Cari Blog Ini
Sebuah pojok fanfiksi berbahasa Indonesia, dibuat oleh penggemar untuk penggemar pula
Featured Post
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Somebody to Hold My Life ~ K-Drama Crossover The King : Eternal Monarch and Guardian : The Lonely and Great God Fanfiction | Lee Gon ( Lee Minho ) , Ji Eun Tak / Jung Tae Eul ( Kim Goeun ) , Dokkaebi / Goblin / Kim Shin ( Gong Yoo ) , Jeosung-saja / Wang Yeo ( Lee Dongwook ) , Kim Sun / Sunny ( Yoo In Na ) AU Fanfiction
"Jeong Tae Eul. 63 tahun. Lahir 26 Mei 1990. Penyebab kematian: terbentur batu di kepala, bertempat di pinggir Laut Kuning Kerajaan Corea. Benarkah itu kau?"
***
PERHATIAN!
1. CERITA INI BERSIFAT FIKSI DAN DIBUAT UNTUK KEPERLUAN HIBURAN SEMATA. KESAMAAN NAMA, AGAMA, TEMPAT, DAN WAKTU YANG ADA DI CERITA INI ADALAH TIDAK DISENGAJA.
2. CERITA INI KEMUNGKINAN BESAR MENGANDUNG SPOILER ALUR CERITA DARI KEDUA DRAMA YANG BERSANGKUTAN -- The King: Eternal Monarch dan Guardian : The Lonely and Great God.
3. CERITA INI AWALNYA DITULIS HANYA SEBAGAI MENGOBATI RASA RINDU PRIBADI AUTHOR TERHADAP KEDUA DRAMA KOREA INI. TIDAK MELALUI TAHAP PROOFREADING LEBIH LANJUT.
4. CERITA INI MENGANDUNG KONTEN ROMANSA KLASIK YANG CHEESY, KARENA ITU SILAHKAN PERSIAPKAN MATA, HATI, DAN OTAK KALIAN. :D
Please do proceed at your own risk. Thank you.
Selamat membaca~
Penulis,
- Shinadara -
***
Somebody to Hold My Life
Fanfiction Crossover The King: Eternal Monarch dan Goblin: The Lonely and Great God
written by Shinadara
.
Tae Eul mengedip-ngedipkan mata, lalu menoleh ke kanan dan kiri. Raut wajahnya penuh kebingungan. Kemudian, ia menunjuk kepada dirinya sendiri. "Jeong Tae Eul ... kematian ... yang kau maksud itu ... aku?"
Sang Jeosung-saja bernamakan Wang Yeo berdeham, lalu mengulangi ucapannya, "Jeong Tae Eul. 63 tahun. Lahir 26 Mei 1990. Penyebab kematian: terbentur batu di kepala, bertempat di pinggir Laut Kuning Kerajaan Corea. Itu kau, 'kan?"
"Benar, aku Jeong Tae Eul. Tapi, 'mati'? Hei! Aku masih hidup, sehat sejahtera, sedang berbincang-bincang denganmu!"
"Satu-satunya orang yang berbincang dengan Jeosung-saja adalah orang yang telah mati, Jeong Tae Eul-ssi," ujar Wang Yeo. "tak apa, Jeong Tae Eul-ssi, semua orang mati memang awalnya demikian."
Dahi Tae Eul mengernyit, kesal dengan pembicaraan yang terus berputar-putar di tempat ini. Di belakang punggung, tangan kirinya terkepal. Begitu kencang, hingga urat-urat nadinya menonjol.
"Nah," kata sang Jeosung-saja, kembali memulai percakapan. "mari, Jeong Tae Eu-ssi?"
Pada saat itulah.
Dengan secepat dan segenap tenaga, Tae Eul melayangkan tinjunya, membidik tepat pada hidung pria itu. Namun, pukulan mantapnya yang selama bertahun-tahun selalu tepat sasaran itu kini meleset.
