Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

Obliged to Rewind — Genshin Impact Fanfiction: Scaramouche

    “Selamat ulang tahun, Kuni! Selamat ulang tahun, Kuni~”

Merasa terganggu dengan nyanyian bising di dekat telinganya, Scaramouche terbangun paksa dari tidurnya. Namun saat mendapati pelaku kebisingan itu, ia mengerjap-ngerjapkan mata.

Kala itu yang terlintas dalam otak Scaramouche adalah, Tunggu. Orang-orang ini, bukannya sudah mati?

Ibu yang menggantung dirinya sendiri setelah suami barunya mati. Adik yang pasrah tanpa melakukan perlawanan saat ditikam kekasihnya. Orang-orang yang mati karena dilumpuhkan oleh emosi.

Melihat kedua anggota keluarganya berada di hadapan, luapan air mendesak keluar dari mata Scaramouche. Tangannya tergerakkan untuk menyentuh pipi keduanya.

Ketika telapak tangannya bersentuhan dengan kulit mereka ... hangat. 

Hanya kehangatan yang terasa. Kehangatan yang hanya bisa terasa dari orang hidup.

Terkejut dengan kehangatan yang dirabanya, Scaramouche segera menarik kembali tangannya. Kini perhatiannya teralih pada sepasang iris ungu yang memandang dalam-dalam kepada dia dengan penuh kasih. Tatapan itu juga terasa hangat bagi Scaramouche. Lagi-lagi, Scaramouche mengira kehangatan itu seolah berusaha merangkul hati dinginnya.

Pasti mimpi. Karena orang mati nggak bisa hidup lagi, batinnya. Mereka keliatan normal, jadi kangen masa-masa begini. Keknya emang di sini gue harus baik-baikin mereka.

Sedikit emosi ... nggak bikin gue kenapa-napa, ‘kan?

Toh, lagian ini cuma mimpi.

Setelah semua pikiran dalam benaknya itu, Scaramouche tertawa. Sebuah tawa miris – entah itu miris kepada dirinya sendiri yang senang pada mimpi ini, ataukah miris mengingat nasib mereka yang sebenarnya.  Cukup lama ia tertawa, akhirnya ia berkata,  “... ini bukan ulang tahunku.”

Senyum di wajah cantik Ei memudar, kini berganti dengan ekspresi panik. Tatapannya dipenuhi rasa bersalah. “Astaga! Bukan ...?” pekiknya, lalu memandang Scaramouche dan Shogun bergantian.

Scaramouche menggelengkan kepala.

Sementara Shogun masih memasang raut wajah datar yang sama.

“Maaf, Kuni ... aduh, kelupaan. Maaf, ya ... aduh, gimana, sih, kamu ini, Ei? Masa kelupaan ulang tahun anak sendiri?” racau Ei seraya menepuk kening. “Maaf, Kuni ... Shogun ... Ibu belum bisa jadi sosok ibu yang baik buat kalian.”

“Ah iya. Omong-omong, kuenya ...,” ujar Ei, sambil merogoh salah satu tas bawaannya.

“Ah, ngerepotin aja. Segala pake bawa-bawa kue,” gumam Scaramouche. Ketika ia menyadari ucapannya barusan mungkin didengar sang Ibu, ia segera menutup mulut dengan tangan kirinya, lalu melirik kepada Ei. “maksudku, mending kuenya dimakan bareng aja, Bu ....”

Ei tertawa. “Ibu udah dengar. Nggak usah malu-malu, memang Ibu ngerepotin,” ucap Ei. “kuenya juga ngerepotin, makanya harus kita makan bareng-bareng! Biar lenyap!”

Scaramouche berusaha tertawa atas guyonan Ei.

“Sepertinya Ibu sering salah ingat tanggal ulang tahun Scaramouche dengan hari kematian Ayah. Hari ini juga,” celetuk Shogun tiba-tiba. “Aku mengerti. Ibu pasti lelah, mengurus kami, rumah, dan kantor bersamaan. Ibu tak fokus.”

“Hanya aku yang ingat Ayah. Aku paham,” kata Shogun lagi, lalu angkat kaki tanpa pamit.

Si adik brengsek itu ... suka kali dia ngerusak suasana dan rencana gue, geram Scaramouche dalam hati. Matanya menatap penuh kesal atas kepergian Shogun yang tak sopan.


. . .


“Udah lama gue nggak belajar beginian. Ini sebenernya apaan?” rutuk Scaramouche sambil mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan brutal.

Scaramouche jadi kesumat, gara-gara kali ini ia ingin simulasi PAS dengan tenang saja tak bisa. 

I see a little sillhouetto of a man,” nyanyi Hu Tao, yang nantinya memulai opera mini mereka.

Tiga bocah itu masing-masing bernama Childe, Hu Tao, dan Yoimiya. Tiga kawan lamanya di SMA yang selalu membuat naik darah, tapi juga merupakan sohib yang selalu ia rindukan.

Scaramouche, Scaramouche, will you do the fandango?

Thunderbolts and lightning!

Very very frightening me!

Galileo, Galileooo!

Galileo, Galileo

Galileo, Figaro!

Magnificooo!

“Scaramouche, Scaramouche! Simulasi lo gimana?” tanya Hu Tao, sengaja masih menggunakan salah satu nada dari lagu Bohemian Rhapsody milik Queen.

“Lancar, kah? Lancar, kah?” beo Yoimiya.

Scaramouche membanting kepala ke meja, lalu menenggelamkannya di antara tangannya yang menyilang. “Mampet!” keluhnya.

“Tuh, 'kan! Gua bilang juga apa. Seorang Scaramouche yang magnifico aja kesulitan! Gimana kita yang cuma mammamia lezatos ini?” timpal Childe, lalu menjentikkan ibu jari dengan telunjuknya.

“Kita ini cuma remahan rengginang, kalau dibandingkan sama Scaramouche yang macaron utuh, mah!”

“Mentang-mentang gue pendek, dikata macaron—”

“Besok PAS, jangan aneh-aneh.” Scaramouche memperingatkan. Mengingat ketiga temannya ini senang sekali hal-hal yang memacu adrenalin, Scaramouche jadi waswas kalau mereka berujung merenggut nyawa sendiri. Kalau begitu, tekadnya untuk menyelamatkan orang yang dia kenal itu jadi sia-sia, dong?

“Ibu, nanti Scara izin main sama anak-anak ...,” kata Scaramouche kepada sang Ibu di telepon.“sampai malem, nginep di rumah Childe. Sekalian belajar bareng, review materi .....”  

Loh? Oh ... kok ndadak toh, Sayang ...,” balas Ei di seberang sana. “tadinya Ibu mau bawa masakan Te Miko ke rumah ... tapi, kok kamu malah mau main ke luar .....

“Iya, Bu ... maaf”

“Mimpi yang manis, hey, Anak Muda?”

“Ini bukan mimpi. Kau baru saja diberi kesempatan pergi ke masa lalu, tapi kau tak melakukan apapun untuk mengubah situasi. Kau terlalu naif. Kau tenggelam dalam fana ini.”

“Scaramouche, lari!”

Ah, baru ingat.

Ini bukan mimpi. 

Scaramouche memejamkan matanya.

Ah, terus kenapa kalau ini bukan mimpi?

Lagian, pada akhirnya gue nggak bisa nyelametin siapa-siapa.

Lagi.

【 Percobaan OO3 telah gagal. Memulai ulang . . . 】


Komentar

Postingan Populer