Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

What I Didn't Do, My Fault — Onsaemiro Fanfiction : Hayoung Lee

    Meski tak semulus harapan awal, syuting 【Pagoda Muyoung】 akhirnya usai juga. Begitu pula dengan tahap penyuntingan, yang sudah berjalan separuh langkah. Dengan fenomena-fenomena unik yang terjadi di lokasi pengambilan gambar sepanjang proses syuting, sungguh tak disangka dapat terselesaikan. 

Tahap penayangan perdana drama itu sudah semakin mendekat, promosi makin gencar dilakukan rumah produksi. Banyak tawaran iklan yang masuk bagi pemeran 【Pagoda Muyoung】 . 

Netizen Korea Selatan diributkan oleh trailer drama 【Pagoda Muyoung】  beserta preview episode pertamanya. Di sana, mereka sibuk menyoroti akting pemeran Asanyeo. Dengan adanya sorotan itu, maka tak terlepas pula dengan pro dan kontra.

Ada pihak yang memuji kemampuan akting Hayoung Lee sudah lebih berkembang dari drama-dramanya sebelumnya. Akan tetapi, tak sedikit pula yang menyanggah dan menyebut itu hanya berkat kemampuan editing orang-orang di balik layar 【Pagoda Muyoung】 .

Mungkin Asanyeo adalah kunci jalan debut bersinar Hayoung Lee yang sesungguhnya.

Begitulah yang dipikirkan oleh para pemeran dan staf  【Pagoda Muyoung】.


○●


Namun, kenyataan tak semanis imajinasi.

Tepat di hari perilisan episode perdana  【Pagoda Muyoung】, jagad Korea Selatan kembali digemparkan dengan berita panas yang mencuat di internet. Berita itu adalah sebuah skandal orang terkenal — yang sepertinya adalah makanan favorit semua warga Korea Selatan, tidak, semua orang.

Skandal ‘perilaku buruk Hayoung Lee’.

Segera setelah melihat berita itu, Haeri bergegas lari menuju tempat singgah sang kakak, Hayoung. 

Cukup lama Haeri berdiri sana, tanpa mendapat jawaban satupun. Saat itu pula, Haeri merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Sejuta pikiran negatif berkelebatan dalam benaknya. Satu kata untuk menggambarkan seluruh aksi Haeri hingga saat ini: khawatir. 

Ia khawatir kepada Hayoung Lee. Baginya, Hayoung itu lebih dari salah satu rekan sesama pemeran drama. Seorang Hayoung Lee adalah sosok panutan, senior, sahabat, dan kakak buatnya. Sosok yang memotivasinya untuk bertahan di dunia hiburan yang kotor ini.

Haeri tak ingin melepaskan sosok yang sehebat itu di matanya secepat ini. 

Sekali lagi, Haeri memencet tombol bel unit kondominium Hayoung Lee. “Kak Hayoung!” panggilnya kepada sang pemilik unit di dalam.

Namun sayang, lagi-lagi tak terdengar balasan atau bahkan bebunyian apapun dari dalam. Terdengar begitu sunyi, seolah tak ada kehidupan di sana. Hal tersebut membuat Haeri semakin panik.

Haeri mondar-mandir di depan pintu Hayoung sambil memegangi kepala. Ia cemas bukan main. Otaknya serasa sulit berpikir saking paniknya.

“Ah, benar. Kunci serep ...!” gumam Haeri, kemudian segera menuruni tangga — melenggang menuju tempat resepsionis. 

“Nona, saya Haeri Jin. Teman dekat aktris Hayoung Lee, kami bermain bersama dalam 【Pagoda Muyoung】! Asanyeo dan Guseulagi,” papar Haeri. Ia sukar memberi jeda dalam tiap kalimatnya, bak lupa mengambil napas.

“Mohon tenang, Nona Haeri Jin,” kata si resepsionis. “Tolong jelaskan pelan-pelan maksud kedatangan Anda kemari ... dengan pelan-pelan.”

“Satpam, tolong dampingi Nona ini,” titah si resepsionis sambil menunjuk kepada Haeri, lalu ke lift, kemudian ke atas — tempat kondominium Hayoung Lee berada.

Setelah dikeluarkannya perintah itu, seorang laki-laki agak sepuh berseragam satpam berjalan menghampiri, lalu membungkuk. “Mari, Nona,” ajak satpam kepada Haeri.

Sebelum keduanya menuju lift, Haeri mengangguk dan menjawab, “Terima kasih, Pak.”

“Nona Hayoung itu agak tertutup ... saya bersyukur ternyata punya teman sebaik Nona,” ujar satpam.

Satpam, Haeri, dan Hayoung saling lirik dan pandang. Ketiganya memajang senyum canggung ala masing-masing.

Haeri lantas refleks menyapa, “Oh-uh, ha-hai, Kak Hayoung.”

Pada wajah pucatnya, Hayoung memasang sebuah senyuman tipis — meski tak menutupi perasaan kalut dan penampilan berantakannya. Meski demikian, tatapannya terhadap Haeri benar-benar hangat — bagaikan seorang ibu kepada anak. “Terima kasih sudah mengantar Haeri dengan selamat, Pak,” ucap Hayoung, kemudian membungkuk 45 derajat.

Gara-gara mendengar ucapan Hayoung, sang satpam sempat ternganga. Namun kemudian mengangguk dan tersenyum ramah. Setelahnya ia membalas, “Iya, Nona Hayoung. Sama-sama.”

Sepeninggalnya sang satpam, Hayoung melirik pada Haeri, lalu saat tatapan keduanya saling bertemu, ia mengulas senyum. “Haeri,” ujarnya.

Hayoung kemudian mempersilakan tamunya masuk, “Masuklah. Seperti biasa, anggaplah rumahmu sendiri.”

Mengikuti langkah Hayoung, Haeri masuk ke dalam unit kondominium itu dengan hati-hati. Matanya melirik sekilas ke kanan-kiri, seperti mencari bukti. Awalnya ia tenang-tenang saja. Akan tetapi semakin masuk ke dalamnya, bau obat yang menusuk menguar dari sepenjuru ruangan.

Langkah Hayoung berhenti di sebuah ruangan dengan banyak sofa, baik pendek atau panjang, di mana terdapat pula meja dan televisi di depannya. Pada ruangan tersebut tipis sekali aroma menyengat obat-obatan bersimpang siur, hampir tak kentara. Haeri dipersilakan untuk duduk di salah satu sofa di sana — yang disebut Hayoung paling empuk dudukannya. 

Di tempat itu pula biasa ia menjamu tamu yang paling dinantinya, Haeri Jin.

“Maaf kalau berantakan. Tadi aku belum selesai beberes,” alibi Hayoung begitu melihat raut muka Haeri. Tampaknya ia menangkap gerak-gerik Haeri sebagai gestur jijik dan heran akan sekitarnya.

“Kak Hayoung,” panggil Haeri.

Seketika, Hayoung menengadahkan kepala.

Haeri menatap prihatin pada Hayoung dengan lamat, lalu bertanya, “Tak adakah yang teringin Kakak sampaikan saat ini?”

Hayoug tertawa kecil.

“... aku lelah, Haeri.”

“Kadang aku jadi terpikir, mungkin aku lebih baik hilang saja dari dunia ini.” 

“Kak Hayoung, jangan berbicara begitu ...!”

“Kenapa? Dengan begitu, mereka akan lebih senang, bukan?”

“Mungkin aku memang seburuk yang mereka bilang ....”

“Surga melihat segalanya, Kak. Surga tahu, siapa yang sebenarnya benar dan siapa yang salah ...,” “semua akan baik-baik saja.”

“Omonganmu tadi dalam sekali, Haeri,” bisik Hayoung, lalu ia tertawa lemah.

“Terima kasih ....”

“Kak Hayoung?”

Komentar

Postingan Populer