Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

iˈlo͞oZHən: Sometimes, You Just Need A Little 'Peace'

   Pasar Besar Snezhnaya, sesuai namanya merupakan sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Snezhnaya. Segala macam barang ada di sana. Mulai dari sembako, mainan anak, alat-alat memasak, perabot rumah, alat tulis, peluru senapan, berbagai macam pilihan senjata tajam, dan masih banyak lagi yang lain. Tempat ini selalu ramai, tak pernah sepi. Bahkan langit malam yang gelap pun tak menghentikan warga negeri bersalju itu untuk datang ke sana.

Seperti biasa di Snezhnaya, langit malam ini begitu gelap, meski ada sedikit bintang dan aurora yang menghiasi. Dibarengi cuaca dingin yang ekstrem pula. Akan tetapi hal itu sudah biasa bagi Childe, seorang penduduk asli Snezhnaya. Terlebih dengan posisinya yang merupakan harbinger ke-11 milik Tsaritsa, membuat dirinya semakin sering beraktivitas di malam hari. Meskipun badai salju sekalipun. 

Ia sudah kebal dengan masalah segampil ini.

Di tengah mencekamnya hawa malam Snezhnaya, pria berambut jingga berantakan itu menapakkan kakinya pada tanah berselimut salju dengan pasti. Berulang kali ia memandang sekitar dan peta pelacak–yang dibekali Il Dottore untuknya demi kelangsungan misi ini–bergantian.

"Ooooh, anak muda. Malang, malangnya, malang benar nasibmu."

"Kematian ... kematian. Sang Kematian telah menggentayangimu ... perkuatlah imanmu, hai anak muda ...."

Childe mengerutkan keningnya. Ia melengok, mencari orang yang berbicara. Tadinya ia ingin marah, tapi begitu melihat sosok wanita ringkih yang kini di hadapannya, diurungkannya niat itu. Orang ini benar-benar mengingatkannya akan mendiang neneknya yang begitu ia sayangi.

Lantas ia berjongkok dan berkata dengan nada lembut, "Apa maksudnya itu?"

Wanita itu tersenyum menyaksikan setitik kebaikan dari lelaki bertopeng yang terlihat bengis di depannya. "Lihatlah ... lihatlah ke dalam bola ini, anak muda," katanya.

Maka dilihatlah bola di tangan nenek tua itu oleh Childe. Awalnya tak terlihat apa-apa, tapi saat kembali dipandanginya lamat-lamat bola tersebut, barulah tampak isinya. "Itu... aku?" bisiknya pada diri sendiri. 

Semakin lamat ia memandang, semakin hilang pula kesadarannya. 

Dirinya telah terhipnotis oleh ilusi itu.





"Semoga takdirmu baik, anak muda ....."



— iˈlo͞oZHən —



"Ajax! Ajax! Bangunlah!"

Childe merasakan kedua pipinya ditepuk pelan-kencang bergantian. Rasa nyeri mulai menyambut kulitnya.

"Sial kau, Ajax. Rapat Dewan Pramuka sudah bubar dari tadi! Kucari-cari ke mana-mana, taunya kau di sini. Di mana tanggung jawabmu sebagai Ketua Dewan Pramuka sekolah kita? Bangunlah, sial!"

"Menurutmu, bukankah mukanya itu menyebalkan sekali? Bahkan tidur pun ...."

"Kenapa kau menanyakan hal yang sudah jelas, Aether?"

Mendengar familiar di telinga membuat Childe langsung membuka lebar-lebar matanya. 

Begitu ia membuka mata, rambut pirang pucat menyapa, menggelitik hidungnya. Terdapat kernyitan di dahi wajah rupawan gadis pemilik rambut itu. Manik mata emasnya menatap tegas kepadanya. "Akhirnya, sial!"

"Ho, Pengembara Lumine? Akhirnya kau berhasil menemukan bagian jiwamu yang lain?" kata Childe dengan suara serak ala orang baru bangun tidurnya sebagai sapaan.

"Apa?"

"Apa maksudmu?"

Mendapati respon (?) dari duo itu, Childe justru mengambil kesimpulan sendiri, "Tau, kok, Pengembara. Kau berhasil menemukan saudara-lama-terpisahmu itu karena jasa besarku. Selamat, ya."

Namun ucapan Childe yang satu itu justru membuat dua kepala pirang tadi makin bingung dan saling pandang.

Hingga akhirnya lelaki rambut pirang keemasan di sebelah Pengembara Lumine, yang dipanggil Aether, membuka mulut, "Hey, Jahe. Aku tak tahu apa maksud ocehanmu barusan. Bukan hal aneh aku tak paham dengan omong kosongmu, tapi yang barusan itu, kau sedang melindur?" 

Childe menyahuti dengan nada bingungnya, "Apa?" 

"Apa?" Si pemuda dan pemudi pirang membeo dengan kompaknya.




 iˈlo͞oZHən 
Sometimes, You Just Need A Little 'Peace' 
Terkadang, Kau Hanya Butuh 'Kedamaian' Kecil




Komentar

Postingan Populer