Sedikit goresan pun tak nampak pada wajah putih pucat berbibir merah itu.
Harga diri Tae Eul yang bersabuk hitam taekwondo itu kini terluka.
Ketika kepalannya nyaris saja mengenai hidung mancung sang Jeosung-saja, pada momen itulah Tae Eul merasakan lengannya kaku -- tak bisa digerakkan, barang sedikitpun. Dari ujung jari kanannya yang terkepal hingga bahu, membeku. Tak ada angin, tak ada hujan. Tidak dingin, apalagi panas.
Ada bagian tubuhnya yang membeku.
Menyadari itu, Tae Eul menjadi panik. Napasnya tak teratur, bersikeras melepaskan lengan kanannya yang tercengkeram dinginnya jarum-jarum es buatan sang Jeosung-saja.
"Le-lepas! Lepaskan!" pekik Tae Eul.
Namun, sang Jeosung-saja tetap saja bergeming. Tak menunjukkan pergerakan, bahkan tak berkedip sama sekali. Sosoknya yang kokoh sama sekali tak tergoyahkan oleh ributnya desiran sang angin. Seolah ia 'hidup' dalam ruang waktu yang sepenuhnya berbeda.
Semakin panik usai menyaksikan keganjilan tersebut, kembali Tae Eul berteriak, "To-toloongg! Siapapun, ada pria aneh di sini!"
Tak biasanya ia menjerit-jeritkan kata tolong seolah tak berdaya seperti ini. Melakukan hal itu membuat luka pada harga diri Tae Eul makin dalam.
"Ternyata begini caramu menghadapi kematian yang sesungguhnya, Jeong Tae Eul-ssi," kata Wang Yeo. Menjeda sejenak, lalu berkata lagi, "sungguh amat berbeda dengan apa yang tertulis di catatan hidupmu."
"Tak ada waktu lagi. Ucapkan selamat tinggal pada dunia ini."
Tae Eul meraung dan meronta, menolak takdir kematiannya. Belum cukup puas dengan waktu yang ia habiskan bersama sang suami tercinta selama hidupnya. Belum rela hatinya 'tuk meninggalkan dunia ini.
Akan tetapi, tak sempat selesai jeritan penolakannya itu, ketika membuka mata ... ia telah berada di sebuah tempat yang sama sekali berbeda.
*
"Selamat datang di kantorku, Jeong Tae Eul-ssi."
"Ataukah harus kupanggil ... Ji Eun Tak?"
Tae Eul medengus, mencemooh pernyataan yang membingungkan baginya itu. "... ha. Ji Eun Tak? Apa ini? Siapa lagi itu?"
Namun, sang Jeosung-saja tak menjawab barang sedikitpun. Punggungnya masih senantiasa membelakangii Jeong Tae Eul semenjak kali pertamanya membuka mata di sini. Sehingga, bertambahlah keheningan yang mencekam di ruangan sepi ini.
Hanya suara kluntang-kluntung dari adukan sendok di cangkir teh sang Jeosung-saja yang mengisi kesunyian.
"Silahkan diminum," ujar Wang Yeo mempersilakan, sementara ia meletakkan senampan berisi dua cangkir teh yang keduanya beraroma yang perbedaannya signifikan. Satu berwarna merah kehitaman dan satu lagi berwarna hijau, cenderung lebih bening dari yang di sebelahnya.
Jeong Tae Eul melirik sekilas kedua cangkir itu, lalu kembali memberi tatapan tajam kepada Wang Yeo. "Apa itu?" introgasinya, seraya menunjuk isi nampan.
Lagi-lagi, sang Jeosung-saja hanya diam.
Jeong Tae Eul berdecak atas perilaku sang Jeosung-saja yang satu itu. Ia lantas membaui keduanya dan mengambil salah satu yang aromanya lebih ramah -- tidak terlalu pekat. Teh merah kehitaman di cangkir hitam. Jeong Tae Eul menyesapi teh itu dengan anggun, pantas dengan kedudukan ratunya di Kerajaan Corea.
