Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

Teman Untukmu | Webtoon Ghost's Dilemma Hana (Gerhana Rembulan) Oneshot Fanfiction


S h i n a d a r a  -


“Kau. Mau?”

Hana mengerjap-ngerjap, bangkit, lalu memiringkan kepala. Ia melihat sekeliling, sepi. Setelah memastikan situasi, baru ia melirik anggota tubuh yang bisa terlihat olehnya, yaitu tangan dan kaki.

Kulitnya tak lagi pucat seperti kemarin hari, bahkan kakinya kini bisa menapak tanah dengan seimbang.

Kemudian Hana menunjuk pada diri sendiri. “Kamu berbicara denganku?” tanyanya.

Sosok yang tadi bertanya padanya seorang pria. Dari rambut sampai ujung kaki, orang ini berwarna hitam — kecuali kulitnya yang pucat seperti orang mati. Mata tajamnya yang tadi menatap Hana, kini berganti memandang sekitar. Kemudian ia mengedikkan bahu. “Cuma ada kau di sini.”

Hana tertawa canggung. “Aku tahu,” balas Hana. 

Pria itu berdeham. “Aku merasa tak perlu memperkenalkan diri, tapi sepertinya kau perlu tahu tentang situasimu saat ini–” kata pria itu, tapi ucapannya terpotong.

“Aku hantu,” sela Hana. “sejak lama ....”

“Benar,” ucap pria itu. “yang lain sudah kuantar dengan lancar, tapi hanya kau di sini yang jiwanya tertolak Nirvana.”

“Sebelum aku tak sadar, bumi berguncang hebat. Aku yang hantu ini sampai terpental,” cerita Hana. “barusan terjadi bencana alam, ya? Apa tak ada manusia yang selamat?”

“Dua anak-anak yang terlindung di bawah pelukan orangtuanya, sudah dievakuasi tim SAR. Gempa itu sudah kemarin.”

“Tidakkah kau berpikir, kalau hanya belum saatnya saja ajal mereka tiba?”

“Bicaramu daritadi mencurigakan sekali. Kamu ini dewa kematian atau semacamnya, ya?”

Pria itu hanya diam atas pertanyaan Hana.

“Begini saja– biar adil,” kata Hana, lalu ia berdeham. Kemudian melanjutkan, “Gerhana Rembulan adalah namaku. Aku ini hantu, sudah meninggal sejak umur 10, makanya badanku kecil begini. Aku menerima dengan lapang kenyataan meninggalnya diriku. Tapi, yang kusesalkan sebelum mati belum tuntas, masih ada yang tak bisa kutinggalkan di sini.”

“Aku sudah. Sekarang gantian, siapa namamu?”

Pria itu menghela nafas panjang, sebelum akhirnya berkata, “Aku Sashin. Dan benar, seorang dewa kematian.” 

Setelah itu, sebuah tongkat panjang bersabit tajam muncul, tergenggam erat di tangan pria itu–Sashin. Aura hitam di sekitarnya juga semakin memekat. Aura kematian ....

Hana berkacak pinggang. “Kamu apakan badanku, Tuan Pencabut Nyawa?”


*


Aku bahagia karena bisa kembali menapakkan kaki di dunia ini, berdiri di samping kalian tanpa adanya tembok pembatas tinggi yang disebut perbedaan dimensi.

Namun, kalian sudah bukan orang yang dulu kukenal lagi ... dan ketika aku menyadarinya, ternyata aku telanjur tertinggal jauh di belakang.

Bodohnya aku yang masih berharap bahwa kalian akan memilih untuk berhenti sejenak dan menungguku yang berjalan dengan tertatih ini menyusul.

Ketika aku baru mulai mengenal cinta, saat itu pula aku menyadari kalau selamanya aku hanyalah teman untukmu.

Aku berbeda dengannya, yang mampu membuat jantungmu berdetak lebih cepat setiap bertemu pandang dengannya.

Aku dan dia bagaikan Bumi dan Langit, tak mungkin kamu akan melirikku — barang sedetikpun.

Melangkah mundur, menjauhi kalian yang telah bahagia dengan pilihan masing-masing. Itulah keputusanku, yang kini hanya bisa memandang dari kejauhan sembari tersenyum kecut.

Mungkin, selamanya aku hanyalah teman untukmu.

Namun, hati kecilku yang naif ini masih ingin menangkup harapan.

Saat tak lagi ada yang menemanimu, maukah kamu melihatku dan bersandar di pundakku, Railo?



Teman Untukmu

Gerhana Rembulan 



Komentar

  1. woooooww akhirnya ada ff Hana dari GD!!!

    BalasHapus
  2. selamat siang, kak shinaa~~ aku yang komen di atas. aku mau tanya, nih.. kenapa ya bulan kemarin kau komen tuh rasanya susah? Udah ditunggu lama tapi gak muncul-muncul gitu komennya, huhuhuhu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer