Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

Gemini of Trielle: Tragedi

 “Tidak...!” 

Setelah jeritan melengking itu, kemudian terdengarlah suara benda-benda pecah belah terjatuh bergantian, bergerompyangan. Suara-suara yang memekakkan telinga itu menggema di ruangan.

"Janganlah engkau kabur dari takdirmu yang pasti, Lisian Vance!"

Tak lama setelahnya, pintu dibuka paksa dan napas terengah-engah. Melihat sosok yang kini sudah dekat dengannya, wanita itu terjerembab, membuatnya berciuman dengan lantai.

Langkah kaki yang dingin, terdengar seperti jeritan kesakitan orang-orang, menggaung dramatis di dalam ruangan itu. Rambut hitam sosok tersebut yang kelam dan mata ungu menyalanya, serta barang di genggamannya cukup untuk membuat orang memekik ketakutan. Tampangnya berekspresi datar, mata tajamnya memandang sinis kepada seorang wanita paruh baya yang kini telah tersudut di pojok ruangan.

Suara tembakan mendadak menyapa gendang telinga. Ketika disadari, peluru berlumur racun telah bersarang di kaki kanan si wanita paruh baya.

Wanita itu adalah orang yang dipanggil Lisian Vance tadi, sekarang terpojok dengan kondisi bersimbah darah. Rambut platinum blondenya acak-acakan. Tangannya yang bergemetar menunjuk ke arah sosok di depannya. Sosok yang membuatnya seperti ini. Dengan kondisinya yang bahkan napas pun nyaris tak kuat itu, disempatkannya untuk berserapah, “Sial, kupastikan kau akan menyesali perbuatanmu!”

Badannya, dari pundak hingga kaki, telah terkulai lemas tanpa tenaga di lantai. Efek racun dari peluru begitu cepatnya menyebar ke seluruh tubuh. Meski begitu, ia masih bernapas. 

Dengan segenap kekuatan terakhirnya, wanita itu berusaha membuka lebar mata ungunya yang hampir tertutup. Sebagai usahanya memperlihatkan kemauan hidup, menahan rasa sakit yang dideritanya. Siapapun yang melihat situasinya sekarang dapat mengetahui, ia tengah berada di ambang ajalnya saat ini.

Kepalanya, satu-satunya bagian tubuh yang bisa digerakkan, menoleh ke kanan. Matanya melirik sosok anak kecil di sana. Anak yang berpenampilan teramat mirip dengan dirinya. Darah dagingnya sendiri.

Sekujur tubuh gadis mungil itu bergetar ketakutan. Bagaimana tidak? Anak kecil yang masih lugu itu menyaksikan semuanya. Dari awal hingga akhir. Dari ketika dengan kaki pincangnya sang ibu berlari ke ruangan ini, hingga saat nyawa ibunya akan direnggut oleh sang malaikat maut dengan perantara ayahnya.

Bukannya seperti ibu-ibu lain di drama tragedi yang mengungkap, kalimat terakhirnya justru, “Libertia, aku tak tahu kemampuanmu, tapi kuserahkan masa depan keluarga Vance kepadamu.”

Sambil masih menggenggam pistol hitamnya, sang lelaki paruh baya dengan sorot pandang dingin. 

Lisian Vance membuka mulutnya, berkata "lari" tanpa suara.

Semua terjadi dengan begitu cepat. Sejak kala itu, gadis kecil bernama Libertia Lahm Trielle terpaksa menanggung beban yang begitu beratnya. Masa depan sebuah keluarga ada pada tangannya. Harapan seorang ibu ada di pundaknya. Bahkan hidup dan nasib sang adik juga turut dipanggul di punggungnya.

Libertia-lah yang memberi nama Celestia Lahm Trielle, terinspirasi dari tokoh favoritnya dalam sebuah kartun.

Komentar

Postingan Populer