Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

And Your Friend, Razor

  “Yang Mulia Putri Fischl, sang Putri Penghakiman! S-saya menyukai Anda, jadi ....”

“Bennett, kamu serius!?” Tanpa sadar Fischl berseru menyela ucapan Bennett, saking bahagianya. Bisa jadi karena identitas wibunya sebagai Putri Penghakiman diakui, atau mungkin karena omongan Bennett barusan.

“Besok hari Minggu, mau ke pasar sore, nggak? Kebetulan aku ada tiket buat masuk!” tawar Fischl dengan penuh semangat, sambil mengobok-obok tasnya. Beberapa waktu kemudian tangannya keluar dari tas, lalu melambai-lambaikan dua lembar kertas. “Jengjeng– dua! Pas buat kita berdua, aku dan kamu!”

Ketika wajah Fischl semakin mendekat dengannya, Bennett jadi semerah tomat. Ia tersipu dengan sifat agresif Fischl yang tak terduga ini. “E-eeeeehh, ya .....?” Hanya kalimat pendek itu yang sanggup terucap dari bibirnya.

“Berarti ini hari pertama kita, ya,” celetuk Bennett setelahnya, yang tanpa ia sadari telah membuat muka Fischl merona bak kepiting rebus.

Sejak saat itulah keduanya melangkah ke tangga hubungan lebih tinggi dari sebelumnya– pacar!


————

————


“Umm ....?” Fischl memiringkan kepala. “Razor ....?”

Razor mengangguk. “Razor. Di sini. Hai,” ujarnya.

Fischl memijit pelipis, lalu menghela napas panjang. Dirinya tahu kalau Bennett dan Razor selalu ke mana-mana bersama seperti sepasang sandal yang tak terpisahkan. Tapi gak begini juga, keleus ....! batin Fischl, sambil menguatkan diri.

“Putri ...?” tegur Bennett, lalu melambaikan kedua tangannya tepat beberapa sentimeter di depan mata Fischl.

Begitu dipanggil Putri oleh Bennett, Fischl langsung menengadahkan kepala. Air mukanya segera kembali segar.

“Kamu ... gak apa, 'kan?” cemas Bennett.

Sudut bibir Fischl seketika naik. “Aku gak apa, kok. Makasih udah perhatian,” jawab si cewek pirang.

“Eh ... hehehe. Sama-sama,” sahut Bennett.

“Omong-omong, kalian udah saling kenal, 'kan? Perlu aku kenalin satu-satu?" seloroh Bennett.

Razor mengangguk-angguk. “Lama. Razor. Kenal Fischl. Daripada Bennett,” tuturnya.

Fischl ikut mengangguk-angguk, sependapat dengan Razor. Betul. Aku juga sudah kenal Razor lebih dulu daripada Bennett. Kasihan Razor pula, kalau kusuruh dia pulang sekarang. Hati nuraniku ini gak tega!

“Razor, kamu bawa uang, gak?” tanya Fischl kepada Razor.

Razor terlihat berpikir sejenak, mungkin sedang mengingat-ngingat. Sepersekian detik kemudian ia langsung geleng kepala dengan lesu.

Mengetahui reaksi Razor begitu, Fischl jadi ketularan lesu juga. Kembali mukanya merengut. Ibu jari dan telunjuknya diusap-usapkan di dagu, yakni pose berpikir ala-ala.

“Santai, lah! Aku bisa bayar kalau cuma buat Razor doang~” celetuk Bennett yang berusaha menengahi situasi.

“Jangan!!!” seru Razor dan Fischl bersamaan.

Bennett mengedip-ngedipkan mata, lalu memasang senyum canggung. “Eh, kenapa ..?” linglung Bennett.

“Kita patungan aja berdua. Lagipula tiketnya agak mahal, nanti kamu terbebani,” kata Fischl, memakai nada khawatir.

Razor menggelengkan kepala sambil melirik Fischl panik, lalu segera menimpali dengan agak cepat, “Ehm, Fischl maksud... Nanti. Jajanmu kurang.”

“Oh, jadi itu maksud kalian!” Bennett menjentikkan jari dan terbahak setelahnya. “Kukira apa... tenang saja, teman-teman! Aku tahu maksud kalian baik, jadi aku tak tersinggung, kok!”

Huh ...? 'Teman' lagi, batin Fischl, lalu tanpa dia sadari ia menghela napas kasar. Setelahnya, tiba-tiba ia membelalakkan mata seolah sadar akan sesuatu. Tunggu! Tadi aku baru saja salah menyusun kata? Sampai dibenarkan Razor... astaga, ini kesalahanku sebagai penulis— tidak, bahkan sebagai seorang Putri!

Namun, ajaibnya dua anak cowok ini mengabaikan tingkah Fischl yang satu itu. Seakan itu adalah hal kelewat biasa buat mereka.

“Oke, aku setuju.”

“Pulang. Razor. Ganti”

Huh, sekarang wahana yang bisa kita naiki berkurang satu, deh, sesal Fischl dalam hati.

Bennett memekik girang, “Bouken da bouken!!!” saat kakinya telah melangkah masuk ke dalam pasar sore itu.

Sementara itu, Razor menghentikan langkah yang tadinya penuh antusias. Lalu dia menundukkan kepala. Kedua tangan dia posisikan di samping masing-masing telinga.

“Eh, Razor? Kamu kenapa?” tanya Fischl, spontan. Ia sedikit membungkuk, lalu menengok wajah Razor yang menghadap jalan setapak.

“Banyak. Lihat. Gak nyaman,” gumam Razor.

“Oh! Tadi aku lihat ada yang jual banyak kacamata hitam tadi. Kau mau pakai, Razor?” tawar Bennett, kemudian melakukan hal serupa dengan yang Fischl perbuat tadi.

Razor yang bingung akan tawaran mendadak Bennett, hanya memandang Fischl dan Bennett bergantian, dan mengangguk.

Dan secepat kilat, Bennett langsung berlari ke arah belakang mereka–daerah tempat masuk–dalam sekedipan mata.

“Eh??? Bennett!” pekik Fischl. Lama ia memandangi punggung Bennett dan akan mengejarnya ketika punggung itu semakin jauh. Tapi, aksi itu dicegah Razor.

Razor, bocah lelaki rambut abu-abu dengan mata merah. Ia punya codet di pipi kiri bawah yang khas. Teman sekaligus rivalnya sejak TK! Karena kekurangan yang dimilikinya, ia memang kesulitan berbicara, walau usianya sudah hampir mencapai kedewasaan. Meski begitu, IQ Razor tak bisa diremehkan. Bakatnya luar biasa. Apalagi dalam olahraga! Sudah dari dulu dia menjadi rival Fischl, tapi sekarang pun jadi rival cinta?!

Fischl mendengus jika memikirkannya.

Mendadak Razor membuka suara, “Fischl. Dengan Mama Lisa. Masih?”

“Hm? Oh, iya. Aku masih mengikut Mama Lisa ke mana-mana. Lagipula gak ada yang mau mengangkat anak bocah wibu tengil ini,” jawab Fischl seraya menggaruk tengkuk. "kecuali Mama Lisa, tentunya.”

Razor tertawa kecil sebagai tanggapan cerita Fischl tadi. “Wibu? Fischl tau, ya,” ledeknya.

Fischl sempat mendengus, tetapi beberapa saat kemudian tak lagi-lagi membahasnya. “Kamu sendiri ... seru tinggal sama Pak Andrius?”

“Banget!” sambar Razor semangat. “Bertualang. Berburu. Begitulah.”

Dari kejauhan terdengar suara Bennett yang heboh menyerukan, "Razooooooooorrr! Aku bawa kacamata hitam buat kau!" seraya melambai-lambaikan sebuah kacamata hitam di tangan.

Tiada hari tanpa kencan bertiga– antara dirinya, si pacar, dan ....

Razor!




Komentar

Postingan Populer