Setelah memastikan sang Ratu telah meminum paling tidak setengahnya, barulah Wang Yeo kembali membuka suara. "Itu darah Jeosung-saja, meminumnya saja akan membuatmu teringat semua memori masa lampaumu. Dari saat jiwamu pertama kali terlahir sebagai manusia hingga saat ini. Di dunia manapun, dengan wajah apapun, dan di saat apapun."
Jeong Tae Eul terbelalak. "Heol," ucapnya. Sampai-sampai cairan teh merah kehitaman yang belum sempat ia telan sepenuhnya tadi menyelip keluar dari sela-sela mulutnya yang terbuka.
"Kau pasti sudah gila," maki Jeong Tae Eul. Mulutnya tertawa sinis, tetapi ia tak sadar kalau air mulai menetes dari matanya.
Dalam benaknya, ia merasa bahwa identitasnya terdistorsi. Bercampurnya banyak identitas dan kepribadian lampau membuat ia merasa tersesat, kehilangan dirinya sendiri.
"Jika aku menggunakan cangkir putih, kau mungkin akan sadar lebih cepat jati diri sesungguhnya dari teh ini, Letnan, ah maksudku, Yang Mulia Ratu Jeong Tae Eul."
Jeong Tae Eul mengangguk-angguk sambil memegang kepala. "Heol," gumamnya.
"Selamat datang kembali, Arwah Hilang," sambut Wang Yeo dengan sebuah senyuman kecil.
Jeong Tae Eul menundukkan kepala dan hanya mengangguk, seraya masih menyangga kepalanya dengan kedua tangan. Bahu kecilnya bergetar; naik-turun, dibarengi oleh suara orang kesulitan mengambil napas tiap beberapa saat sekali. Pun juga air mata sudah cukup melinangi tangkupannya ke kepala; pertama ia terisak, lalu berikutnya ia menangis. Namun ia berada pada posisi itu lumayan lama, hanya menangis dalam diam, ditonton oleh seorang Jeosung-saja yang cengeng hanya untuk sang belahan jiwa.
Menangis dalam diam; seraya masih berupaya menahan-nahan segala emosi agar tak keluar ... itu jauh lebih sakit rasanya ....
daripada menangis kencang sambil berteriak mengumpati sang muara kesedihan dan kegundahan hati.
Rasanya sesak ....
seolah ada duri di dalam hati.
Sebuah duri yang menusuk, merengkuh hatimu dalam siksaannya yang begitu keji. Sakit.
Perlahan, Jeong Tae Eul mengangkat kepalanya, sembari mengusap kedua mata bergantian, menghapus air mata. Upayanya agar terlihat tidak apa-apa.
"Jeosung-saja ... ahjussi? Kenapa kau masih saja ... begini? Hidup sendiri dalam kemurungan ... memungut nyawa orang dan menuntunnya. Bukankah dengan Kim Sun sajangnim ... kalian saling mencinta dengan bahagia di kehidupan terakhir kalian?"
Masih mempertahankan senyum, Wang Yeo membalas, "Aku tak bisa hidup dengan terus melihat dia yang kusayangi menghembuskan napas terakhir. Berulang kali terlahir sebagai manusia ... terus berpisah dengan dirinya. Sebagai manusia, aku hanya bisa melihat, menangisi, dan meratapi ....," sang Jeosung-saja memberi sedikit jeda dalam omongannya. "setidaknya dengan menjadi Jeosung-saja, aku bisa melihat ia bahagia ... senyumnya di saat-saat terakhirnya ... menuntun, menggenggam tangannya, mengantarkannya ke tempat di mana seharusnya ia berada."
"Inilah hukuman sejati yang pantas bagiku, yang terus melakukan kesalahan yang sama di setiap kehidupanku, baik itu sengaja atau tidak: membunuhnya, dia yang kucintai dengan segenap hati dan hidupku."
"Jeosung-saja ahjussi ...," gumam Jeong Tae Eul, atau yang mungkin saat ini lebih tepat tidak lagi dipanggil demikian, karena ia telah meresapi identitasnya sebagai Ji Eun Tak. Kini matanya telah berlinangkan air mata dan sedang mengulum bibir bawah agar suara tangisannya tak mendesak keluar.
"Maafkan aku, Arwah Hilang. Aku selalu saja ... kehilangan Sajangnim-mu. Aku tak bisa menjaganya ...."
"Jeosung-saja ahjussi, jangan bicara begitu! Karena selama ini yang kulihat ... memang Ahjussi-lah yang telah berusaha keras mendampingi sajangnim," hibur Ji Eun Tak. "karena takdir ... selamanya tak akan ada yang tahu, kecuali Dia Yang Mahakuasa."
Wang Yeo menunduk, cukup lama. Bahunya naik-turun dan suara napas yang bersengguk-sengguk terdengar. Sungguh pemandangan yang begitu pilu untuk pemirsanya. "Terima- huk- makasih, wahai Pengantin Dokkaebi."
Wanita itu terkekeh mendengar gumaman tak jelas sang Jeosung-saja. "Pengantin Dokkaebi ... sudah lama aku tak mendengarnya," ujarnya, lalu melanjutkan, "tapi kini ... perasaanku hanya untuk Baginda Raja Lee Gon dari Kerajaan Corea."
"Oh, ya? Jadi kau sudah tak lagi menyukai Jenderal Perang Goryeo yang mati karena pedang tuannya?" celetuk sebuah suara, yang lantas membuat sang wanita segera melengok ke belakang. Ji Eun Tak kenal betul suara itu. Sebuah suara familiar yang telah begitu lama tak terdengar di telinga. Sebuah suara yang dulu begitu suka ia dengarkan terus-menerus. Sebuah candu ....
yang dulu selalu ia rindu, tak bisa ia tinggalkan.
Namun, sekarang dulu itu hanyalah masa lampau yang sudah terlalu jauh lamanya bagi manusia untuk tidak beranjak darinya.
'Jenderal Perang Goryeo yang mati dan 'hidup' karena pedang tuannya.'
Kim Shin.
Sang Dokkaebi; yang seperti Jeosung-saja,
makhluk abadi yang sudah terlalu lama hidup dengan menyaksikan kematian orang-orang di sekitarnya.
'Ahjussi' yang pernah sangat ia cintai sampai bersedia sepenuh hati untuk mati hanya demi dirinya.
"... ahjussi ...," gumam Ji Eun Tak.
Sosok itu kini berada di hadapannya, hanya terbataskan oleh dinding, saling bertatapan melalui jendela kaca yang tembus pandang.
"Akhirnya aku menemukanmu, usai seakan lamanya," ujar Kim Shin, dengan senyuman khas yang selalu membuatnya terlihat sendu itu.
Sudut bibir Ji Eun Tak kini terangkat. Wajahnya yang memerah berseri-seri. Tanpa bisa menyembunyikan senyum ia berkata, "Dokkaebi-ssi. Senang bisa bertemu denganmu."
"Senang bertemu denganmu juga, Cinta Pertamaku," balas sang Dokkaebi.
"Memangnya ada cinta kedua dan yang lain?" Refleks Ji Eun Tak bertanya. Ini karena bagaimana sang Dokkaebi menyusun kalimatnya. Selalu saja ambigu, membuat orang salah paham!
Kim Shin justru membalasnya dengan sebuah ucapan ala teka-teki, yang mana membuatnya jengkel, yaitu, "Ada ... atau tidak? Ada tidak, ya?"
"Ya sudah. Lagipula aku tak begitu penasaran. Berpacaran saja sana, berpacaran." Ji Eun Tak merajuk.
