Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

Tujuh Tahun Usai Badai

     7 tahun lalu, Rania pernah berdiri di sini. Dengan kepala tertunduk dan jari-jari tangan terkepal. Kala itu, netra ungunya memandang nanar pada sepasang insan yang sedang saling suap bubur ayam di teras keramik hitam yang sama.

   Tangan kanannya tergerak untuk menyentuh dada kirinya — tempat jantungnya berada. Bahkan si jantung masih ingat bagaimana ia berdegup pada hari itu. Seakan ingin mengingatkan seluruh organ tubuh Rania bagaimana rasa pedihnya “pengkhianatan” itu. 

   Seketika Rania terkekeh. Kemudian ia kembali melirik pada selembar kertas di genggaman. ‘Raksa & Naura’, begitu tulisan yang dengan apik tercantum di atasnya.

   Lagi, Rania terkekeh. Langgeng ya, mereka, pikirnya.

Meski berlokasikan di sebuah gang biasa, yang berdiri di hadapannya ini adalah sebuah rumah bergayakan khas arsitektur Belanda. Dengan nuansa hitam putih yang kental, rumah ini terlihat elegan, meskipun sederhana. Mengingatkan Rania akan sang pemilik, yang dulu dipanggilnya Kak Raksa dengan penuh ria dan kasih.

“Ada perlu apa, Mbak?”

Mendengar suara familier yang menyapa gendang telinga, membuat Rania spontan menengok.

Sosok di hadapannya berperawakan tinggi, dengan kulit putih, dan ekspresi tegas. Matanya cerah dan tajam, berwarna amber dengan pupil kuning berbentuk berlian yang bersinar. Rambut hitam kecokelatannya yang berekor itu bergerak lucu ketika tertiup angin. Sosok familier yang dalam hati terdalamnya tak sekalipun terlupa.

“Kak Raksa,” ucap Rania. Kemudian, Rania menerbitkan senyum saat matanya bertemu tatap dengan mata amber itu. Lalu ia melambaikan kertas cantik bertuliskan 'Raksa & Naura' tadi. “Selamat atas pernikahannya ya, Kak Raksa dan Naura,” tutur Rania, tak lupa disertai senyum tulus yang dikembangkannya.

Meski begitu, Raksa tak membalas senyuman tulus berbahagia Rania dengan senyum serupa. Lekukan senyum yang terukir di wajah Raksa merupakan senyum yang sama dengan yang pernah terpajang di raut Rania, 7 tahun lalu. Bahkan pandangan nanarnya terhadap kertas di tangan Rania itu ....

Familier sekali.

Namun, sepertinya begitu asing ketika senyum kecut yang sama itu terpajang di wajah itu.

Sekali lagi Rania menyebut namanya, kali ini dengan nada penuh tanya. “Kak Raksa?”

Tak lama Raksa membalas, “... Rania.”

“Selamat atas pernikahannya dengan Naura, ya, Kak. Aku tahu kalau kalian pasti langgeng. Kalian serasi sekali!” ulang Rania dengan kata-kata dipermanis. “Semoga pernikahan kalian sakinah ....”

“... batal.”

“Ya?”

“Pernikahan kami batal, Rania.”

Alis Rania naik satu. Mendengar kabar itu, dalam hati ia justru bingung hendak berbahagia atau sedih. Perasaan yang dianggapnya sudah terpendam, kembali bangkit untuk turut campur dalam benak. Astaga ... ha. Ke mana perginya nurani dan logikaku ..., rutuknya dalam batin.

“Oh ... maaf, Kak. Aku tak tahu. Aku di luar pulau ... dan baru dapat undangan itu dari Miko beberapa waktu lalu ...,” kata Rania.

Bohong.

Setengah dari ucapannya itu kebohongan. Sejak tiga tahun lalu, berkat performanya Rania memang mendapat kenaikan pangkat di tempat kerjanya, lalu dipindah tugaskan sementara ke anak perusahaan di luar pulau oleh atasan. Dengan semua fasilitas yang dimilikinya di sana, tak mungkin ia bisa kedapatan keterlambatan informasi. Ditambah dengan memiliki Miko si serba-sok-tahu sebagai sahabat karib, selama keduanya tak hilang kontak, mustahil rasanya untuk melewatkan kabar-kabar terbaru yang ada di sini.

Hanya masalah hati.

Hanya masalah hati yang menunda kedatangannya kemari. Hatinya masih belum bisa sembuh dari luka lama itu. Hatinya masih tidak tahu bagaimana harus bertindak. Hatinya yang demikian lah yang memungkinkan dirinya untuk menutup telinga atas kabar apa pun yang berkaitan dengan Raksa.

Kendati demikian, perihal “batal nikah” itu tak pernah simpang siur sekalipun didengarnya. Terlalu menyibukkan diri untuk mengalihkan sakit di hati? Mungkin bisa jadi alasan terlewatnya kabar itu. 

“Maaf sudah mengabaikan rasa sukamu padaku selama ini ... Rania. Bahkan Ibundamu kerap kali memberiku kode lampu hijau, tapi aku ... memilih dia, yang ternyata sampai akhir orang tuanya tak sampai hati menyerahkan putrinya kepadaku.”

Apa? Apa maksudnya? Ngomong apa dia?

Sekujur tubuh Rania langsung bergetar hebat, usai Raksa berkata begitu.

Apa maksudnya orang tuaku mau memberikanku cuma-cuma? Setelah ia ditolak sampai akhir oleh orang tua mantannya? Apa maksudnya aku ini cuma pengganti Naura saja baginya?

Aku gak ngerti!

Namun, ada satu hal yang terpikirkan dalam benaknya: orang ini ... Kak Raksa atau tidak, perlu ditampar!



___

A sequel of Sukamu, Dukaku

Tujuh Tahun Usai Badai

Written by Ansekishoku Plume & Shinadara
Edited by Jessie S. 

___



Komentar

Postingan Populer