sebelum kembali stabil. la segera berdiri, melangkah keluar ke halaman depan, membiarkan angin sore menyentuh pipinya. Jalanan utama kota kecil ini masih berupa paving kasar. 

Mobil datang pelan-pelan, membelah kerumunan anak-anak yang bermain tali. Suaranya berat, sedikit tersendat saat melewati tanjakan kecil. Mobil itu lalu berhenti di depan halaman, mengeluarkan satu denting kecil saat remnya ditarik. Mobil touring coupe keluaran terbaru dari Jerman. "Kemewahan yang bisa dimengerti rakyat", Eren menyebutnya, meski hanya segelintir orang di negeri ini yang punya.

Roda kayunya besar dan dipagari logam di tepinya, kap mesin panjang, dan lampu bulatnya bersinar redup meski matahari belum sepenuhnya tenggelam. Tak ada spion, hanya kaca kecil di bagian tengah dashboard kayu.

Eren turun lebih dulu, membuka pintu samping dan membungkuk pelan. “Maaf terlambat,” katanya lembut. 

Sore ini, Eren Yeager mengenakan mantel abu-abu panjang dan sepatu kulit yang berdebu. Di belakangnya, mobil hitam bergaya terbuka dengan bentuk kotak dan roda kayu tampak anggun dalam senja. Mobil klasik dengan bodi besi mengilap, lampu bulat besar menempel di sisi depan, dan atap kanvas masih setengah terbuka.

Ia membuka pintu sisi penumpang dan menunduk sedikit, "Sudah siap pulang, Nyonya Yeager?"

Mikasa mengangguk, lalu naik ke dalam tanpa banyak kata. Kursi kulit berwarna burgundy yang dingin dan kaku, sedikit keras, menyapa tubuhnya kala mendudukkan dirinya di sana. Tidak ada kaca pemisah, tidak ada suara radio. Tidak ada pula sabuk pengaman, hanya ruang sempit dan suara angin yang merayap lewat celah-celah pintu.

Setelah Eren masuk dan memutar engkol starter, mobil itu terbatuk kecil sebelum hidup kembali, dan mereka mulai melaju pelan di jalanan berbatu.

Ia menyandarkan kepala ke bahu Eren.

“Lelah?” tanya Eren, sambil mengangkat tangannya, membelai rambut Mikasa pelan-pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh deru mesin.

Mikasa tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata. Mencoba melepaskan pikiran.

Di ujung jalan, di antara pepohonan dan semak belukar, berdiri lagi sosok itu.

Gadis dengan rambut panjang yang tak terurus, mengenakan baju pengungsi yang kebesaran. Ia diam saja di sisi jalan, matanya tak lepas dari Mikasa.

Dan kali ini, Mikasa membalas tatapannya.

Kala keduanya saling bertukar pandang, dunia seolah berhenti. Tak ada angin, tak ada suara. Tidak ada bunyi mesin, tidak ada deru angin. Hanya kesunyian yang mengembang seperti kabut. Hanya pertemuan dua pasang mata yang terikat sesuatu yang tak terlihat.

Lalu, tiba-tiba ....






... langit runtuh, burung yang semula terbang seketika berjatuhan, dan matahari di langit berubah menjadi lingkaran merah yang membutakan.

Udara menyesakkan. Hawa dingin menusuk keras di tulang. Tidak ada jalan berbatu maupun mobil yang berdentum halus. Hanya puing-puing, abu, dan kematian berserak.

Mikasa menunduk, hanya untuk melihat gaun putih yang entah sejak kapan ia kenakan, basah oleh darah. Tubuh kurus kering, lemah, menggigil. Matanya menatap jauh dengan kosong. Bibirnya pucat. Tangannya bergetar. 

Kepala Eren Yeager sang Martir Kedamaian dan Penyelamat Bangsa Eldia ada dalam dekapannya, terkulai tanpa nyawa. Kulit pucat, telah mengering, mulai menyatu dengan tengkorak yang dingin.

Di belakangnya, Armin memeluk sebuah nisan. Sementara yang lain, berdiri lebih jauh daripada Armin, menunduk dalam, menyampaikan duka terdalam terhadap kematian rekan seperjuangan mereka.


Ah ... ternyata semua memang hanya khayalannya semata.


 ⃢🕊️⃢🗡️ ⃢


﹌﹌﹌﹌﹌

♯┆song of the day  .ᐟ 

my chemical romance - demolition lovers 


mj apanay, aren park - time machine


Komentar

Postingan Populer