Langsung ke konten utama

Featured Post

Ashes Under the Aspen | Genshin Impact Fanfiction: MavuiTano / CapUika ( Mavuika x Capitano ) — America Colonization AU

    Hutan aspen di kaki Pegunungan San Juan tunduk pada kesunyian kala cahaya rembulan menyinari jagat. Dedaunannya berdesir pelan seperti desahan roh-roh tua bersahutan. Batang-batang putihnya menjulang bak jemari para dewa yang lupa bagaimana rasanya menyentuh bumi. Tahun di catatan sejarah telah menginjak angka 1908, rel kereta telah mulai menggigit pinggiran barat Colorado.  Sungai Arkansas mengalir lambat saat matahari terbenam, membelah tanah merah dan hutan pinus menjadi dua dunia yang tak pernah saling bicara. Di sisi timur berdiri kokoh kediaman keluarga Hadleigh, bangsawan kulit putih, pemilik tanah, pemegang kontrak dagang, dan peluru. Di sisi barat, di balik bayang-bayang pohon aspen, hidup suku Tetsune—para penjaga gunung, peramu hujan, dan pewaris bumi—jauh sebelum peta-peta dibuat. Kendati dunia luar sudah berubah mengikuti perkembangan zaman, masih ada satu sudut kecil yang belum terjamah modernisasi. Tempat itu tidak tergambar dalam peta manapun, tidak di...

Diluc's 10 Attempts to Win A Heart | Genshin Impact: JeaLuc ( Jean Gunnhildr x Diluc Ragnvindr )

    Diluc bukan orang yang pandai mengungkapkan perasaan. Ia tidak terbiasa berkata manis atau menunjukkan perhatian secara langsung. Tapi itu bukan berarti ia tidak berusaha. Dengan caranya sendiri, ia mencoba mendekati Jean—sedikit demi sedikit, hari demi hari.

Sepuluh hari. Sepuluh cara. Sepuluh percobaan Diluc untuk memenangkan hati seseorang yang selama ini ada di sisinya—tanpa ia sadari, tanpa pernah benar-benar ia genggam.





HARI 1

    “Jean, aku buat kue,” kata Diluc tiba-tiba.

Jean menoleh dari meja kerjanya di markas Knights of Favonius. Ia mengerjap, memastikan telinganya tidak salah dengar. “Kau buat kue?” ulangnya, nyaris terdengar skeptis.

Diluc—Diluc Ragnvindr—pemilik Dawn Winery, pria yang lebih sering memegang gelas anggur daripada spatula?

Diluc mengangguk, tetap tanpa ekspresi. “Mau coba?”

Jean menatap bungkusan kertas minyak yang Diluc letakkan di atas mejanya. Tangannya terangkat, mengambil satu. Kue kering. Tampilannya cukup berantakan, ada yang gosong di pinggirnya.

Jean menggigitnya perlahan. Sedikit keras, tapi ada manis yang pas di lidahnya.

“… Tidak buruk,” komentarnya.

Diluc mengangguk. “Bagus.”

Seakan itu sudah cukup baginya, Diluc berbalik dan berjalan keluar.

Jean, yang masih menggenggam kue setengah dimakan di tangannya, hanya bisa menatap kepergiannya dengan kebingungan yang belum sepenuhnya hilang.

Lisa, yang berdiri di ambang pintu sejak awal, hanya tersenyum penuh arti. “Jadi dia akhirnya mencoba,” gumamnya.

Jean meliriknya. “Mencoba apa?”

Lisa tertawa kecil. “Mencoba jadi bagian dari harimu.”



HARI 2

    Diluc melihat Jean di dekat alun-alun, berbicara dengan seseorang. Suaranya terdengar samar, tapi ekspresinya cerah. Pria yang berbicara dengannya—bukan anggota Knights, bukan orang yang Diluc kenal.

Tapi Jean tertawa.

Sesuatu mencubit dadanya.

Bukan karena Jean tidak boleh tertawa dengan orang lain. Bukan karena Jean tidak boleh bahagia.

Tapi karena itu bukan dia.

Tawa itu bukan karena dia.

