Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

Runaway Princesses : Athanasia de Alger Obelia

Runaway Princesses : 
Athanasia de Alger Obelia


———
S h i n a d a r a
———

 Halaman Istana Emerald di malam ini terasa lebih terang dari biasanya. Hal itu disebabkan karena sebuah bola kecil melayang yang ada di dekat sosok lelaki berambut hitam dengan panjang sepunggung. 

Tak jauh darinya, terdapat seorang gadis cantik dengan rambut kuning keemasan yang sedang berjalan mondar-mandir sambil sesekali mengintip isi buku yang dipegangnya saat ini. Bersamaan dengan itu, mulutnya komat-kamit seolah sedang membaca mantra. 

Ah iya, omong-omong ... ia adalah Athanasia de Alger Obelia, satu-satunya putri sekaligus pewaris sah takhta kerajaan Obelia, yang terkenal akan kepintaran dan kecantikannya.

“Hey, kau bukannya udah lancar berbahasa Arlanta? Kenapa masih belajar lagi?” Si rambut hitam tiba-tiba berujar.

Putri dengan rambut pirang segar dan mata biru muda bagaikan permata yang indah itu menaikkan satu alisnya, lantas menggeleng. “Meski begitu, aku tetap harus belajar. Besok bakal ada perjamuan makan malam bersama tamu dari Arlanta. Makanya, aku harus belajar lebih giat lagi!” serunya dengan semangat penuh.

Arlanta dikenal sebagai negeri yang kualitas pendidikannya paling maju saat ini. Mayoritas bangsawan dari seluruh penjuru dunia ini sudi untuk bersusah payah demi bisa menuntut ilmu di salah satu dari sekian banyak akademi yang ada di sana.

Salah satu dari sedikit orang beruntung yang bisa bersekolah di akademi Arlanta yang paling bergengsi itu adalah Izekiel Alphaeus, putra tunggal Roger Alphaeus, yang memiliki rambut putih dan mata emas. 

Obelia dan Arlanta memiliki hubungan baik, wilayah keduanya juga bertetanggaan. Maka dari itu, tak jarang kedua pihak tersebut melakukan kunjungan satu sama lain. 

Di kunjungan perwakilan Arlanta ke Obelia kali ini, Athanasia telah bertekad untuk membuat mereka terkagum dengan kemampuan berbahasa Athanasia, serta membujuk mereka untuk berinvestasi dalam pertambangan batu-batu mulia Obelia. Mungkin ini terdengar seperti omong kosong, tapi Athanasia ingin melakukan ini untuk membantu Ayah! Membantu Kekaisaran Obelia! 

Sudah cukup ia dimanja oleh sang Kaisar dan seluruh rakyat Obelia. Paling tidak sekali ini saja, Athanasia ingin menjadi anak yang berbakti. Bukan hanya itu, tapi menjadi seorang Putri yang berkontribusi dalam kemajuan negaranya.

“Semuanya harus sempurna, Lucas! Kau yang tak berlu bersusah payah buat jago dalam sesuatu mana mengerti tekadku?” Athanasia mencibir.

“Sudahlah, bodoh. Tidak usah terlalu berpayah-payah! Mana mungkin ada pemimpin negara yang waras, akan tergoda untuk berinvestasi di usaha negara asing, hanya karena terpukau dengan kemampuan? Memangnya kau pikir ini masih di Istana Ruby, tempatmu menghabiskan masa kecil dulu?”

“Apa salahnya mencoba!? Dasar pesimis! Menyedihkan!” balas Athanasia dengan sinis. “Lalu, memangnya kenapa dengan Istana Ruby? Masalah buatmu? Hah!?”

Lucas tertawa sinis. “Bukan masalah buatku, sih. Tepatnya, buatmu. Semua orang selalu mengiyakan omonganmu, menuruti permintaanmu. Kau terlalu dimanja, sampai tingkat kepercayaan dirimu menyaingi tingginya menaraku.” Tak mau ketinggalan, Lucas membalas omongan si gadis rambut pirang dengan sindiran pedas.

“Aduh-aduh-aduh, kaca ... mana kaca?” sambar Athanasia, sambil menoleh ke kanan-kiri, berpura-pura mencari cermin.


“Athanasia de Alger Obelia.”

Athanasia menengok. Keningnya mengerut, alisnya naik satu. “Kenapa? Tumben memanggilku dengan nama lengkapku ....”

“... perasaanku tak enak mengenai perjamuan malam ini.”

“Tapi aku serius, Tuan Putri.”

“Perasaan apa, sih~” 

“Duh~ Mana mungkin aku percaya omongan dukun abal-abal seperti kau?”

Namun, tak seperti biasanya, kali ini Lucas hanya mengangguk tanpa mengucap sepatah katapun.

Athanasia bergumam, “... dasar aneh.”

Athanasia melotot. “Lucas!” 

“Athanasia!”

“Sial!”

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer