Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

Nocuous Path: 1. Terikat

 Meski dengan penerangan minim, di sana-sini tetap banyak orang yang menggoyangkan badan, diiringi dengan alunan musik disko yang berasal dari permainan lihai piringan hitam oleh sang DJ. Tiga hal tersebut lekat kaitannya dengan diskotek. Dan ... ya. Di situlah Yoon Ina berada saat ini. Seperti biasa.

Namun ketika ia sedang asyik berjoget ria, Ina merasakan paha kanannya bergetar. Getaran itu tentu saja berasal dari ponselnya yang ia letakkan di dalam saku celana.

Ibu: Pulanglah.

Pulang ... tentu maksud Ibu bukan pulang ke unit apartemen pribadinya. Melainkan ke rumah, tempat di mana ia dibesarkan dan tinggal hingga usia sembilan belas tahun.

Selama ini, ibunya tidak protes dan cenderung cuek dengan gaya hidupnya yang foya-foya. Semakin dipikir, sekujur tubuh Ina semakin bergetar hebat. Dan dirinya juga semakin. “Ibu, aku pulang ...,” lirihnya.

“Yoon Ina, besok kau akan menikah.”

“Maksud Ibu?”

“Kau pikir buat apa? Tentu saja untuk membayar permak dagumu ini,”

“Ibu, itu ofensif, tau!”

“Ofensif? Ofensif, kepalamu meleduk.”

“Sudah, pokoknya sekarang kau tidur saja yang nyenyak.”

“Oh iya. Jangan pernah berpikir untuk kabur.”


. . .


Sepanjang acara berlangsung, Ina tak henti-hentinya ternganga. Bagaimana tidak? Saat ini ia tengah mengalami hal-hal seperti drama yang biasa ditonton oleh teman-temannya.

“Mari kita 

“Mohon bantuannya, Nona Yoon Ina.” 

Auranya benar-benar menekan. “Eh ... baik, mohon bantuannya!”

Komentar

Postingan Populer