Diluc berbalik sebelum Jean bisa menyadari kehadirannya. Langkahnya panjang dan pasti, tapi ada sesuatu yang tertinggal di belakang. Sesuatu yang hanya bisa ia biarkan terjatuh di jalanan berbatu Mondstadt.



HARI 3

Jean menatap kiriman di mejanya dengan ekspresi sulit dijelaskan. Di sana, ada satu tangkai bunga dandelion yang masih segar, sehelai surat dengan amplop berwarna krem, dan satu toples kaca berisi kue kering.

Ia menarik napas, lalu menoleh ke penjaga yang baru saja mengantarkan kiriman itu. “Siapa yang mengirim ini?”

“Tidak ada nama pengirim, Acting Grand Master,” jawabnya dengan sopan. “Tapi seseorang menitipkannya pagi ini.”

Jean mengangguk pelan. Matanya kembali ke benda-benda di mejanya.

Bunga. Surat. Kue.

Rasanya jelas.

Terlalu jelas.

“Apa yang kau pikirkan, Jean?” Lisa bertanya dengan nada iseng sambil menyusun beberapa buku di rak.

Jean menghela napas. Ia mengambil surat itu, membukanya, dan mulai membaca.


Jean,


Tidak banyak yang bisa kuberikan, tetapi mungkin kau bisa menerima ini.


Mungkin kau tidak membutuhkannya.

Mungkin ini bukan sesuatu yang besar.

Mungkin ini tidak ada artinya.


Tetapi, tetap saja, aku ingin memberikannya padamu.


Itu saja.

 

(Jean, Tidak banyak yang bisa kuberikan, tetapi mungkin kau bisa menerima ini. Mungkin kau tidak membutuhkannya. Mungkin ini bukan sesuatu yang besar. Mungkin ini tidak ada artinya. Tetapi, tetap saja, aku ingin memberikannya padamu. Itu saja.)


Jean menutup surat itu dengan kening berkerut. Sederhana, tanpa basa-basi, tetapi justru karena itu—ia tahu pasti siapa pengirimnya. “Diluc,” gumamnya pelan.

Lisa meliriknya sekilas. “Kejutan?”

Jean tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap bunga dandelion itu lama, sebelum akhirnya menggesernya sedikit ke sisi meja.

Amber, yang sejak tadi sibuk mengelus seekor kucing kecil berbulu oranye di pangkuannya, mengambil salah satu kue dari dalam toples dan menggigitnya. Matanya membesar.

“Eh?!” katanya dengan mulut penuh. “Yang kali ini shockingly enak, loh!”

Jean mengangkat alis.

Amber, masih mengunyah, mengacungkan kue itu ke arah Jean. “Serius! Ini lebih enak dari yang terakhir!”

Jean melirik toples itu ragu-ragu. Sebelumnya, kue buatan Diluc tidak buruk, tapi juga tidak bisa dibilang enak. Tapi kalau Amber sampai bereaksi seperti itu...

Ia akhirnya mengambil satu kue, menimbangnya sebentar sebelum menggigit.

Manisnya pas. Teksturnya lebih renyah di luar, tapi lembut di dalam. Tidak terlalu keras, tidak gosong.

Jean menelan dan diam sejenak.

“… Aku setuju,” katanya akhirnya.

Amber tersenyum lebar, kembali mengunyah. Lisa hanya tersenyum kecil, kembali menyusun buku.

Jean meletakkan sisa kuenya di piring kecil di mejanya.

Ia menatapnya sebentar.

Kemudian menatap surat itu lagi.

Kemudian bunga dandelion itu.

Dan ia sadar, meskipun ia tidak tahu harus 

melakukan apa…

Untuk pertama kalinya, ia tidak ingin Diluc berhenti.


HARI 4

    Jean menatap meja di kantornya. Kue yang Diluc buat masih tersisa satu. Ia tidak pernah selesai memakannya.

Ia tidak tahu kenapa.

Lisa datang, menatap kue itu, lalu menatap Jean. “Kenapa tidak kau habiskan saja?” tanyanya ringan.

Jean menghela napas. “Entahlah.”

Lisa tersenyum kecil. “Atau mungkin, kau takut setelah ini, dia tidak akan memberi lagi?”

Jean tidak menjawab.

Ia hanya menatap kue itu lebih lama dari seharusnya.



HARI 5

   “Kaeya.”

Kaeya mendongak dari gelas anggurnya di Angel’s Share. “Hm?”

Diluc menatap meja, seolah mencari kata-kata. “…Kalau aku berhenti mencoba, apa itu artinya aku membiarkan segalanya berlalu?”

Kaeya menaikkan alis. “Kalau kau berhenti mencoba,” katanya perlahan, “itu artinya kau sudah menyerah.”

Diluc terdiam.

Kaeya mengamati ekspresi saudaranya. Ia menghela napas. “Aku tidak akan sok bijak, Diluc. Tapi kalau kau merasa sesuatu berharga, jangan biarkan itu pergi tanpa usaha.”

Diluc menatapnya.

Kaeya menyesap anggurnya. “Kau terlalu sering kehilangan. Jangan tambah lagi.”



HARI 6

    Jean berjalan menyusuri koridor markas Knights of Favonius ketika ia melihat sesuatu di mejanya. Sebuah bunga Windwheel Aster tergeletak di atas tumpukan dokumen—kelopaknya masih segar, warnanya cerah.

Jean mengerjap. Ia tidak ingat meninggalkan bunga di sana.

Lisa muncul dari belakang, menyandarkan diri di pintu. “Romantis sekali,” komentarnya, nada suaranya menggoda.

Jean menghela napas, mengambil bunga itu dengan hati-hati. Ia menatapnya sebentar sebelum menggeleng pelan. “Aku tidak tahu harus berbuat apa.”

Lisa tertawa kecil. “Atau mungkin, kau tahu, tapi kau belum siap mengakuinya.”





Sementara itu, di Dawn Winery, Diluc menyesap tehnya, menunggu kabar. Tidak ada.

Ia mengira Jean akan mengembalikan bunga itu, atau mungkin berterima kasih, atau—entah bagaimana—mengakui bahwa ia menerimanya. Tapi sejauh ini, tidak ada reaksi.

Ia mendesah, memijat pelipisnya. Tidak ada yang salah dengan caranya, bukan? Windwheel Aster adalah bunga khas Mondstadt, melambangkan semangat dan ketulusan. Tapi mungkin, bagi Jean, itu hanya bunga biasa.

Mungkin, ia masih belum cukup.



HARI 7

    Diluc menatap gelas anggurnya tanpa benar-benar melihatnya. Kepalanya penuh dengan pemikiran yang berputar-putar tanpa arah.

Sudah sejauh ini, tapi apa gunanya?


“Kalau kau berhenti mencoba, itu artinya kau sudah menyerah.”


Kata-kata Kaeya dari beberapa hari lalu kembali terngiang di benaknya.

“Tapi aku sudah mencoba,” gumamnya.


“Mencoba apa?”


Diluc mengangkat kepala dan menemukan Diona berdiri di depannya, tangan di pinggang, ekspresi tidak terkesan.

“Mencoba… sesuatu,” jawabnya pelan.

Diona mendengus. “Itu jawaban macam apa? Kalau kau mau melakukan sesuatu, lakukan dengan benar! Jangan setengah-setengah!”

Diluc mengangkat alis. “Aku tidak setengah-setengah.”

“Oh ya?” Diona menyilangkan tangan. “Kalau benar-benar serius, kau tidak akan hanya meninggalkan kue di mejanya lalu pergi. Kau tidak akan hanya diam saat dia tertawa dengan orang lain. Kau tidak akan hanya menyelipkan bunga dan berharap dia paham.”

Diluc terdiam.

Diona melanjutkan, matanya bersinar tajam. “Kalau kau mau seseorang tahu perasaanmu, kau harus bilang langsung! Bukan dengan kode-kode aneh yang bahkan bukan kode!”

Diluc terdiam lebih lama kali ini. Maksudnya—

BAHKAN ANAK SEKECIL ITU SUDAH BERANI MENAMPAR ORANG DENGAN KATA-KATA TAJAMNYA!

Terlebih lagi...

PADA DIRINYA!

PADA DIRINYA.

PADA DIRINYA!!!

Diona menatapnya lama sebelum menghela napas, mengangkat bahu. “Tapi kalau kau lebih suka jadi pengecut, ya terserah.”

Ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Diluc dengan pikirannya sendiri.


HARI 8

    Jean menatap sekeliling kantornya dengan alis berkerut.

Ada yang aneh.

Hari ini terasa… sepi. Bukan dalam arti tidak ada orang—kantor Knights of Favonius masih penuh dengan anggota yang sibuk dengan tugas mereka. Tetapi, ada sesuatu yang hilang.

Atau lebih tepatnya, seseorang.

Eula, yang baru saja masuk dengan setumpuk laporan, menatapnya tajam. “Kenapa kau terlihat seperti kehilangan sesuatu, Acting Grand Master?” 

Jean mengerjap, tersadar dari lamunannya. “Tidak. Hanya merasa hari ini lebih… tenang.”

Mika, yang berdiri di sebelah Eula, mengangguk pelan. “Ah, mungkin karena… Tuan Diluc tidak datang hari ini?”

Jean menoleh padanya. “Apa?”

Barbara, yang sedang menuangkan teh untuk Jean, ikut menimpali, “Biasanya, kalau tidak ada urusan denganmu, Kak Diluc tetap datang ke markas—entah membawa sesuatu atau sekadar diam di pojokan seperti sedang menunggu sesuatu.”

Rosaria, yang duduk santai di jendela, mengangkat alis sambil menyesap anggurnya. “Tapi hari ini dia bahkan tidak kelihatan di sekitar Mondstadt.”

Jean mengerutkan kening.

Ia tidak sadar betapa seringnya Diluc ada di sekitar—muncul di kantornya tanpa peringatan, membawa sesuatu yang kecil tapi bermakna, atau sekadar meninggalkan jejak kehadirannya di sela-sela kesibukan Jean.

Tapi hari ini, tidak ada.


Sama sekali tidak ada.


“… Bukan urusanku,” gumamnya akhirnya, kembali menatap dokumennya.

Eula mendengus. “Oh, tentu saja,” katanya dengan nada menyindir.

Jean memilih mengabaikan mereka. Ia melanjutkan pekerjaannya, tetapi matanya sesekali melirik meja di depannya—tempat di mana biasanya ada sesuatu dari Diluc.



Kosong.








Satu setengah jam kemudian, Jean akhirnya menyerah.

Jujur saja—


DIA MEMANG KEPIKIRAN SETENGAH MATI.


Ia berdiri dari kursinya, berjalan keluar kantor, dan menghampiri penjaga yang berjaga di pintu masuk markas.

“Ada kiriman untukku hari ini?” tanyanya, berusaha terdengar biasa saja.

Penjaga itu menggeleng. “Tidak ada, Acting Grand Master.”

Jean mengerutkan kening. “Benarkah? Tidak ada barang yang dititipkan? Atau… pesan?”

Penjaga itu terlihat ragu sejenak sebelum menjawab, “Tidak ada, Nona Jean. Tidak seperti biasanya, ya?”

Jean terdiam.

Ia tidak tahu apa yang lebih mengganggunya—kenyataan bahwa ia mengharapkan sesuatu, atau kenyataan bahwa kali ini, tidak ada apa-apa.

“… Baiklah,” katanya akhirnya, sebelum kembali ke dalam.

Angin sore Mondstadt berembus pelan, tetapi entah kenapa, udara terasa lebih dingin dari biasanya.



HARI 9

Jean melangkah keluar dari markas Knights, udara malam Mondstadt sejuk di kulitnya. Langkahnya melambat ketika melihat sosok yang berdiri di bawah lampu jalan.

Diluc.

Memandangnya diam, ekspresinya tak bisa ditebak.

Jean berhenti. “Diluc?”

Diluc menatapnya sebentar sebelum akhirnya berbicara.


“Jean.”


Hening sejenak.


Lalu—


“Apa kau menyukaiku?”


Jean terdiam.

Bukan karena pertanyaan itu mengejutkan.

Tapi karena ia tidak tahu bagaimana menjawabnya.

