Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

Imperfects in a Bond : Topeng Kesempurnaan | Dwayalatus' Genshin Impact Fanfiction Project 2023: Wanderer ( Balladeer / Kunikuzushi / Scaramouche ), Raiden Shogun (Narukami no Mikoto ) , Raiden Ei Fanfiction

 

 Topeng Kesempurnaan

 

 

Semua orang melihatku bahagia.

Semua orang melihat tawaku yang merendahkan orang lain ke manapun aku pergi.

Semua orang melihatku sebagai anak konglomerat brengsek yang dimanja. Yang menyebalkan. Yang akan mendapatkan apapun yang kumau tanpa perlu usaha. Yang tak pernah menderita seumur hidupku. Spoiled brat.

Akan tetapi, pernahkah mereka melihat diriku yang sesungguhnya?

Pernahkah kalian mengenalku dan menyadari sendiri kenyataan yang kupendam dalam-dalam?

Pernahkah?

Pernahkah?

PERNAHKAH?

.

 

.

 

.


Tidak. 

Jawabannya adalah tidak.

Itu karena diriku yang begitu pintar bersembunyi dalam topeng-topeng semu yang kucipta. Keluargaku sendiri tak tahu jati diriku, orang macam apa yang tertimbun dalam tumpukan topeng tersebut. Orang terdekatku saja tak tahu!

Lantas, bagaimana kalian bisa tahu?

Cenayang yang bisa melihat jauh ke dalam isi hatiku yang kotor ini?

Hah!

Jangan bercanda.

Aku begitu pandai dalam segala hal, termasuk bersembunyi, sampai--sampai aku merasa sangat pantas mendapatkan segala puji dan sanjungan. Segala hadiah dan gelar kejuaraan. Aku pantas mendapatkannya.

Aku lebih dari pantas mendapatkannya!

Kunikuzushi, Scaramouche, Balladeer, Kasacchi, Wanderer, dan Si Bajingan.

Manakah dari mereka yang kalian kenal?

Pernahkah kalian berpikir ....

untuk mengenal Fujin?


***


        Saat itu, aku masih 7 tahun.

Ketika aku menyaksikan sendiri borok jelek yang disembunyikan rapat-rapat oleh Ibuku yang sempurna. Ibuku berubah drastis dalam semalam. Mulai dari gaya bicaranya, gerak-geriknya, sorot matanya ....

Terlebih perlakuannya kepadaku dan Raijin.

Oh, salah. Tampaknya mungkin sikapnya kepadaku yang lebih perlu dikhawatirkan.

Ibuku berubah.

Semua berubah.

Ibuku menggila.

Ah, apakah Ibuku benar-benar jadi gila? Atau Ibuku ....

kesurupan?

Haruskah aku panggil onmyouji dari Kuil Narukami untuk mengusir roh jahat dalam tubuh Ibuku?

Aku tak tahu.

Aku bingung. Linglung ... tak tahu harus melakukan apa.

Saat itu aku masih 7 tahun.

"Anakku, fokus!" gertaknya, seraya memukulkan tongkat panjangnya ke meja. Pukulan yang begitu keras, menimbulkan suara yang tak kalah keras pula.

Aku dan Raijin sontak berjengit kaget. Kompak. Badanku bergidik merinding, sementara tanganku bergetar ketakutan. Mataku terasa panas, dada sesak, dan jantung berdetak cepat. Keringat dingin bercucuran membasahi pelipisku. Benak yang kusut, emosi bercampur-aduk.

Takut.

Kala itu, barulah aku merasakan teror bernama ketakutan untuk yang pertama kalinya dalam seumur hidup.

Meskipun kata 'anakku' yang diucap, sukar aku menemukan ketulusan dari perkataannya. Apalagi kasih sayang yang biasanya dikucurkan pada kami, hingga aku malu saat mendapat sebutan itu di depan teman-temanku. Tetapi, kini mendengarnya hatiku hampa. Tak terasa apapun.

Ibu aneh.

Belakangan, aku sering memergoki sendirian di dapur. Tengah malam, sambil menggenggam sebilah pisau di tangan. Dengan senyum merekah di wajah, pipi merah merona. Tak lupa seraya melantunkan beberapa lagu tanpa lirik dengan suaranya yang indah, merdu.

Seperti malam itu ... saat pertama kalinya aku mendapati kebiasaan baru Ibu yang aneh itu. Ia menyanyikan sebuah lagu tanpa lirik, yang aku bahkan tak tahu judul dan kapan lagu itu diciptakan. Akan tetapi, aku dapat merasakan kesedihan dan keputusasaan tersirat di dalam tiap-tiap alunan nadanya.

Di balik dinding tinggi yang menyekat antara dapur dan ruang keluarga, bersembunyilah aku yang tak lagi bisa membendung air mata. Aku, 7 tahun, telah terlarut suasana hanya dari senandung seseorang yang bahkan tak kuketahui maknanya. Karena itu, tanpa kuketahui aku sudah tersengguk-sengguk, dengan ingus mengalir dari hidung yang tak bisa kutahan keinginan menyedotnya kembali.

"Hmmmm~ Fujin-kun?"

Refleks aku berjengit saat suara indah itu telah berhenti bersenandung dan memanggil namaku.

Aku ketahuan.

Begitu cepat, hanya karena ingus sialan tadi.

Namun, aku tetap memilih tak bersuara. Kubungkam mulut dengan kedua tanganku sendiri, berusaha mati-matian agar tak lagi berbunyi.

"Fujin-kun~?" Suara Ibu memanggilku.

Namun, entah mengapa aku lebih untuk diam dan pura-pura tak ada di sana saat itu. Seolah sesuatu di alam bawah sadarku lah yang menyuruh. Padahal, Ibu memanggilku. Harusnya tak ada apa-apa ...

'kan?

"Hummm~ Fujin-kun, anak lelakiku ... yang masih hidup~ Hu-hu~"

Apa maksudnya itu?

Bagaimana pula ia bisa tahu kalau ini aku?

Ini bukan Ibu.

"Fujin-kun, kamu di situ, 'kan?" Lagi.

Aku jadi bingung, hendak tetap diam saja atau langsung muncul di hadapan Ibu dengan salah satu dari jutaan alasan yang terlintas dalam benak. Tetapi, tubuhku seolah terpaku di tempat, tak mau digerakkan. Mengapa? Ada apa denganku?

Pikiranku yang kalut itu akhirnya terbuyarkan oleh kenyataan genting - sebilah pisau dapur melayang tepat ke arahku. Detak jantungku berpacu lebih cepat, sempat syok dan tak terpikirkan apa-apa. Dan saat pisau itu melesat makin dekat padaku, kembali aku mendapatkan kesadaran. Sesegera mungkin aku memiringkan kepala dan menggeser tubuh untuk menghindar. Aku berhasil menghindarinya.

Dalam hatiku, aku mengucap sumpah serapah yang tak terhitung jumlahnya.

"Ups, untung meleset~" Lagi-lagi ....

"Fujin-kun, maafkan Ibu, sepertinya tangan Ibu licin. Ibu ke sana, ya~"

"Ibu menghampiri anak kesayangan Ibu~"

Bulu kuduk di sekujur tubuhku menegak, merinding. Sambil air mata menetes, kugigit bibir bawahku agar tak terdengar suara isakan. Kukerahkan seluruh tenaga, menguatkan kedua kaki. Tujuanku naik tangga dan kembali menuju kamar. Itu saja.

Berlari menaiki tangga selekas mungkin, masih kusempatkan menoleh ke belakang. Hah ... walau sudah menebaknya terlebih dulu, tetapi aku tetap kaget. Ibu mengejar.

Ibu mengejar!

Untuk apa Ibu mengejar ... untuk apa pula aku takut dan berlari sekuat tenaga begini, kabur dari kejaran Ibu ... entah! Pikiranku berantakan, tetapi tetap kupercepat saja langkahku. Aku malah bertambah gugup, sebab bagiku, entah mengapa anak-anak tangga itu terasa semakin panjang dan panjang saja. Seolah tak ada habisnya.

Ketika hampir sampai kamar, aku terhenti ketika mendengar suara bedebum yang keras. Pada momen itu, baru aku tersadar ... Ibu sudah tak lagi mengejar. Aku menilik ke tangga bawah dengan keberanian tersisa. Justru aku lebih syok lagi usai melihat apa yang ada di sana.

Ibuku ... tergeletak di antara bordes dan anak tangga.

Namun, aku tak berani mendekati, setelah semua hal yang terjadi tadi. Aku hanya menganggap tak melihat apa-apa, berbalik badan ...  dan lari menuju kamar.

Tidak ada apa-apa.

Tidak ada apa-apa, kok.

Tak apa .... 

Begitu pikirku waktu itu.

 

 

 

 

"Raiden Fujin?"

Suara itu membuatku terbangun dalam pikiran panjang di dalam benak. Aku mengedip-ngedipkan mata untuk mengumpulkan kembali segenap nyawa yang terberai sebelumnya. Aku sadar kalau aku masih berada dalam posisi duduk bersila. Menoleh ke kanan lalu ke kiri, pemandangan yang terlihat oleh mata adalah furnitur-furnitur bergaya Inazuma klasik yang tertata rapi di ruangan luas tak bersofa ... dan terkesan dingin -- ialah ciri ruang keluarga rumah kami yang masih terang benderang kendati jam di pojok telah berdentang dua belas kali. 

Tak ada lagi sudah Raijin di sekitar, tampaknya ia telah menyelesaikan belajarnya dan diperkenankan beristirahat. Syukurlah. 

Di seberang tempatku duduk, tergantung sebuah lukisan berpigura emas, memiliki ukuran kira-kira tinggi 2 meter dan lebar 1,5 meter. Itu adalah lukisan keluarga kami - ada Ibu, aku, dan Raijin yang menghadap lurus ke depan, ketiganya sama-sama berpose tubuh tegak dan berekspresi datar. Kiri-kanannya terlalu simetris. Warna yang digunakan monoton, sehingga meninggalkan impresi dingin dan membosankan, tetapi masih juga mewah ketika orang melihatnya. Menggambarkan dengan persis apa yang menjadi citra keluarga kecil kami ini: terlihat bermartabat, bercukupan, gaya hidup mewah, tetapi kaku, dan tak bahagia. 

Aku benci melihatnya.

Dahulu, di sana terpajang foto kami berempat - Ayah masih termasuk dalam potret-potret keluarga, termasuk yang dulunya terpajang di sana. Saling rangkul, tersenyum dan bahkan tertawa bahagia.

Saat ini sudah tak ada lagi kebahagiaan yang terbingkai.

Namun, aku juga benci dengan itu. Aku tak suka melihatnya.

Aku benci dengan seluruh rumah ini dan suasana tak enak yang menyelimutinya. Aku benci rumah ini dan tiap-tiap orang yang tinggal di dalamnya. Memandang mereka membuatku teringat belenggu dan jeruji kasat mata yang menahan diriku di rumah ini.

Lalu, pada saat aku menengadahkan kepala, aku refleks berteriak, "Astaga, Ya Dewa Yang Maha Pengasih!" - latah yang sama dengan Ibu, yang menjadi kebiasaanku walau sebenarnya tak suka.

Ibu berdiri di belakangku, menatap tajam tepat kepadaku. Pandangan yang terasa seolah merajam sekujur tubuhku semenjak kejadian itu. Namun, hanya sebentar aku merasakannya, karena raut Ibu sudah berganti menjadi topeng ramah yang biasa ia kenakan. Senyum manis yang busuk.

"Fujin, Nak. Kenapa kamu berhenti mengerjakan soalnya? Kamu kesulitan?" tanya Ibu, lalu memegang pundakku. Namun, lama-lama sentuhan lembut itu berubah menjadi cengkraman yang mengintimidasi.

Aku benci, tetapi tak punya keberanian lebih untuk melakukan apa-apa tentangnya.

Seluruh badanku bergetar karena takut, bulu kuduk berdiri sebab merinding. Mataku spontan terpejam, tetapi tak lama, karena pandangan Ibu yang terasa menusuk kepala belakangku tersebut seolah memaksa untuk membuka mata lebar-lebar dan memperhatikan soal yang dimaksud.

Tongkat panjangnya terjulur ke meja, dihantamkannya dengan tenaga, sehingga tercipta suara ketukan nyaring darinya. Itu dilakukan hanya untuk menunjuk sebuah nomor soal. Soal nomor 7, tentang Teorema Pythagoras yang seharusnya bahkan belum untuk kupelajari.

"Kamu sudah lelah, Anakku? Mau tidur dulu?"

Aku tak berani untuk mengiyakan dan hanya menggeleng lemah.

Aku masih ingin hidup ... dan meski tak suka, memang inilah satu-satunya cara untuk hidup aman hingga aku cukup besar untuk melanjutkan hidup mandiri -- dengan berlindung di bawah sosok bertopeng kesempurnaan yang tak kuketahui identitasnya.


***


Di sekitar umur 9-10 tahun, Ayah kandungku masih hidup.

Ia belum mati, tetapi hidupku berasa seperti tak memilikinya. Punya tak punya, hidupku sama saja. Datar dan cenderung masam. Penuh dendam dan benci.

Seperti kisah klasik drama bertema polemik kehidupan orang kaya, meski berstatus 'menantu' di keluarga Raiden, karena laki-laki, Ayah lebih diutamakan untuk mendapat jabatan tinggi di perusahaan. Ibu tinggal di rumah, mengurus anak-anak (yaitu kami), jarang diperkenankan keluar rumah. Padahal statusnya 'anak kandung' dan sudah bersusah payah sekolah tinggi-tinggi.

Ayah jarang ada di rumah dan sekalinya ada pun, kami hampir tak pernah berkomunikasi. Benar-benar hidup individualis.

Sore itu, kami bertiga sedang berkumpul bertiga. Tepatnya di ruang keluarga yang menyimpan begitu banyak kenangan, baik itu yang menyenangkan maupun traumatis. Ibu mendampingi (baca: mengawasi) kami berdua belajar di sana. Seperti biasanya, hal yang selalu kami lakukan di rumah.

Di tengah keheningan yang tentram, mendadak sebuah dentuman keras terdengar dari luar. Tak lama setelahnya, suara riuh pintu yang didobrak paksa dengan beberapa kali usaha.

"Kalian semua keluar! Tanpa membawa satu barangpun!" Sebuah seruan kasar menggema di seluruh penjuru rumah. Sang penyeru mengenakan pakaian rapi nuansa biru. Kemejanya biru terang, sementara jasnya biru dongker. Dasi putih ber-strip biru melingkar cantik di lehernya. Sosoknya kurus dan tak terlalu tinggi. Namun, di belakangnya berdirilah sekelompok pria paruh baya bertubuh gempal yang wajahnya sangar-sangar, selayaknya seorang rikishi yang ditakuti banyak orang.

Pria penakut yang selalu membawa gerombolan preman sebagai bodyguard di belakangnya itu adalah Ayahku, yang bahkan sudah kulupakan namanya. Dia merupakan pria lemah yang membutuhkan kekuatan orang lain untuk melindungi jabatan tinggi yang dengan senang hati dipikulnya.

