Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

Refreshing (Temporary) Stressless Day

 Sudah sedari tadi–kira-kira lima menit lalu, Sara berjalan di lorong panjang Tenshukaku sambil menunduk. Berpura-pura mengamati corak pada tatami yang diinjaknya. Tangannya memegang dada sebelah kiri. Dag-dig-dug. Meski hati dan pikiran menolak, tapi kaki yang tak mau menurut, tetap melenggang lurus ke tempat tujuan–ruangan sang Raiden Shogun.

Begitu sampai di depan ruangan itu, Sara mengambil nafas dalam-dalam, lalu membuangnya. Tangan yang agak gemetar mengetuk shoji di hadapannya tiga kali.

Tok, tok, tok.

Tak usah lama menunggu, langsung terdengar suara dingin yang berkata, "Masuk."

Lalu Sara pun melangkah masuk ke dalam ruangan, setelah menggeser pintu lapis kertas washi itu.

Sudah seringkali Sara masuk ke ruangan ini, untuk keperluan dan dengan suasana apapun. Namun tak pernah ia merasa setegang ini. Bahkan saat hari pertamanya mulai bekerja di bawah pimpinan Raiden Shogun langsung sekalipun.

"Tak usah lama-lama— kau masih punya jatah libur seminggu. Pakailah." Dengan kalimat singkatnya, suara itu terdengar tegas, tak mau habiskan waktu lama-lama–seperti ucapannya.

"Shogun-sama ...!?" Sara spontan menengadahkan kepala. 

Masih memasang muka tanpa ekspresi, sang Raiden Shogun mengangkat tangan kanannya—menghentikan rencana Sara yang tadi hendak protes. "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Kau bukan aku, sebuah automaton yang diprogram untuk melakukan satu hal utama seumur hidupnya. Kau jelas butuh rekreasi, menyegarkan pikiran."

"Mohon maaf, tapi omong kosong apa itu, Yang Mulia!?" sergah Sara. Kegelisahan jelas tampak di nada bicaranya, meski hanya setitik. "Ha-hamba— hamba tidak butuh liburan atau segala tetek bengeknya itu. Hamba hanya butuh mampir ke kuil sebentar, ikut ritual pemujaan, dan menguatkan hati agar lebih bersemangat dalam melayani Anda, Paduka!"

"Kalau aku bilang kinerjamu beberapa minggu belakangan kurang bagus, masihkah kau hendak menolak?"

Setelah ucapan sang Shogun Inazuma yang satu itu, mendadak Sara terdiam. Seolah-olah rahangnya baru saja terjatuh. Matanya terbelalak. Persis seperti ekspresi The Scream, lukisan yang kini terpajang di Museum Munch, Oslo, Norwegia.

"Laksanakanlah."

Sara berseru, "Laksanakan!", lalu memberi hormat. Kemudian ia berjalan keluar dari ruangan pribadi Raiden Shogun dengan gagahnya, seperti seorang prajurit.


———

———


"Sang Shogun bilang begitu padamu?" Kamaji merasakan sekujur tubuhnya lemas. Ia terjatuh, tersimpuh. Rautnya pucat pasi. 

"Ya, Kamaji-san," balas Sara. 

Bukan membaik, Kamaji justru makin memanik.

"Sepertinya kau, tidak, kita ... sudah berbuat salah. Dosa besar ... bagaimana, bagaimana...," Kamaji berujar gusar. Bahkan saking paniknya ia, suaranya hampir tak terdengar jelas, seperti sedang meracau sendiri. "Sara, apa yang kau lakukan, diam saja di sini? Cepat kembali ke Tenshukaku, sekarang! Cepat minta maaf sebagai seorang Kujou, ayo kutemani ... tidak, tidak berdua saja, aku juga akan bilang Masahito...."

"Kamaji, stop! Tenanglah!" potong Sara. "Dengar, Kepala Klan Kujou Yang Terhormat, Kujou Kamaji-san ... kita ini putra-putri Komisi Tenryou, 'kan? Kita ini keturunan orang-orang paling setia kepada Yang Mulia..."

Lalu Kamaji berkata, sambil terbata-bata, "Setia ... melayani ... pada Paduka...."

Sara mengangguk. "Lalu ... buatkan aku surat izin wisata."


———


Araumi, sebuah daerah tak berpenghuni di tanjung Pulau Narukami, Inazuma. Tak ada makhluk hidup, hanya puing-puing sisa peradaban lalu yang diketahui berserakan di sana.

Tempat yang menurut Sara sangat pas untuk istirahat sejenak. Dengan jarak tak terlalu jauh dari rumah dan kantor, tak terlalu jauh dari tempat ibadah, tak memakan biaya dan tenaga banyak, serta yang paling penting— tenang.

Sara memandang puas ke tenda yang baru saja ia dirikan. Bangga dengan mahakarya yang baru saja diciptakan olehnya itu.

"Kujou-tengu!!"

Kehadiran mendadak Itto yang tak diinginkannya itu membuat Kujou Sara memijat pelipis. "Sebenarnya apa yang kalian lakukan di sini? Mau merusuh dan masuk penjara lagi, Geng Arataki?"

"Uh, takut!"

"Tidak mungkin, Nona Kujou. Kali ini ada saya di sini," tutur Shinobu, si rambut hijau bermasker sangar yang akhirnya buka suara.

Sara membalas dengan anggukan. "Yah, baguslah." Dari nada suaranya, ia memang terdengar betul-betul amat lega.

Tanpa membaca situasi, seperti biasa, Itto memulai ceritanya dengan berapi-api, "Mamoru! Mamoru hilang! Ia tiba-tiba saja hilang pagi ini."

Setelah mengambil napas dalam-dalam, ia melanjutkan, "Akira dan Genta pergi ke selatan, sedangkan aku ke utara! Sebenarnya aku ingin mencari sendiri, tapi bocah-bocah itu khawatir dan suruh Kuki ikuti aku! Padahal aku baik-baik saja, bisa jaga diri! Aku tak perlu diikuti ... kalau tidak, Kuki kan bisa mencari ke arah lain."

"Terdengar wajar sekali. Beruntung kau, dua bocah itu masih punya cukup intelejensi buat biarkan kau mencari ditemani Kuki Shinobu," komentar Sara.

Itto berseru marah, "Hey!"

Sara menghela nafas. Ia ingin semua ini cepat-cepat selesai, agar ia bisa beristirahat. Agar ia bisa cepat-cepat kembali berdiri tegak di sisi sang Raiden Shogun. "Baiklah, ayo– kubantu," putusnya.

Karena ucapan Sara, Itto yang semula menunduk dan Shinobu yang diam dengan muka gelisah memandang Sara dengan tatapan berbinar-binar. Keduanya antusias sekali sebab mendengar kalau mereka akan mendapat bantuan dari Sara.

"Tidak, jangan salah paham, Arataki. Sebenarnya aku tak mau bantu kau, tapi aku terikat sumpah. Harus membantu semua warga Inazuma. Kau warga Inazuma. Kesimpulannya, aku harus bantu kau."

"M'kasih, Kujou-tengu! Nanti kau kutraktir jagung~"

"Diamlah, Oni Bongsor. Aku bukan burung sungguhan," balas Sara. Cara ia mengatakannya seperti benar-benar tersinggung.

"Ya," Sara mengangguk. "Ada baiknya kau tolak tawaranku waktu itu, Kuki Shinobu. Kau bakal tak terikat sumpah sepertiku."

Shinobu menoleh pada Sara. Memandangi perempuan tengu berperawakan tinggi satu itu dengan tatapan yang, tak bisa dijelaskan. Ekspresinya tak begitu terlihat oleh Sara, karena Shinobu menggunakan penutup mulut.






Sara, Shinobu, dan Itto sudah berkeliling ke seluruh penjuru Araumi untuk mencari Mamoru— anggota Geng Arataki yang hilang

"Lelahnya..." celetuk Shinobu.

"Sepakat," sahut Sara.

Gerombolan ketiganya itu dengan kebetulan menjatuhkan diri di atas rerumputan hijau empuk bersamaan. Area rerumputan itu bukan sembarang rumput. Karena di atasnya, ada pohon yang cukup rindang buat bernaung.

Itto sudah berbaring tengkurap, tangannya terentang. Shinobu bersender pada pohon. Sementara Sara duduk dengan kaki diselonjorkan.

Tanpa kode apa-apa, Itto buka mulut, bernyanyi dengan suara sumbangnya. "Oooohh, Mamoru~ Ke manakah dirimu~ Ke barat, utara, timur, selatan kumencari~ Tak lekas kutemukanlah dikau~ Huoooooo~♪" tembangnya.

Takut gendang telinganya pecah, Shinobu cepat-cepat menutup telinga dengan kedua tangan. Sedangkan Sara terus mengomeli Itto, akibat suara merdu (MERusak DUnia)nya yang tetap masih saja terdengar meski telinga ditutup.

"Bos! Akhirnya ketemu juga kau!" 

Seruan menggelegar dengan nada lega itu sukses buat Sara, Itto, dan Shinobu menengok kompak.

Tiga orang lalu berlari menuju mereka. Yang satu cungkring, satunya cebol lunglit, sementara satu lagi berbadan gempal.

Itto langsung meloncat berdiri. "Huwoooh! Mamoruuuu!" serunya girang.

Seiring Itto berlari ke arah trio bawahannya itu, Shinobu berjalan menyusul ke sana setelah satu kali lagi mengucap terima kasih pada Sara.

Sara yang masih memproses informasi, kembali memasang ekspresi The Scream-nya. Cukup lama ia begitu.

"Astaga, Demi Shogun! Sudah kuduga! Sudah kuduga, anggota Geng Arataki akan menghilang dan hadir kembali dengan alasan yang bodoh!" seru Sara, sambil memegangi kepalanya.


———


Permasalahan Gang Arataki sudah tuntas, sekarang akhirnya Sara ada waktu untuk berbaring santai di kasur lipatnya!

Sara memejamkan mata. Humm, membayangkan tubuhnya bergelung di atas kasur lipat yang lebih empuk dari tanah itu saja membuat ia senang bukan kepalang.

"Ternyata surat izin wisatamu yang tergesa-gesa itu untuk ke sini, Jenderal Muda Komisi Tenryou?"

Eits, ternyata tidak semudah itu, kawan!

Sara dengan ogah-ogahannya menengokkan kepala. Di belakangnya, ada sosok pria jangkung dengan rambut biru muda asimetris. Penampilan yang mencolok sekali. Dia tahu sosok itu bernama Kamisato Ayato, alias Komisioner Yashiro, alias Menteri Kespiritualan dan Kebudayaan Inazuma.

Namun biasanya, sosok ini bertingkah begitu misterius dan tampaknya ia bahkan tak sudi menampakkan muka di perjamuan-perjamuan penting petingggi Inazuma. Jadi, pertemuan Sara dengan pria itu pun sanggup dihitung jari jumlahnya.

Ada apa ini?

"Pisahkan urusan pribadi dengan politik dan bisnis, Komisioner Yashiro," balas Sara.

Ayato mengernyit. "Oh? Tapi kau masih panggil aku, apa tadi ... Komisioner Yashiro?"

"Kenapa?"

"Seperti katamu tadi, Nona Kujou ... pisahkan urusan pribadi dengan politik," desis Ayato.

Sara memutar bola matanya, lalu mengibas-ibas tangan di depan muka Ayato.

"Kau pasti sudah tahu tentang ini, jadi tak guna aku sembunyikan– aku dan Shuumatsuban-ku sedang menyelidiki, kotak-kotak bertumpuk dengan wujud mencurigakan, seperti yang di sebelah sana."

"Hah?"

"Astaga, otak tengu memang benar lebih kecil dari manusia, ya– ckck. Adikku belakangan ini bertanya-tanya, benda apa itu. Kata dia mencurigakan. Jadi sebelum benda terkutuk itu lukai dia, harus kuhancurkan terlebih dahulu," kata Ayato dengan berapi-api, tak seperti gaya bicaranya yang biasa dipakainya di pertemuan-pertemuan politik Tri-Komisi Inazuma.

Sara hendak protes tentang kalimat pertama Ayato tadi, tapi tak jadi. Ia tak mau terlihat semakin bodoh karena mengomel hanya karena alasan sepele begitu. Meskipun ia punya prestasi gemilang, fakta bahwa Sara bukan betul-betul keturunan Kujou dan hanya merupakan seorang tengu, akan selalu dipusingkan oleh petinggi Inazuma yang klasis dan rasis itu, bukan?

Maka, Sara mengambil nafas dalam-dalam, lalu dibuangnya. Setelahnya, dengan nada suara yang telah kembali tenang, ia berkata, "Benda-benda itu punya nilai budaya, bukan? Aku ada wewenang dan misalnya aku bawa alat perekam, ada cukup bukti untuk memenjarakanmu kali ini, loh."

"Hm? Kalau Pemerintah Kespiritualan dan Kebudayaan sendiri yang menghancurkannya, tentu tak mengapa?"

Itu tadi adalah comeback yang menakutkan. Kalau ada rakyat yang mendengar ucapan Ayato barusan, rusak sudah citra baik yang selama ratusan tahun dibangun susah payah oleh pendahulu Tri-Komisi.

Sara mengernyit, tapi bibirnya meringis. "Ini termasuk urusan pribadimu, Tuan  Ayato?"

Membaca ekspresi Sara yang sedari terus-terusan tak bersahabat, Ayato melambaikan tangan, lalu berkata, "Aku tahu apa yang kau pikirkan, Kujou. Di sini tak ada orang sedikitpun. Araumi selalu sepi, kecuali bulan ini. Tapi selain kita, kecil kemungkinannya, bahkan hampir tak ada rakyat yang akan lalu-lalang di sini."

"Perlu kukatakan, Araumi ini tempat terbengkalai!" sambungnya. Tangannya diletakkan di samping bibir. Seperti nona-nona bangsawan penggosip di sebuah perjamuan.

"Barusan kau terdengar seperti Ayahku. Sungguh."

Ayato terkekeh. "Apakah itu sebuah pujian atau penghinaan, aku tak tahu."

"Pakai tanya? Itu sindiran keras!"

"Hoh. Apa ini, Nona Kujou? Sedari tadi, membara-bara sekali dirimu mengomel. Tak seperti kau yang biasanya diam menaati perintah sang Shogun. Dinginkan kepalamu, dong," tegur Ayato. "Aku ada ide, lebih baik kau ikut penyekidikanku, Nona. Ini akan seru."





Yang awalnya suasana hati sudah buruk, kini wajah Sara yang merengut itu makin tertekuk. Semakin buruklah suasana di hatinya. Ia kecewa berat dengan penyelidikan Ayato. Tadinya, begitu besar ia bercakap tentang penyelidikan itu tadi. Padahal, yang berbicara tak lain adalah Komisioner Yashiro yang memprakarsai Inazuma di bidang Kespiritualan dan Kebudayaan, sekaligus pemimpin dari organisasi rahasia Shuumatsuban.

Yah, ekspektasinya dari awal memang sudah rendah, tapi....

Gila, ya!

Ini sih, terlalu jauh melampaui ekspektasi.

Gaya penyelidikan Ayato itu amat membuat Sara naik darah. Bagaimana tidak, kalau kerjanya saja 11 12 dengan detektif Shikanoin Heizou, si sial bawahannya di Komisi Tenryou yang berkepala merah itu!

Di situlah Sara, terbengong menunggui Ayato yang dengan sembrononya melihat-lihat kotak-kotak itu dengan kaca pembesarnya. Hal tersebut telah dilakukannya sedari tadi.

"Ayo, Tuan Ayato. Ada baiknya kita lekas kembali ke kamp," desak Sara.

"Aaaahh, sebentar lagi lah, Nona Kujou. Kau tak lihat, aku sedang apa?" timbal Ayato.

Stress, Sara berjalan agak menjauh dari Ayato, kemudian berseru, "Ini bodoh! Muak aku, muak! Sial sekali aku, terjebak di sini bersamamu!"

"Astaga! Demi Shogun! Ya Archon! Haaaahhhhh!" seru Sara, frustrasi. "Aku benci liburan ini!"

Komentar

Postingan Populer