Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

iˈlo͞oZHən: Embrace The Curse

 "Xiansheng ...?"

Sosok besar Rex Lapis yang terlihat berdiri di atas puncak tertinggi Liyue, Puncak Qingyun, dengan para adeptinya. Hampir keseluruhan dari mereka sudah bermandikan darah.

Di seberang mereka, ada lima sosok besar yang berderet dengan gaya siap bertarung masing-masing. Kelimanya masih berdiri tegap di atas kristal es raksasa, yang Childe jelas tahu milik siapa itu. 

Gunung es itu jelas kepunyaan sang Dewi Es yang dulunya merupakan Dewi Cinta. Sosok yang telah memimpin negeri Snezhnaya selama ratusan tahun terakhir. Yang Mulia Tsaritsa-nya.

Sosok yang Childe tahu, telah teramat menanti-nantikan hari ini.

Lebih tepatnya, hasil yang didapatkannya setelah hari ini tiba.

"Apa-apaan ini?" Begitu Childe berujar pada dirinya sendiri. Nada suaranya seperti bingung, resah, dan marah menjadi satu.

Namun meski sudah berbicara dengan suara yang pelan sekali, anehnya tak lama kemudian ada satu suara menyahuti, "Kau tidak tahu? Kau ini baru saja bangun dari koma, atau semacamnya?"

Childe mengernyitkan kening. "Apakah ini terlihat seperti waktu yang tepat untuk mengejek orang, Orang Asing?"

Wajah jelek tadi mengelupas, jatuh ke bawah, menjadi kepingan salju.

"Kenapa kau terkejut, Anakku? Bukannya sudah terlihat jelas, kalau akhirnya akan begini?"

"Apa? Tapi dia itu temanku!"

"Sejak kapan seorang archon menjadi temanmu, hai, Kesebelas?"

"Yang Mulia, Paduka Tsaritsa!"

"Dalam perang ini, dia memihak musuh, Celestia. Ia adalah musuh yang harus kau bunuh, sekarang ataupun nanti," ujar Tsaritsa, kemudian menghela napas. Walau begitu, tampaknya ucapannya belum selesai. "Meski setengah-selesai, si Keenam, Balladeer, sanggup menjalankan misi di tanah kelahirannya dan mengkhianati penciptanya. Kenapa tidak denganmu, yang baru saja mengenal tak-sampai-sepertiga dari Sang Rex Lapis?"

"Kalau dari awal sudah tahu kelak akan menjadi lawan, mengapa hatimu melunak, hai Anakku?"

Childe hanya diam, terpaku dalam sujudnya. Sekujur tubuhnya bergetar. Sekadar melirik ke atas pun ia tak berani.

"Sudah omong kosong panjang ini segera. Perang Archon Kedua yang akan diingat, yang akan mengubah dunia akan segera dimulai. Bersiaplah, Prajuritku."

Tak lama setelah sang Archon Cryo berkata begitu, kilat ungu terlukis di langit. Kemudian selang beberapa detik, terdengarlah suara gemuruh petir yang saling bersahutan, bagaikan ketukan drum menyambut dimulainya perang.

Tujuh Wayang Archon Electro melayang-layang di langit sembari menarikan [Inazuma no sanbi], sebuah tarian khas Inazuma. Di setiap gerakan mereka yang luwes, lahirlah petir-petir yang berlomba-lomba menyambar prajurit musuh.


Alih-alih melancarkan aksinya, Childe hanya bisa membatu dan meneguk ludah, terkesima dengan pemandangan itu. Gerakan yang begitu indah, tetapi juga amat mematikan. Keraguan untuk bergabung dengan pasukan Celestia kembali berkecamuk dalam batinnya. Sebenarnya ia ingin sekali berperang di sisi kawan terbaiknya, yang merupakan Archon Geo, Zhongli. Akan tetapi, di sisi lain ia juga tak ingin mati konyol tersambar petir sebelum bahkan bisa bertarung.


"Bocah, kenapa kau loyo begitu?" tanya Il Dottore, diikuti dengan tawa mengejeknya yang sumbang.


Childe tertawa, menertawakan nasibnya: hampir sekarat karena ketololannya sendiri, berdiri diam di tengah-tengah ganasnya perang. Menjadi sasaran empuk panah beracun musuh.


Seluruh warga Teyvat telah disuapi dan menelan bulat-bulat doktrin "Celestia itu Jahat", terlihat dari isi artikel berita di surat kabar. Hampir semua koran yang telah Childe baca pagi ini berisi tentang perang kemarin sore. Sebagian besar bersifat memihak, Pro-Sekutu dan Kontra-Celestia. Manusia dengan antusiasnya berdebat mengenai pemenang dari kekacauan yang disebut-sebut Perang Archon Kedua, antara Tsaritsa dengan sekutu beserta pasukannya ataukah Asmodai dengan pasukan Celestia-nya.


Childe mengernyit terhadap berita-berita yang terasa asing ini. Banyak hal yang tak ia ketahui tercantum dalam halaman-halaman koran itu.

Komentar

Postingan Populer