"Selama aku tak ada, emosimu jadi mudah tersulut, rupanya," kekeh Kim Shin. Ia tertawa seraya memejamkan mata, yang lalu ia buka sedikit salah satunya guna melihat reaksi Ji Eun Tak. Dan saat telah mendapat reaksi yang diinginkannya, Kim Shin melepaskan tawa puas. "Tidak, tidak. Aku, 'kan, sudah janji kalau kau adalah yang pertama dan yang terakhir."
Mendengar jawaban Kim Shin yang tak sesuai ekspektasi, Ji Eun Tak mematung. Saat merasa matanya memanas, Ji Eun Tak menundukkan kepala. "Maafkan aku ... karena aku bahkan tak mengingat janji itu sebelumnya," kata Ji Eun Tak dengan suara bergetar, masih sambil menunduk.
Reaksi Ji Eun Tak menjadi alasan Kim Shin dan Wang Yeo tengah bertukar pandang. Keringat bercucuran di dahi, panik dan bingung.
"Aku bercanda," kata Kim Shin.
"Dia bercanda," beo Wang Yeo.
Kompak betul waktu keduanya berbicara demikian. Ji Eun Tak langsung mengangkat kepala, lalu mengusap air mata. Ia tertawa kecil. "Anggap saja kalian memang begitu."
"Anggap saja begitu, karena dunia itu lucu dan hidup itu untuk ditertawakan," balas Kim Shin.
"Ya, anggap saja begitu, sebab selera humor Yang Mahakuasa memang rada aneh," balas Wang Yeo.
Selanjutnya, ketiga orang itu terbahak. Agak lama kemudian baru mereka sadar kalau candaan mereka memang tak ada lucu-lucunya dan cenderung gelap.
Sebab itu pula, ketiganya jadi diam rata karena udara kecanggungan yang ada.
"Oh, Jeosung-saja ahjussi! Kau tak suruh dia masuk?" tegur Ji Eun Tak. Sekaligus sebagai upayanya memecah keheningan yang menerpa lagi sesaat lalu.
"Kau suruh dia mati bersamamu juga?" tanya Wang Yeo.
"Aku, sih, tak apa. Tapi serius yang kau maksud begitu, Eun Tak-ah?" timpal Kim Shin.
"Ck, yah! Kenapa kalian bercanda seringan itu tentang hidup dan mati!?" sebal Ji Eun Tak. "Selain itu ... maksudku bukan begitu! Dulu, 'kan, Ahjussi sering bolak-balik ke sini, katanya ... ngobrol tentang kartu kematianku!"
"Ah, ya. Ada cara itu," sahut Wang Yeo.
Segera setelah itu, Kim Shin berlari memasuki 'ruang teh' sang Jeosung-saja, yang lalu disambut pelukan rindu yang hangat oleh Ji Eun Tak. Lalu, bahkan tanpa diundang, Wang Yeo turut serta dalam agenda berpelukan tersebut.
Di sela-sela pelukan itu, Kim Shin merusak suasana dengan berkata, "Selamat, ya. Akhirnya kau telah terbebas dari penjara takdir sebagai 'Pengantin Dokkaebi' yang memerangkapmu."
Wang Yeo membuka mata dan bertanya, "Itu hal yang perlu diselamati?"
"Oh, tentu. Setelah beribu tahun ... dia bisa menemukan orang lain, seorang manusia, untuk hidup bersama. Jelas perlu dirayakan."
"Oh, kau benar juga," ujar Wang Yeo, lalu mengangguk-angguk. "Selamat, Ji Eun Tak si Arwah Hilang."
Terganggu dengan percakapan bodoh kedua immortal tersebut, Ji Eun Tak cepat-cepat melepaskan pelukan mereka dan menjauhi keduanya. Alis di mukanya yang berekspresi marah jadi tampak saling bertaut. "Inikah yang kalian lakukan saat ada orang mati?" omel Ji Eun Tak.
Wang Yeo membersihkan tenggorokan dengan dahaman. Kemudian mempersilakan tamunya duduk di dua kursi yang tersedia. "Jika kau ingat aku dan dia, serta kehidupan-kehidupan lampaumu, kau seharusnya tahu sekarang untuk apa teh hijau bening ini," ujarnya.