Diluc menatapnya dalam. Ia bukan orang yang suka berbasa-basi, bukan orang yang suka berbicara tanpa tujuan.

Jadi ini—

Ini adalah sesuatu yang sudah lama ia tahan.

Jean menghela napas. “Kalau aku bilang iya, apa yang akan berubah?”

Diluc tidak langsung menjawab. Lalu, dengan suara yang lebih pelan, ia berkata, “Setidaknya, aku akan berhenti membuat kue.”

Jean mengernyit. “Apa?”

Diluc menarik napas, menatap Jean lebih lama. “Aku akan berhenti membuat alasan untuk bertemu denganmu.”

Jean menelan ludah.

Diluc melanjutkan, suaranya tetap datar, tapi ada sesuatu yang terdengar lebih dalam.

“Aku tidak ingin menjadi seseorang yang hanya kau perhatikan sesekali.”

Jean menggigit bibirnya.


Karena itu benar.


Selama ini, ia membiarkan kehadiran Diluc menjadi sesuatu yang bisa datang dan pergi. Sesuatu yang bisa ia nikmati tanpa memikirkan apa artinya bagi orang di depannya.

Jean menarik napas, menatap Diluc. “Aku tidak ingin kau pergi.”

Diluc mengangguk pelan. “Tapi aku juga tidak ingin hanya jadi bagian kecil di hidupmu.”

Jean meremas jemarinya, tapi ia tidak berpaling.


Hening lagi.


Lalu Diluc berbicara untuk terakhir kalinya malam itu. “Kalau begitu, temui aku di tempat yang sama besok.”

Jean menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia mengerti.

Bukan Diluc yang harus selalu berusaha.

Bukan Diluc yang harus selalu datang.

Jika ia menginginkan ini, jika ia menginginkan seseorang seperti Diluc di sisinya—

Maka ia yang harus berjalan mendekat.



HARI 9 (Malam)

   "Kak Jean, kau serius?"

Barbara duduk di kasur Jean, bersila dengan tangan terlipat di dada. Matanya menatap kakaknya dengan intens, seakan ingin memastikan Jean benar-benar sadar dengan apa yang sedang terjadi.

Jean menghela napas. "Barbara—"

"Tidak! Dengar dulu!" potong Barbara cepat. "Kakakku yang biasanya tegas dan tahu apa yang harus dilakukan, malah diam saja soal ini?"

Jean bersandar di kepala tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan ekspresi lelah. "Aku bukan diam, aku hanya..."

"Kau hanya ragu-ragu," sela Barbara tanpa ragu. "Padahal, kalau aku boleh jujur, aku bisa melihat kalau Kak Diluc benar-benar tulus. Aku bahkan tidak percaya dia berusaha sejauh ini! Dan aku juga bisa melihat kalau kau diam-diam memperhatikannya selama ini, kan?"

Jean membuka mulut untuk membantah, tapi kata-kata itu tidak keluar.

Barbara menarik napas panjang, berusaha menahan diri agar tidak bicara terlalu cepat. "Aku cuma ingin bilang satu hal, Kak: kalau kau benar-benar ingin melakukan sesuatu, lakukanlah. Kalau kau tidak ingin, jangan biarkan dia menggantung. Tapi jangan hanya diam saja. Jangan buat dia bertanya-tanya lebih lama."

Jean menggigit bibirnya. Kata-kata Barbara masuk akal.


Terlalu masuk akal.


Namun saat ia hendak membuka mulut, Barbara malah sudah tertidur lebih dulu, napasnya teratur.

Jean menatapnya beberapa saat, lalu menghela napas pelan.

Ia bangkit, mematikan lampu, dan berbaring di kasurnya sendiri.


Ia masih belum yakin apa yang harus dilakukan.


Tapi besok, mungkin, ia akan menemukan jawabannya.




HARI 10 (Pagi)

   "Barbara," Jean menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengatakannya, "bisakah kau membantuku membuat kue?"

Barbara, yang sedang menyiapkan sarapan, hampir menjatuhkan sendoknya. Matanya melebar, bibirnya menganga. "Kakak," katanya dengan suara bergetar, "ini... ini..."

Jean menatapnya, menunggu respon.

Barbara tiba-tiba menangkup kedua tangannya di depan dada, matanya berkaca-kaca. "Oh, Kakak! Aku selalu berdoa agar kau dan Kak Diluc bisa lebih terbuka satu sama lain, dan sekarang—!"

Jean tersenyum kecil, sedikit geli dengan reaksinya. "Jadi, kau mau membantu atau tidak?"

"Tentu saja aku mau!" seru Barbara semangat. "Aku akan memastikan kue ini sempurna!"

Jean tertawa pelan. "Aku tidak yakin bisa menyebutnya sempurna, tapi setidaknya harus bisa dimakan."

Barbara mengangguk penuh tekad. "Jangan khawatir, Kak! Ayo kita mulai!"





Satu setengah jam kemudian, dapur dalam kondisi bencana besar.

Tepung bertebaran di mana-mana, ada cangkang telur yang pecah di lantai, dan beberapa adonan pertama berakhir di tempat sampah.

"Kakak, ini..." Barbara menatap loyang pertama mereka yang berisi kue-kue berbentuk tidak beraturan. "Mungkin kita harus mencoba lagi?"

Jean menghela napas, menyeka sedikit tepung dari pipinya. "Sepertinya kita tidak punya waktu untuk percobaan lain."

Barbara menatap kakaknya, lalu tersenyum lembut. "Kak, tidak perlu sempurna kok. Yang penting, ini buatanmu sendiri."

Jean terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan.


Mungkin Barbara benar.



HARI 10 (Siang)

    Setengah jam Diluc menunggu di tempat mereka janjian.

Jean belum datang.


Diluc menghela napas, melirik ke arah matahari yang mulai naik lebih tinggi. Ia mulai mempertimbangkan untuk pergi, namun baru saja ia berbalik, suara langkah tergesa terdengar di belakangnya.


"Diluc!"


Diluc menoleh. Jean akhirnya muncul, sedikit terengah-engah, membawa sesuatu dalam genggamannya.

"Maaf aku terlambat," katanya.

Diluc menatapnya, lalu menurunkan bahunya sedikit. "Tidak apa-apa."

Jean mengambil napas, lalu mengulurkan kotak kecil yang dibawanya. "Aku... membuat ini untukmu."

Diluc menatap kotak itu sejenak sebelum menerimanya. Ia membuka tutupnya dan melihat kue kering yang bentuknya... agak berantakan. Beberapa tampak sedikit gosong di tepinya.

Jean menunggu reaksinya dengan cemas.


Diluc mengambil satu, menggigitnya pelan.


Jean menahan napas.

Lalu Diluc menutup matanya, menelan, dan mengangguk kecil. "Rasanya..." ia berhenti sejenak, "...lebih baik dari percobaan pertamaku."

Jean akhirnya tertawa kecil. "Itu tidak terdengar seperti pujian."

"Tapi aku menghargainya," kata Diluc, menatapnya.

Tanpa Jean dan Diluc harus berbanyak kata, mereka berdua sama-sama mengerti apa yang tengah terjadi. Apa yang ingin mereka bicarakan satu sama lain. Apa yang ada di dalam benak mereka.


Mereka memahami satu sama lain.


Sadar atau tidak.


Tatapan mereka seolah telah menghubungkan batin mereka berdua.

Diluc menunduk sedikit, ekspresinya sulit ditebak, tapi lalu Jean menyadari sesuatu: matanya sedikit berkaca-kaca.

Jean mengernyit. "Diluc...?"

Diluc mengedip beberapa kali, lalu dengan cepat membuang muka. "Tidak apa-apa."

Jean diam, sebelum akhirnya berkata pelan, "Jadi... kita mulai dari mana?"

Diluc terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil—senyum yang hampir tidak terlihat, tapi tetap ada di sana.

"Mungkin..." katanya pelan, "tak ada salahnya kita mulai dulu menjadi teman yang lebih akrab... dan saling mengenal satu sama lain."

Jean menatapnya, lalu mengangguk pelan.


Itu awal yang baik.

Komentar

Postingan Populer