Menyaksikan kehadiran tak terhormat tamu tak diundangnya, Ibu tak gentar. Ia bangkit dari duduknya dan segera berdiri tegak di ambang sekat yang memisahkan ruang tamu tempat pintu terdobrak itu berada dan ruang keluarga. Tangan menggenggam tongkat ungu panjangnya dan mata menatap sinis para penyusup. "Mengapa aku harus keluar dari rumahku sendiri atas paksaan orang lain?" tanya Ibu dengan nada mencerca. Dagunya diangkat sedikit, seolah menantang mereka.

Meskipun situasi di mana rumahmu diserang oleh sepasukan pria berbadan besar nan gahar itu seharusnya menyeramkan, Ibu tetap bergeming di tempat. Pandangannya lurus kepada mereka, postur sempurnanya yang seperti tak terbengkokkan sedikitpun, senantiasa berpegangan erat pada tongkatnya. Bagaikan seorang ksatria pada posisi bertahan; siap menanti lawan menyerangnya terlebih dahulu dalam sebuah duel.

"Oh, Ei, istriku yang polos dan bodoh," ujar pria kurus itu, jelas mencemooh Ibu. Opiniku tentang translasi ucapan tersebut didukung oleh alis yang naik satu dan sudut bibir terangkat miring di muka menyebalkannya. "sifatmu yang terkadang temperamental itu masih sama saja seperti dulu. Aku suka kegilaanmu itu!"

Raijin berlari ke kamar mematuhi titah, tetapi aku tetap diam tak bergerak pada tempat persembunyian strategisku. Walau jantung berdebar dengan kurang ajar ugalannya, aku tetap berada di sini. Lokasiku saat ini seharusnya tak terlihat oleh orang dari arah pintu masuk. Meski sepertinya Ibu sadar aku belum beranjak dari tempat, ia tak ambil pusing dan bersikap seolah tak mengetahuinya.

'Preman' itu menepi, membiarkan Ayah berada di tengah-tengah mereka. Sepenuhnya memberi akses kepada Ibu, tanpa menghalangi sedikitpun.

Dengan satu gerakan, dari sini Ibu terlihat seperti mematahkan tongkat panjang kesayangannya itu. Namun, dalam sepesekian detik setelahnya tongkat ungu itu sudah menusuk dada kiri Ayah. Ujung satunya yang menembus di bagian belakang tubuh Ayah ternyata lancip dan runcing seperti mata tombak. 

"Sengaja kubuat meleset, bersihkan tempat ini dan bawa dia ke rumah sakit secepatnya." "dia belum boleh mati sekarang."

"Ya, Nyonya."

Itu semua terjadi begitu cepat, mataku tak bisa mengikuti setiap pergerakannya.

Ibuku marah besar. Sisi gelapnya mengganas.

Ibuku tak ingat pernah menodai tangannya dengan darah Ayahku yang brengsek.

 ... atau yang tadinya kupikir demikian.

 

 ***

 

Tahun ketiga belasku hidup. 

Saat itu, Ayah kandungku pun masih hidup ... dan menyebalkannya lagi ia masih saja sehat walafiat. Hidup bahagia seolah tak berdosa dengan keluarga barunya yang menjijikkan. Tergelak oleh candaan-candaan serta kalimat-kalimat busuknya sendiri bersama istri tidak sahnya dan putri bungsunya yang imut sekali sampai membuatku terus menanti kabar buruk menerpa mereka.

Ibu melarang kami untuk keluar dari mobil dan menunggu saja, dengan alasan bahwa ia tak akan lama berada di dalam sana. Hanya Raijin yang mematuhinya, aku yang berjiwa lebih pemberontak sama sekali tak mengindahkan larangan itu, meski diancam sekalipun.

Raijin tak lagi ingat, hanya aku.

Hanya aku yang mengingatnya.

Dendam ini ....

Hanya aku yang memendamnya.

Komentar

Postingan Populer