"Menghapus ingatan," balas Ji Eun Tak dengan tegas.
"Benar," sahut Wang Yeo. "Maka dari itu kau selalu menolak meminumnya."
Ji Eun Tak mengangguk.
Wang Yeo menatap lurus kepada Kim Shin dan Ji Eun Tak. Meneliti raut wajah mereka satu persatu, mengais jawaban dari pertanyaan dalam otaknya. "Kali ini minumlah. Ini kesempatan hidup terakhirmu ... dan tujuannya sudah terpenuhi. Jika tak minum, kau akan mengingat semuanya sebagai hantu."
Ji Eun Tak menunduk, lalu memangku dagu dengan kedua tangannya. Alisnya naik satu, keningnya mengernyit. Itulah gaya -sok- berpikirnya setelah beradaptasi dengan kehidupan keluarga Kerajaan Corea.
Melihatnya membuat Kim Shin tertawa geli. Namun, saat tatapannya kembali berhadapan dengan Wang Yeo, ia berkata dengan wajah serius, "Jangan terlalu terburu-buru, Jeosung-saja. Aku belum selesai mengisi daya hidupku."
Kemudian perhatiannya beralih menuju sang cintanya, ia turut memangku dagu, hanya saja dengan satu tangan. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya, sementara satu tangannya yang lain membelai surai hitam Ji Eun Tak.
Ji Eun Tak lekas keluar dari labirin pikirannya, menghadap kepada Kim Shin, dan memasang sebuah senyum manis. Setelahnya ia menjawab, "Tidak baik, Ahjussi. Aku mati, makanya bisa bertemu dengan kalian berdua sekarang."
Kim Shin mengangguk-anggukkan kepala mendapati jawaban Ji Eun Tak. "Aku awalnya juga tidak, tapi kabarku baru saja sedikit lebih baik. Saat ini aku tengah mengobati sakitku ...," ujar Kim Shin, sementara ia menatap lamat-lamat wanita di depannya, mengamati tiap-tiap ceruk wajah dia yang selalu saja begitu sempurna buatnya. "berkatnya, rindu di hatiku sudah sedikit terobati. Dengan sedikit berbincang-bincang dengannya seperti ini ... aku merasa bisa menjalani hidup untuk menunggu dirinya, meski itu artinya membutuhkan beberapa milenia yang panjang lagi."
Ji Eun Tak memalingkan wajah mendengar jawaban bercampur rayuan dari sang Dokkaebi. Antara tersipu karena meleleh terhadap gombalan itu, atau tersedu karena rasa bersalah mengetahui beban berjuluk 'cinta' yang diemban sang kekasih hati pertama ... sulit diputuskan, karena Ji Eun Tak sendiri tak tahu perasaan apa yang menyerang hatinya ini.
Senyuman pilu kembali terpajang dalam bingkai wajah indah sang Dokkaebi. Masih dengan tangannya yang membelai lembut rambut panjang si wanita, Kim Shin berkata, "Ceritakan saja tentang kehidupanmu ini, Nona. Apa kau bahagia?"
"Jika kau tak bahagia, kemungkinan si Jenderal Goryeo ini akan mengumumkan perang antar semesta dengan suami barumu, Pengantin Dokkaebi," sahut Wang Yeo dengan nada bercanda.
"Jika perlu," timpal Kim Shin. Wajahnya cukup serius untuk menganggap ia tak sedang main-main.
Kedua mata Ji Eun Tak seketika membelalak. Dengan segera dan nada awal terbata, ia menjawab, "A-aku cukup bahagia, kok! Aku hampir punya semua. Bahkan aku punya Ayah di sini! Meski sosok Ibuku, seperti biasa, meninggalkan kami ketika aku masih belia. Namun, sekarang itu menjadi hal yang biasa, baik itu bagi seorang Ji Eun Tak maupun Jeong Tae Eul."
