Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

Klee, No!!

 “Uuuhuhuhu. Ta-tante Jean mau ke manaaaaaa?” rengek Klee, yang sekarang lagi memeluk kaki jenjang Jean. Tujuannya? Apalagi, kalau bukan untuk mencegah keberangkatan Jean.

Jean menunduk, menatap keponakan —anak temannya, alias Klee. Senyum ramah terpajang di wajah tegasnya. “Hey, Klee? Ayo, aku cuma tiga hari doang, kok. Setelah tiga hari, Tante udah libur lagi, nih. Jadi bisa lanjut main sama Klee ... ya?” bujuk Jean.

No, no! Tante ndak boleh ke mana-mana!” larang Klee sambil menyilangkan tangan di dada. “Kalau Tante pergi, terus Klee-nya sama siapa? Di rumah sendirian ... hueeee, ndak mau!”

“Nggak sendirian, kok. Kan, ada 

Oh, oke. Ternyata gagal. Bujukan Jean kurang menggoda. Sayang sekali.

Jean bingung. Matanya sempat melirik jam dinding sesaat, lalu karena itu pula keningnya mengernyit.
Perempuan berambut pirang itu menjentikkan jari. “Ah, Tante ada ide!” celetuknya. Sambil menyeru begitu, matanya berbinar-binar.

Alis Klee naik satu. Jarang sekali ia meliha ekspresi itu terpasang di wajah Tante Jean-nya yang biasanya selalu bereskpresi lempeng. Makanya bocah ini penasaran.

“Klee, ambil tas kamu dan bawa barang-barangmu seperlunya. Ayo ikut Tante jalan-jalan sebentar!”

“Seperlunya? Jalan-jalan ...?” Klee mengulang beberapa kata yang diucapkan Jean tadi. “Jalan-jalan! Oke, Tante! Sebentar, ya! Klee masuk kamar dulu!!”

“Tante tunggu di motor ya, Klee!” seru Jean.

“Iya, Tante! Tungguin, Klee jangan ditinggal!”

Sambil menunggu Klee yang sedang bersiap-siap, di atas motor, Jean menatap rupa seorang wanita yang juga tengah memandangnya sembari tersenyum puas —pantulan dirinya di kaca spion.




Komentar

Postingan Populer