Cari Blog Ini
Sebuah pojok fanfiksi berbahasa Indonesia, dibuat oleh penggemar untuk penggemar pula
Featured Post
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Something That Shouldn't Be — Genshin Impact Fanfiction: Kaeya x Rosaria
Walaupun kata orang-orang mereka membina hubungan toksik, tidak sesuai tempat, dan lain sebagainya ....
Hubungan mereka bisa dikatakan cukup harmonis, sebenarnya. Tidak ada yang berubah sejak pertama kali mereka memutuskan untuk bersama: Kaeya dengan keteguhan hatinya, Rosaria dengan sifat keras kepalanya. Itu hanya gaya mereka agar lebih akrab dan tidak hambar.
Namun, perasaan ketika tidak bisa berbagi kebahagiaan di hari-hari besar keagamaan bersama ... tentu hal itu menjadi dilema tersendiri bagi keduanya.
Tidak bisa beribadah bersama di hari besar, tidak bisa saling menyertai dalam momen-momen sakral yang seharusnya menjadi perayaan dua insan. Tidak bisa menghindari tatapan sinis yang melihat hubungan mereka sebagai sesuatu yang tidak mungkin berakhir bahagia.
Kaeya melempar ponselnya ke kasur, lalu mendesah pelan. Layarnya masih menyala, menampilkan notifikasi dari Rosaria.
Kaeya menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya mengetik balasan. Namun, sebelum sempat mengirim, ia menghapusnya lagi.
Tiga pesan itu sudah ia baca sejak tadi, tetapi jari-jarinya masih ragu mengetik balasan. Ia sempat menulis, Oke, sebentar lagi aku ke sana, lalu menghapusnya. Mengetik lagi, Lagi capek, next time ya, tetapi menghapusnya lagi.
Sungguh, ini tidak sulit. Tinggal bilang iya atau tidak.
Namun, entah kenapa, setiap kali ada ajakan seperti ini, ia selalu merasa ada sesuatu yang menahannya.
Kaeya mengusap wajahnya, lalu beranjak dari kasur. Ujung mantel panjangnya menyentuh lantai ketika ia berjalan menuju cermin. Sekilas, ia menatap refleksinya—mata birunya yang biasanya tampak percaya diri kini menyimpan sedikit kelelahan.
“Kenapa sih, malah mikir yang aneh-aneh?” gumamnya pada diri sendiri.
Dengan satu tarikan napas, ia meraih ponsel lagi dan akhirnya membalas:
Otw.
Setelahnya, ia mengambil kunci motor dan keluar, mencoba mengabaikan perasaan yang mengganjal di dadanya.
Mungkin ini hanya hari biasa.
Atau mungkin, ini adalah malam di mana segalanya akan berubah.
Malam itu, Kaeya berdiri di depan rumah Rosaria. Rumah itu tidak terlalu besar, tetapi hangat, dengan aroma sup dan rempah yang selalu menyambutnya sejak pertama kali ia datang bertahun-tahun lalu.
Pintu terbuka sebelum ia sempat mengetuk.
“Kaeya! Kamu akhirnya datang juga.”
Ibu Rosaria berdiri di sana, tersenyum lembut meski tubuhnya tampak semakin ringkih. Rambutnya yang mulai memutih tersanggul rapi, dan matanya menyiratkan kehangatan yang selalu membuat Kaeya merasa diterima.
“Ibu, selamat malam,” Kaeya berkata sopan, lalu membungkuk sedikit. “Saya bawakan sesuatu.” Ia menyerahkan bungkusan kecil berisi roti dari toko favorit ibu Rosaria.
“Oh, anak ini selalu tahu apa yang ibu suka.” Wanita tua itu tertawa kecil, menerima pemberian Kaeya dengan senang hati. “Masuklah. Rosaria masih di kamar, tapi ibu yakin dia senang kau datang.”
Kaeya masuk, mendengar bunyi lantai kayu yang berderit pelan di bawah langkahnya. Ruang tamu masih sama seperti dulu—dengan sofa empuk dan foto-foto keluarga yang tertata rapi di rak.
Namun, tak sampai beberapa detik setelah ia duduk, suara lain menyambutnya, kali ini jauh lebih tajam dan dingin.
“Jadi, kamu masih berkeliaran di sini?”
Kaeya menoleh. Seorang wanita dengan rambut pirang keperakan bersedekap di ambang pintu dapur. Tatapannya tajam, hampir menusuk. Itu Eula—kerabat Rosaria yang selalu punya komentar pedas tentang hubungan mereka.
“Selamat malam, Eula,” jawab Kaeya, tetap tenang.
Eula mendengus, berjalan mendekat dengan langkah percaya diri. “Selamat malam? Aku tidak yakin ini malam yang baik.” Ia menatap Kaeya dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Masih berusaha mempertahankan sesuatu yang tidak akan pernah berhasil?”
Kaeya tidak langsung menanggapi. Ia sudah terbiasa dengan sikap Eula. Sejak awal, wanita itu tidak pernah menyembunyikan pendapatnya tentang hubungan ini—baginya, Kaeya dan Rosaria hanyalah dua orang keras kepala yang membuang waktu dengan sesuatu yang mustahil.
“Aku tahu kamu ingin terlihat sabar dan dewasa,” lanjut Eula, nada bicaranya sinis. “Tapi jujur saja, Kaeya. Hubungan ini seperti duri dalam daging. Tidak akan ada akhirnya selain luka.”
Kaeya menghela napas, mencoba menahan keinginannya untuk membalas dengan cara yang sama.
Namun, sebelum ia bisa mengatakan apa pun, suara lembut tapi tegas menyela.
“Eula, cukup.”
Ibu Rosaria, yang sebelumnya duduk diam, kini menatap keponakannya dengan tatapan penuh arti. “Kaeya adalah bagian dari keluarga ini. Dia selalu diterima di rumah ini.”
Eula melipat tangannya, tetapi diam.
Kaeya tersenyum tipis, lalu beralih menatap ibu Rosaria. Ada rasa hangat yang menyelinap di dadanya—wanita tua itu selalu membuatnya merasa dihargai.
“Tentu saja, Ibu,” jawabnya pelan. “Terima kasih.”
Namun, di sudut hatinya, ia tahu Eula tidak sepenuhnya salah. Hubungan ini memang seperti duri dalam daging—dan cepat atau lambat, mereka harus memilih apakah akan mencabutnya, atau terus bertahan meski menyakitkan.
Malam semakin larut, tetapi mereka tetap berjalan di taman yang sama seperti biasa. Taman kecil dekat rumah Rosaria. Udara dingin menusuk, tetapi tidak sebeku hati mereka yang sudah sama-sama tahu bagaimana ini akan berakhir.
"Rosaria, pernah dengar petikan lagu ini, 'gak?" Kaeya membuka percakapan, suaranya terdengar ringan, tapi matanya tidak bisa menyembunyikan keresahan.
Rosaria menoleh, menyesap kopinya sebelum mengangguk malas. “Yang mana?”
Kaeya menjeda kalimatnya sebentar. Ia lalu tersenyum kecil sebelum menggumamkan, "Tuhan kita memang satu, kita yang tak sama."
Di bawah cahaya rembulan yang indah malam ini, Rosaria memasang senyuman masam, yang jarang terlihat di wajahnya.
Rosaria menghela napas. Senyum masam terukir di bibirnya, sesuatu yang jarang terlihat. "Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi?" lanjutnya, suaranya sedikit bergetar
Kaeya tertawa kecil, tetapi tawa itu terdengar hampa. "Hahaha. Kok malah lanjut nyanyi?"
Ia menatap ke langit, lalu bergumam dalam bahasa asing yang hanya mereka berdua mengerti; bukan masalah tutur manusia, melainkan perasaan yang membelitnya. "We're something that shouldn't be."
Rosaria menunduk, jarinya meremas gelas kertas yang ia genggam. "Yeah, I guess we are something that shouldn't be. We are doing something that even The God despise, no?"
Tidak ada yang bicara setelah itu.
Dalam diam, mereka memahami sesuatu yang selama ini enggan mereka akui: cinta saja tidak cukup.
Seseorang harus menyerah, atau mereka akan terus menapaki jalan yang semakin menyakitkan.
Kaeya menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, “Mari kita sudahi LDR yang menyesakkan ini."
"... sampai jumpa, Kaeya."
Cukup tiga tahun saja. Baik Kaeya maupun Rosaria tak sanggup lagi menahan rasa sesak di dada ini.
Mereka sudah berusaha.
Mereka sudah memberikan versi terbaik bagi masing-masing.
⛈ ּ ֶ
Benteng begitu tinggi
Sulit untuk kugapai
Aku untuk kamu
Kamu untuk aku
Namun semua, apa mungkin
Iman kita yang berbeda?
Tuhan memang satu
Kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi
Meski cinta takkan bisa pergi?
[Marcell - Peri Cintaku]
Postingan Populer
Summer Fireworks — Genshin Impact Oneshot Fanfiction: Tomo, Kazuha, Yoimiya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Rekomendasi Manhwa Bertema Hubungan Ayah-Anak!
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar