Langsung ke konten utama

Featured Post

Ashes Under the Aspen | Genshin Impact Fanfiction: MavuiTano / CapUika ( Mavuika x Capitano ) — America Colonization AU

    Hutan aspen di kaki Pegunungan San Juan tunduk pada kesunyian kala cahaya rembulan menyinari jagat. Dedaunannya berdesir pelan seperti desahan roh-roh tua bersahutan. Batang-batang putihnya menjulang bak jemari para dewa yang lupa bagaimana rasanya menyentuh bumi. Tahun di catatan sejarah telah menginjak angka 1908, rel kereta telah mulai menggigit pinggiran barat Colorado.  Sungai Arkansas mengalir lambat saat matahari terbenam, membelah tanah merah dan hutan pinus menjadi dua dunia yang tak pernah saling bicara. Di sisi timur berdiri kokoh kediaman keluarga Hadleigh, bangsawan kulit putih, pemilik tanah, pemegang kontrak dagang, dan peluru. Di sisi barat, di balik bayang-bayang pohon aspen, hidup suku Tetsune—para penjaga gunung, peramu hujan, dan pewaris bumi—jauh sebelum peta-peta dibuat. Kendati dunia luar sudah berubah mengikuti perkembangan zaman, masih ada satu sudut kecil yang belum terjamah modernisasi. Tempat itu tidak tergambar dalam peta manapun, tidak di...

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana.

Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana. Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ..., batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan, sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya.

"Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

Terdengar dari ...

kamarnya?

Toby, sebagai seekor anjing peliharaan turut melompat ria bersama Hayleen di atas tempat tidur Benedict dan Rania.

"... anak-anakku," gumam Benedict yang baru terbangun dari tidur, nyawa masih belum genap terkumpul kembali. Beberapa saat kemudian Benedict sedikit berjengit kaget menyadari keberadaan Toby yang terlalu dekat. Akan tetapi tak berniat menunjukkan dengan jelas ketidaknyamanannya di hadapan kedua bocah berparas identik dengan dirinya itu.

"Kenapa tidak bangunkan aku?" tanya Benedict kepada Rania. Nada bicaranya lembut, pandangan mata terpusatkan hanya pada Rania.

"Semalam badanmu panas sekali, Ben ... ak-aku takut kau mati!" Rania berkata dengan cemas, tangannya menggenggam tangan Benedict yang masih terasa hangat. Wajahnya memancarkan ketakutan yang luar biasa, seolah-olah ada yang hilang dalam hidupnya ketika ia hampir kehilangan suaminya. Namun, meskipun kecemasan itu tampak begitu jelas di matanya, ada sesuatu yang tersembunyi jauh di dalam hatinya, sesuatu yang ia sembunyikan selama bertahun-tahun.

Benedict menatapnya, matanya setengah terbuka, merasa bingung dan lelah. Ia merasa sesuatu yang aneh sedang mengganggu pikirannya, tetapi tidak bisa mengidentifikasinya. Semua yang ia tahu adalah bahwa Rania, perempuan yang selalu elegan dan terlihat penuh kendali, tampak begitu rapuh. Ia merasa sangat tidak enak melihat betapa cemasnya Rania. Namun, Benedict juga merasa ada sesuatu yang salah, sesuatu yang lebih dalam, namun ia tidak tahu bagaimana cara untuk memahaminya.

"Rania," Benedict memanggil dengan suara lemah, "Kenapa kau selalu merasa harus terlihat sempurna di depanku? Kau selalu menjaga semuanya, menjaga agar tak ada yang tampak salah. Aku merasa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku."

Rania terdiam. Kata-kata itu menghujam langsung ke hatinya. Ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi menyembunyikan semuanya, tetapi rasa takut itu begitu besar. Rania selalu berusaha menunjukkan sisi terbaik dirinya, bahkan ketika ia merasa hancur di dalam. Dan selama bertahun-tahun, ia merasa bahwa ia harus menyembunyikan kelemahan yang paling besar—disleksianya. Kondisi yang membuatnya merasa tidak cukup, merasa bodoh meskipun ia selalu berusaha keras. Jika Benedict tahu tentang kondisinya, apakah ia masih bisa mencintainya dengan cara yang sama? Apa yang akan terjadi jika ia mengakui bahwa ia merasa gagal sebagai istri, sebagai ibu, hanya karena ia kesulitan membaca atau menulis?

Benedict menatapnya dengan mata yang masih terasa kabur, sedikit bingung dan lelah. Ia tak bisa menyembunyikan ketidaknyamanan yang ia rasakan. Namun, di balik itu semua, ada perasaan yang lebih dalam—perasaan takut kehilangan. "Kenapa kau selalu merasa seperti ini, Rania?" katanya dengan suara pelan, berusaha meraih kekuatan dalam dirinya. "Kenapa selalu ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"

Rania terdiam, wajahnya merona karena perasaan yang begitu berat. Ia ingin menjelaskan semuanya, ingin mengungkapkan apa yang selama ini ia sembunyikan, namun ada sesuatu yang menahannya. Sejak dulu, ia selalu merasa tidak cukup—tidak cukup baik untuk Benedict, tidak cukup baik sebagai seorang istri, dan terkadang ia merasa tak cukup baik sebagai ibu. Semua itu semakin memuncak saat masalah mereka semakin besar. "Benedict, aku ... aku takut," kata Rania dengan suara pelan. "Aku takut kau akan melihat aku berbeda jika tahu betapa aku ... tidak mampu. Aku takut semuanya hancur. Aku takut kita akan berpisah ... dan aku tak tahu bagaimana harus melanjutkan tanpamu ...."

Benedict menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu? Rania, kau selalu begitu kuat, begitu ... sempurna di mataku."

Namun, Rania hanya bisa menunduk. "Kau tidak tahu betapa sulitnya setiap hari untuk menutupi semuanya. Betapa aku merasa bodoh ketika tidak bisa memahami sesuatu yang mudah bagi orang lain. Aku merasa tidak pantas di sisimu, tidak pantas menjadi istrimu."

Benedict merasa hatinya teriris mendengar kata-kata itu. Ia tidak pernah tahu bahwa Rania merasa begitu, merasa terbelenggu oleh sesuatu yang bahkan ia anggap sepele. Ia selalu mengagumi Rania yang selalu tampak tenang, elegan, dan cerdas. Namun, kenyataannya, Rania telah menanggung beban berat sendirian, berusaha untuk selalu tampil kuat meskipun di dalam hatinya penuh dengan rasa tidak percaya diri.

"Aku ... aku tidak tahu, Rania," Benedict berkata dengan suara pelan. "Kenapa kau tidak memberitahuku? Kau tidak perlu menanggung semuanya sendirian. Kita ini tim. Kita bisa menghadapinya bersama."

Rania merasakan air mata yang hampir jatuh, namun ia menahannya. Ia tidak bisa menunjukkan kelemahannya lebih jauh. Ia takut jika Benedict tahu, ia akan melihatnya sebagai seseorang yang tidak cukup baik. Bahkan ketika mereka berdua sedang berhadapan dengan ketegangan yang membentang di antara mereka, rasa takut itu tetap ada, menghantuinya. Bagaimana bisa ia menunjukkan dirinya yang sebenarnya kepada Benedict setelah bertahun-tahun menyembunyikan sisi itu?

Tiba-tiba, langkah kaki kecil terdengar dari pintu kamar mereka. Hayleen, anak perempuan mereka yang selama ini selalu penuh dengan keceriaan, muncul dari balik pintu dengan wajah khawatir. Hayleen yang seharusnya tidak ada di timeline ini, yang ada karena mereka belum memutuskan jalan hidup mereka, menatap mereka dengan tatapan penuh kekhawatiran. 

"Apakah Ayah dan Ibu baik-baik saja?" Hayleen bertanya, suara lembutnya membawa kehangatan yang kontras dengan ketegangan yang ada di ruangan itu.

Benedict tertegun, matanya terbelalak melihat anak perempuannya yang seharusnya tidak ada. Sosok anak perempuan yang tidak seharusnya membuat dirinya diterpa lautan nostalgia. Hayleen, dengan wajah yang sangat mirip dengan Rania—penuh dengan harapan dan kasih sayang—adalah pengingat bahwa keputusan mereka hari ini akan menentukan segalanya. "Hayleen ...," gumam Benedict, hampir tak percaya. "Tapi ... kenapa kamu ada di sini?"

Hayden, anak mereka yang sudah beranjak remaja, muncul dengan wajah khawatir. Ia sudah selesai berdiam diri di samping sang adik perempuan, Hayleen, menyaksikan segalanya. Akhirnya, ia maju dan bersuara, "Ayah, Ibu, ada apa? Kenapa Ayah terlihat begitu lemah?" tanyanya, penuh dengan kekhawatiran.

Benedict mencoba tersenyum, namun senyum itu terasa hambar. Ia melihat Hayden, dan untuk sekejap, ia merasa seolah semuanya yang ada di depan matanya adalah refleksi dari rasa takut dan kebingungannya. Hayden, yang wajahnya begitu mirip dengannya, adalah bukti bahwa semuanya masih bisa diperbaiki, jika ia bisa bertindak dengan bijaksana. Tapi ia merasa begitu lemah, seperti kehilangan arah dalam hidupnya.

"Ayah tidak apa-apa," jawab Benedict, suara itu terdengar kosong. "Aku hanya sedikit kelelahan."

Tapi Hayden tidak mudah tertipu. "Aku tahu ada yang salah," katanya dengan lembut. "Aku takut kalian akan berpisah. Aku ingin kalian tetap bersama. Kalian harus mencoba lagi."

Rania menatap Hayden dengan perasaan campur aduk. Anak mereka yang begitu besar, yang tumbuh begitu cepat, adalah salah satu alasan ia terus berjuang meskipun hatinya terasa patah. Hayden adalah cermin dari masa depan yang bisa mereka capai—sebuah masa depan di mana keluarga ini tetap utuh, tetap penuh cinta.

"Hayden benar, Rania," kata Benedict perlahan, menatap istrinya dengan kesungguhan yang baru. "Kita bisa melewati ini. Aku akan mencoba, untukmu, untuk Hayden, untuk kita semua."

Rania menatapnya dengan air mata yang mulai mengalir. Ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit lebih ringan, seolah ada harapan yang kembali. "Ben ... terima kasih," katanya, dengan suara yang hampir berbisik. "Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa kamu."

Hayden berdiri di antara mereka, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa mereka semua mungkin bisa saling menemukan kembali.

Benedict menatap Rania, matanya penuh dengan rasa penyesalan dan kasih sayang. "Jika ini semua benar sebuah mimpi ... biarkanlah aku terus bermimpi, biarlah aku tenggelam hingga ke dasar kehampaan yang tak berujung."

Namun, kali ini, Rania menggenggam tangannya lebih erat. "Tidak, Ben. Kita harus bangun dari mimpi itu bersama. Kita harus berjuang bersama, untuk kita, untuk Hayden, dan untuk masa depan kita."




Kehilangan keseimbangan sejenak, Benedict merasakan tubuhnya seperti terhisap ke suatu dimensi yang tidak ia kenali. Terasa begitu asing dan tidak nyata. Setelah beberapa saat, matanya beradaptasi dengan cahaya yang menyilaukan itu. 


"Rania?"

"Hayden?"

"Hayleen?!"


Ketika pandangannya kembali jernih, ia melihat seseorang di depannya. Sosok seorang pemuda dewasa yang tampaknya merupakan perpaduan sempurna antara dirinya dan Rania. Ada sesuatu yang sangat familiar pada wajah itu, namun juga sangat asing. Sebuah perasaan dejavu yang kuat melanda dirinya. Rasanya seperti bertemu dengan Hayden, anak laki-lakinya, tetapi dalam wujud dewasa.

"Hayleen tak ada di sini," kata pemuda itu dengan suara yang begitu mirip dengan suara Hayden di masa kecil.

Benedict terkejut, matanya terbuka lebar. "Ha-Hayden?" tanyanya ragu, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Ya, Ayah. Ini aku, Hayden, anakmu dari masa depan." Pemuda itu menjelaskan dengan tenang. "Aku di sini untuk memberi tahu sesuatu yang penting."

"Masa depan?" gumamnya, mencoba mengerti. Benedict masih terdiam, merasa seperti diseret ke dalam sebuah mimpi yang aneh. "A-apa itu, Ha-Hayden?"

"Ya, Ayah. Ini aku, tak lain merupakan anakmu, Hayden di masa depan. Nanti Hayden kecilmu yang di sana akan tumbuh jadi pemuda setampan aku," kata Hayden. "Di masa kecilku banyak orang berkata bahwa melihatku saja mampu membuat mereka bernostalgia akan masa mudanya bersamamu. Orang bilang aku sangat mirip denganmu, tetapi di saat yang sama mirip pula dengan Ibu."

Benedict menatap pemuda di depannya dengan penuh keheranan. Tentu saja, pernyataan itu terdengar seperti sesuatu yang akan dikatakan oleh Hayden kecil. Tapi kali ini, sosok yang ada di depannya adalah Hayden dewasa, anak yang selama ini ia kenal dengan segala kenangan indah masa kecilnya.

"Itu memang terdengar seperti Hayden ...," timpal Benedict seraya mengangguk-angguk, keningnya mengernyit. Muka Benedict yang tertekuk itu seolah masih mencari-cari penjelasan lebih lanjut. Namun, sepersekian detik kemudian tawa renyah memecahkan keheningan di antara keduanya.

Hayden tersenyum dengan hangat, menenangkan ayahnya yang masih kebingungan. "Pilihan ada di tanganmu, Ayah," kata Hayden dengan serius, meskipun matanya tetap bersinar penuh kasih. "Pilihlah dan tolong pikirkanlah apa yang menurutmu benar-benar terbaik, Ayah."

Benedict terpana mendengar kata-kata itu. Ia merasa berat, tetapi juga teringat akan betapa pentingnya peran yang ia mainkan dalam hidup anaknya. Keputusan apa yang ia buat hari ini akan mempengaruhi banyak hal, bahkan masa depan anaknya sendiri.

"Eksistensiku di dunia ini bergantung pada setiap langkahmu."

"Terima kasih ... Ayah," kata Hayden, seolah memberi penghormatan pada keputusan yang akan diambil oleh Benedict.

Dengan suara yang hampir tak terdengar, Benedict mengangguk, merasakan betapa besar tanggung jawab yang ada di pundaknya. Ia tahu, keputusan ini tidak bisa diambil dengan sembarangan. Namun, satu hal yang pasti, ia akan memilih yang terbaik demi masa depan anaknya.

Cahaya terang itu perlahan memudar, dan Benedict kembali merasakan genggaman tangan Rania di sampingnya. Lingkungan taman yang indah kembali mengelilingi mereka. Namun, sesuatu telah berubah dalam diri Benedict. Perasaan yang ia rasakan begitu kuat, dan ia tahu bahwa pilihan yang ia ambil hari ini akan menentukan banyak hal untuk masa depan mereka.

Di dalam hatinya, ia bertekad untuk memilih jalan yang benar, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk Hayden dan masa depan mereka bersama.



*


"Mimpi yang panjang, bukan?"

"Apakah mimpimu indah, Ayah?"


——







- Song of the Day -

ZAYN, ft. Sia - Dusk Till Dawn



Jangan lupa support terus author manhwa satu ini, arrnuni, dengan baca The Unwelcome Guests of House Fildette secara resmi, ya! Untuk bahasa Indonesia, tersedia hanya di KAKAO WEBTOON.

Tampilan judul The Unwelcome Guests of House Fildette di KAKAO WEBTOON (dok. pribadi Penulis)



Komentar

Postingan Populer