Dirinya tahu kalau sang Dokkaebi dan Jeosung-saja tengah menyimak ceriteranya dengan saksama, maka Ji Eun Tak yang semakin gugup memberi jeda sebentar, membuang dan mengambil napas. Setelah lebih tenang, ia melanjutkan perkataannya, "Aku juga punya anak bersamanya, 5 orang malah. Empat anak perempuan dan si nomor dua dari belakang itu satu-satunya laki-laki dalam persaudaraan mereka. Saat kecil mereka sering sekali bertengkar, padahal saling sayang dan protektif satu sama lain. Tapi sekarang, tak terasa aku juga sudah punya cucu dari anak pertama dan ketigaku, mereka semua lucu-lucu. Dan aku pun sudah melihat anak bungsuku menikah dengan orang yang tepat sesuai pilihannya, aku lega. Namun, kurasa selamanya mereka hanya akan menjadi anak kecil bagiku. Haha."
Tangan Ji Eun Tak yang semula menganggur, kini telah membelai wajah Kim Shin. "Aku menghabiskan masa hidupku dengannya ... dengan bahagia. Aku bahagia. Aku bahagia sepanjang hidupku, Ahjussi-deul."
Ji Eun Tak tersenyum samar. Sebuah senyuman kecut yang tak ingin diperlihatkannya kepada sosok yang telah setia menemani dirinya di setiap kehidupan. "Aku tak bisa lagi minta lebih dari itu."
"Wah, aku iri sekali," kata Kim Shin, meski dengan nada bercanda. "dengan pria itu. Aku sangat iri. Aku juga sangat ingin menghabiskan masa hidup denganmu."
"Tapi, di kehidupanku kali ini ... kurasa ada satu yang tak kupunya ....," gumam Ji Eun Tak, lalu menatap Kim Shin lamat. Ia menunduk sedikit, lalu menempelkan keningnya dengan milik Kim Shin. "yaitu kamu, Ahjusi."
Mendengar gombalan Ji Eun Tak, kini giliran Kim Shin yang tersipu. Ketika memalingkan muka, telinganya terlihat memerah, yang berarti ia sedang menyembunyikan pipinya yang sama merahnya. "Tetap saja, dia bisa membuatmu lebih bahagia, 'kan? Itu saja cukup bagiku. Sepertimu, aku tak bisa minta hal yang terlalu muluk-muluk."
"Tak apa, Ahjussi. Sekarang aku menghabiskan masa hidupku denganmu, kok?" Ji Eun Tak berusaha menghibur Kim Shin.
"Katamu kau sudah mati?" canda Kim Shin. "Kau sedang menghabiskan 'masa mati'mu, dong?"
Tak dimasukkan pikiran, Ji Eun Tak dan Kim Shin tertawa puas bersama. Mereka tertawa seolah keduanya akan berdampingan selamanya.
Meski menyimpan rasa iri di lubuk hatinya yang terdalam, sang Jeosung-saja ikut tersenyum. Matanya kembali memanas, terharu dan rindu akan masa-masanya dengan Kim Sun, sang 'cinta seumur hidup' versinya sendiri. Menyaksikannya membuat dia bergumam, "Memang, meski sudah begitu lama ... cinta yang usianya berabad-abad akan selalu lebih kuat daripada cinta sesaat yang bahkan belum genap setengah abad."
"Sekarang kau sudah bukan lagi ratuku seorang. Aku tak bisa egois. Kau adalah ratu dari sebuah negara, ratu luar biasa yang akan senantiasa dikasihi dan dirindukan oleh seluruh rakyatmu di sepanjang hidup mereka. Aku bangga padamu, Kekasihku."
Postingan Populer
Summer Fireworks — Genshin Impact Oneshot Fanfiction: Tomo, Kazuha, Yoimiya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Rekomendasi Manhwa Bertema Hubungan Ayah-Anak!
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar