Langsung ke konten utama

Featured Post

Ashes Under the Aspen | Genshin Impact Fanfiction: MavuiTano / CapUika ( Mavuika x Capitano ) — America Colonization AU

    Hutan aspen di kaki Pegunungan San Juan tunduk pada kesunyian kala cahaya rembulan menyinari jagat. Dedaunannya berdesir pelan seperti desahan roh-roh tua bersahutan. Batang-batang putihnya menjulang bak jemari para dewa yang lupa bagaimana rasanya menyentuh bumi. Tahun di catatan sejarah telah menginjak angka 1908, rel kereta telah mulai menggigit pinggiran barat Colorado.  Sungai Arkansas mengalir lambat saat matahari terbenam, membelah tanah merah dan hutan pinus menjadi dua dunia yang tak pernah saling bicara. Di sisi timur berdiri kokoh kediaman keluarga Hadleigh, bangsawan kulit putih, pemilik tanah, pemegang kontrak dagang, dan peluru. Di sisi barat, di balik bayang-bayang pohon aspen, hidup suku Tetsune—para penjaga gunung, peramu hujan, dan pewaris bumi—jauh sebelum peta-peta dibuat. Kendati dunia luar sudah berubah mengikuti perkembangan zaman, masih ada satu sudut kecil yang belum terjamah modernisasi. Tempat itu tidak tergambar dalam peta manapun, tidak di...

Tethered Lamppost | Attack on Titan: EreMika ( Eren x Mikasa ) inspired by “Undressed” by Sombr

 Angin malam Paradis tak sekadar dingin. Ia menusuk dari sela hoodie usang Eren, oleh-oleh demo tahun lalu. Lengan bajunya sudah mulai renggang. Warna hitamnya luntur jadi kelabu. Sudah kusam dan ada beberapa lubang kecil di sana, tak membuat bungsu Yeager itu legawa memensiunkannya—Eren menyebutnya hoodie tempur.

Namun, bukan itu yang membuatnya menggigil. Dingin malam bukan apa-apa dibanding kesunyian aneh dalam dirinya yang bahkan ia sendiri tak bisa pecahkan.


Tong api dari sisa kardus bergoyang pelan, terseret angin. Percikan kecil meletup, lalu mati seketika. Tangan Eren tersembunyi dalam saku jaket windbreaker-nya, wajahnya setengah tertutup syal abu-abu yang bau asap.

Akan tetapi di tengah semua kerusuhan itu, matanya terpaku pada siluet Mikasa, yang duduk di pinggir, tak jauh dari Armin. Mereka membicarakan draft aksi besok. Tentu saja, Mikasa tidak sadar akan tatapan Eren. Atau mungkin pura-pura tidak sadar. 

Dia sedang duduk bersama Armin, mengobrol pelan tentang pembagian korlap. Sesekali ia membuka map berisi rencana aksi. Sesekali menulis ulang poin-poin tuntutan di buku kecilnya.

Eren tetap diam, meski pikirannya tidak. Dan ini bukan soal aksi. Bukan soal rektor. Bukan soal Paradis. Bukan soal dunia dan segala kebusukannya.

Ini soal sesuatu yang lebih sunyi daripada semua diam yang pernah mencoba bicara padanya.

Mikasa sempat menoleh. Sekilas.

Namun, segera Eren menghindar duluan.

Mikasa menoleh sekali lagi. Raut wajahnya campur aduk, sulit dibaca. Ia melangkah pelan, lalu duduk di samping Eren dengan tenang. Netra obsidiannya menyusuri setiap sudut muka Eren. 

Kendati tampilan nyentrik serba hitam-hitamnya, Mikasa si gadis alt pujaan hati Eren, bertanya dengan lembut, "Ada apa, Eren?"

Eren tak langsung menjawab.

Sejauh yang Eren ingat, Mikasa punya mimpi. Dunia yang lebih bersih. Hidup yang lebih utuh. Ia benci semua borok kehidupan ini. Saat itu, ia berceloteh tentang hidup nyaman yang bisa menjadi tempat pulang semua orang, jika saja bumi ini tidak dipenuhi orang korup seperti petinggi negara ini. 

Mimpi yang sejalan dengan mimpi besar Eren. 

Mimpi seorang gadis kecil yang hingga kini menjadi motivasinya mengambil jurusan ilmu politik. Terdengar cetek, tapi memang sanggup mengobarkan api dalam diri Eren untuk membenahi negerinya dari dalam.

Kala itu, setelah melontarkan angannya, sempat ia menoleh ke Eren, seolah bertanya: apa kamu tempatku pulang?

Tapi Eren tak tahu jawabannya.

Eren menggeleng pelan, menjawab bisu dengan helaan napas dari rokok elektriknya.

Mikasa terkekeh pelan, kemudian menyenderkan kepalanya pada bahu Eren.


Malam itu .... 

... Eren hanya merasa kehilangan sesuatu yang tak bisa ia namai, bahkan saat orang itu hanya berjarak beberapa sentimeter darinya.

Dan ia tak bisa menjawab.

Karena bagaimana mungkin ia menjadi tempat berpulang kalau dia sendiri sedang membakar semua jembatan pulang?


𓍯𓂃𓍙_⋆˚࿔


Teriakan pertama datang seperti letusan sunyi di tengah malam. Armin belum selesai menjelaskan strategi saat bau menyengat tiba-tiba menyeruak menusuk hidung.

Gas air mata.

Tenda seketika berubah jadi kekacauan.

Annie menjatuhkan map. Sementara Eren berdiri refleks, menoleh kiri-kanan, lalu mencengkeram lengan Mikasa untuk berdiri. Armin menyumpah tertahan sambil buru-buru meraih masker dan kacamata renangnya di kantong—standar siaga aksi versi Armin. 

Orang-orang mulai batuk, tersedak, menjerit, berlarian tanpa arah. Dalam kabut putih pekat yang menyebar cepat, suara langkah dan tembakan peluru menggema tak berujung.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Lalu mata Mikasa menangkapnya—percikan kilat dari sebuah moncong senapan, datang terlalu cepat, terlalu dekat. Arah peluru itu ....

Tubuh Mikasa bergerak sebelum pikirannya sempat mencerna. "Armin!" teriaknya.

Eren hanya sempat menoleh sekejap. Dalam sepersekian detik berikutnya, Mikasa mengayunkan tubuhnya, menjulurkan kakinya ke arah lintasan peluru. Denting logam dan daging yang koyak menyatu dalam suara sialan yang tak pernah ingin ia dengar lagi seumur hidupnya.

Darah.

Darah menyembur dari paha Mikasa. Ia sempat berusaha bertahan, tetapi akhirnya terhuyung, jatuh ke tanah. Dalam kondisi tubuh yang tak lagi bisa bergerak dan kesadaran yang lambat laun memudar, darah menyebar cepat di celananya.

Eren membeku sejenak, lalu berlari saat kesadaran kembali menghampirinya. "Mikasa!" Jeritannya bukan panik, tapi marah, takut, dan kehilangan sekaligus dalam satu tarikan napas.

Mikasa tidak menjawab.

Mikasa tidak bergerak.

Armin tercekat. "Tadi ... kalau aja dia nggak—aku..."

"Jangan, Armin." Suara Eren rendah, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk memotong penyesalan yang mulai menumpuk.

Dia membungkuk, mengangkat Mikasa dalam pelukannya. Kepalanya menunduk, napasnya berat. Darah masih terus menetes dari paha Mikasa. Tangan Eren gemetar.

"Maaf ... Mikasa ... maaf ...." Armin mengulang, entah pada siapa sebenarnya.






Mereka muncul dari balik kabut. Eren dengan Mikasa di pelukannya. Armin dengan wajah kacau.

Annie menoleh, matanya melebar. "APA-APAAN INI?!" Tangannya mencengkeram helm di pinggangnya. "Dua menit, Eren! DUA MENIT! AKU CUMA PERGI DUA MENIT ... DAN KALIAN ...!"

la menunduk, mulutnya terkatup. Napasnya berat. "... sial."

Tidak ada yang menjawab. Eren terus melangkah, tak menghiraukan. la bahkan tidak merasa berat. Eren hanya menunduk, berlari menerobos jalan setapak menuju jalan utama, menuju kendaraan, menuju rumah sakit. Yang ia tahu, Mikasa harus bertahan. 

Armin menyusul di belakang, sesenggukan.



𓍯𓂃𓍙_Ꮺ⋆˚࿔


Mikasa dibawa ke ruang operasi. Lampu putih menyilaukan, bau antiseptik menyengat. Suasana lorong sunyi, kecuali suara kaki suster dan mesin monitor di ujung koridor.

Eren duduk membungkuk, wajah tertutup kedua tangannya. Tangan dan hoodie-nya lengket oleh darah Mikasa yang mulai mengering. Armin duduk di sebelahnya, bungkam. Sementara Annie berdiri, bersandar ke dinding dengan tangan menyilang, wajahnya muram.

Suara langkah cepat menghentak di koridor panjang.

Levi Ackerman.

Langkahnya cepat dan tanpa basa-basi. Matanya menyapu lorong, lalu berhenti pada tubuh Eren yang membungkuk di ujung kursi. Ia berjalan tanpa henti, mempersempit jarak di antara mereka. Pandangannya tajam, tubuhnya tegang. Saat melihat Eren di ujung lorong, ia tak melambat. Lalu, sebelum siapapun sempat membuka mulut—

Bug!

Tinju Levi mendarat tepat di rahang Eren.

Eren terhempas ke lantai, terkejut, tak melawan. 

Levi mencengkeram kerah hoodie Eren. Ia berusaha menahan amarahnya agar tak meledak semua sekaligus, meski tatapan tajamnya tak bisa berbohong.

“Dari awal saya tahu ini ide buruk. Mikasa seharusnya tidak ada di dekat kamu.”

Eren terdiam, menunduk.

Annie dan Armin yang menjadi saksi pun hanya diam, tak memiliki kuasa untuk melerai, apalagi menegur.

Levi Ackerman, sebagai paman dan satu-satunya keluarga Mikasa tersisa, memilik lebih dari semua alasan yang dibutuhkan untuk menghajar seorang Eren Yeager saat ini. Terlepas dari segala embel-embel yang menyertai Eren. 

Meski status Eren sebagai keturunan dokter terkemuka dari Marley dan dirinya sebagai hakim yang taat kepada hukum Paradis, Levi tak segan kembali mendaratkan bogem mentah saat menemukan Eren kembali memasang raut sedih. la berteriak pada Eren, "Saya sudah yakin dari awal untuk tidak mempercayakan Mikasa kepada kau! Sialan kau, putra emas Yeager! Mikasa tidak apa-apa! Jangan bertingkah seperti Mikasa sudah hilang dari dunia ini! Keparat pengecut!"

Eren memandang Levi dari bawah. Tidak ada perlawanan. Tidak ada pembelaan. Hanya luka di wajah, dan lebih banyak luka di matanya.

“Tapi dia percaya dengan kau. Itu kesalahannya, ya?” Levi menarik napas. “Tapi sekarang lihat saya. Mikasa belum pergi. Dia belum mati.”

Namun, lagi-lagi Eren hanya bisa membisu.

Levi menggertakkan gigi. “Jangan duduk di sini seolah kau korbannya. Bangun, idiot. Kalau ini pengadilan, kau sudah kuvonis sejak awal.” 

Ia melepaskan Eren dengan dorongan kasar. “Kalau kau mau Mikasa tetap hidup, jangan jadi alasan dia terluka lagi.”


... dan lorong itu kembali sunyi.


𓍯𓂃𓍙_Ꮺ⋆˚࿔


Hari itu seharusnya jadi batas.


Akan tetapi, waktu tak pernah benar-benar menyembuhkan. Waktu hanya mengganti darah segar dengan luka lama.

Dan kini, entah berapa minggu setelah kejadian itu, mereka duduk di ruangan yang sama ... tapi tak lagi saling menjangkau.

Mikasa sesekali menatapnya, tapi cepat-cepat berpaling.

Ada jarak di sana. Bukan sekadar ruang. Bukan sekadar fisik. Tapi seolah ada dunia lain yang memisahkan mereka. 

Eren melihatnya—kilau samar di mata Mikasa, yang seolah ingin bicara, tapi tidak tahu harus dengan bahasa apa.


Armin berdiri, menghampiri Eren dengan cemas. “Kamu harus bilang, Ren. Kamu nggak bisa terus begini.”

“'Begini' gimana?” Eren menatapnya tajam, tapi suaranya masih terkendali.

“Jauh. Tertutup. Seolah kami semua... orang asing. Mikasa ... dia–” Armin berhenti saat Eren mencengkeram kerah kemeja flanelnya.

“Aku tahu dia. Aku tahu apa yang dia pikirkan, bahkan sebelum dia buka mulut, Armin!” bentaknya. “tapi dia tak pernah bilang, Armin. Tak pernah jujur!”


Mereka bertiga—Eren, Mikasa, dan Armin—telah bersama sejak dunia hanya sebatas taman bermain dan tangan mungil mereka masih belepotan tanah.

PG, TK, SD, SMP, SMA, bahkan kuliah pun masih dalam radius yang sama. Satu almamater.

Armin mengambil teknik kedokteran, Eren masuk ilmu politik, dan Mikasa menyelam dalam kriminologi.

Mereka tumbuh bersama.

Berjalan berdampingan melewati ujian matematika, luka jatuh dari sepeda, kegagalan cinta pertama, dan pemakaman orang tua.

Armin telah melihat Eren dan Mikasa dalam bentuk mereka yang paling utuh—dan paling hancur. Ia tahu seperti apa suara Eren saat menangis dan seperti apa wajah Mikasa saat patah hati, bahkan ketika keduanya pura-pura kuat di depan dunia.

Maka saat Armin menatap Eren sekarang, ia tahu. Kemarahan itu cuma tirai. Di baliknya, ada perasaan yang terlalu dalam untuk ditata dalam kata-kata.


Armin pun membalas tatapan itu dengan lirih, “Mungkin dia takut. Sama seperti kamu.”

Dan di situlah Eren meledak. “Bukannya takut, tapi aku muak.”

Suara Eren menggelegar, membuat beberapa pasang mata menoleh. “Aku muak harus jadi orang lain tiap kali dekat dia. Muak harus berpura-pura tenang, waras, jadi bocah kekanakan yang dia kenal dari kecil. Sementara tiap malam aku tidur dengan darah di tangan dan mimpi tentang dunia yang kubakar!”

Armin menggigit bibir. “Lalu kenapa kamu masih menatapnya seperti itu?”

Kalau aku bilang yang sebenarnya, aku akan kehilangan satu-satunya tempat yang masih membuatku tetap manusia.

Kendatipun, kalimat itu hanya bergema di kepalanya. Tidak dan tidak akan pernah keluar. Kalimat jujur itu, terlalu vulgar untuk diucap bagi hatinya.

Rangkaian kalimat tak berbalut kebohongan, hanya akan menelanjangi benteng ego Eren.

Bukan karena ia tak tahu rasanya, tapi karena jika ia jujur ....

... jika ia mengaku pada Mikasa,

bahwa ia mencintainya dengan cara yang tak bisa dijelaskan oleh pelukan, atau kata "teman," atau "keluarga" ....

... maka semuanya akan runtuh.


Hanya akan menghilangkan ....


... siapa sejatinya yang seumur hidup telah dikenal Mikasa.


𓍯𓂃𓍙_Ꮺ⋆˚࿔


Huh, lama tidak bertemu. Mikasa ....” sapa Eren dengan kecanggungan yang menyeruak ketara.

Sudah tiga bulan lamanya Mikasa menghindari Eren, maka sudah tiga bulan jua percakapan Armin dan Eren berlalu. Sejak saat itu, Eren kehilangan banyak waktu tidurnya memikirkan penuturan Armin. Semakin dipikir, menjadi semakin masuk akal pula omongannya di benak Eren. Setelah akhirnya alam mempertemukannya kembali dengan Mikasa, Eren merasa tak bisa membuang waktu sia-sia.

Mikasa menyapa balik Eren dengan rasa canggung yang tak kalah besar. “Eren ....”

Eren menyadari Mikasa sedang sibuk, ditambah buku-buku tebal yang dibawanya itu. Tapi Eren tak mau membuang waktu. Setelah memindahkan bawaan Mikasa ke tangannya, ia mengambil napas, lalu menggigit bibir. “Kalau kutanya ... akankah kamu jujur, Mikasa?”

Mikasa mengangguk pelan. Bagaimanapun, Mikasa menyadari mereka telah lama bertukar sebuah perasaan mutual. Ia tahu betul apa yang akan ditanyakan Eren kali ini. Sudah berkali-kali ia memikirkan kemungkinan ini, tapi masih saja ia tidak berani menjawabnya. 

“... bagiku kamu keluarga,” kata Mikasa akhirnya.

Kalimat itu jatuh seperti peluru tanpa suara. Dan dalam sekejap, dunia Eren kembali runtuh.


Kilau itu ....


padam.



Di dalam dirinya, sesuatu pecah. Tapi ia hanya mengangguk.

“Terima kasih jawabannya, Mikasa,” katanya lirih. Ia memejamkan mata, lalu menghela napas kasar.

Tak mau berlarut dalam kecanggungan, Eren mengalihkan pembicaraan. “Omong-omong, mau dibawa ke mana buku-buku ini? Banyak bener, haha!” ujar Eren dengan nada jenaka.

Mikasa mengalihkan pandangannya dari mata Eren, lalu menunjuk sebuah bangku di bawah pohon rindang. “Ke situ aja, Ren. Aku sedang menunggu teman juga.” 

Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan singkat dengan berselimut sunyi.





Begitu buku-buku Mikasa diletakkan di atas bangku, Eren merogoh kantong celananya, lalu memberikan dua lembar kertas kecil pada Mikasa. “Ini buatmu,” tuturnya berusaha terdengar lembut, “aku ada perlu, Mikasa. Aku pamit dulu, ya. Selamat menunggu temanmu itu!” 


Setelah memastikan Mikasa menerimanya, ia melangkah pergi. 


Mikasa hanya memandang punggung Eren yang semakin menjauh dengan tatapan nanar. Lalu dibukanya dua lembar kertas yang diletakkan Eren dalam genggamannya itu.

Dua buah kupon café kesukaan Mikasa.





Eren tidak ingin kembali. Tidak setelah kata “keluarga” dipilih dari sekian banyak kata yang bisa Mikasa ucapkan.


Karena kalau ia jujur ...

Dia tidak ingin jadi keluarga.

Dia tidak ingin hanya jadi keluarga.

Dia ingin jadi satu-satunya yang Mikasa panggil saat mimpi buruk datang.

Dia ingin jadi satu-satunya yang Mikasa cari... saat semua dunia runtuh.


Tapi sekarang ia hanya Eren.


Menara cahaya yang tumbang, pernah bersinar bagi banyak langkah. Kini ia hanya saksi bisu dari gelap yang tak lagi takut menyapa. Hanya sebatas bayang-bayang besi yang dilupakan malam. 


Pelita malang yang tak lagi bisa menerangi siapa pun.





 I don't wanna get undressed

For a new person all over again…

I don't wanna kiss someone else's neck

And have to pretend it's yours instead...


And I don't wanna learn another scent

I don't want the children of another man

To have the eyes of the girl I won't forget...


I won't forget.



𓍯𓂃𓍙_⋆˚࿔


END





﹌﹌﹌﹌﹌

BONUS


⸺ Lima Belas Tahun Kemudian

Langit senja menggantung malas di atas café kecil yang mereka sebut tempat reuni. Armin duduk dengan tangan bertumpu pada gelas Americano-nya yang sudah dingin, sekali-sekali memandangi Sasha dan Connie yang sedang menertawakan Jean. Sementara itu, Bertholdt mengangkat gelas mocktail-nya untuk toast yang tak jelas maksudnya.

Mikasa tidak bicara banyak sore itu. Ia datang tanpa siapa-siapa—hanya dirinya dan setelan kerja berwarna krem yang terlalu rapi untuk acara santai seperti ini. Rambutnya kini digulung rendah, bibirnya masih sama pucat, tapi ... matanya berbeda. Seperti sudah selesai menunggu.

Lalu seseorang membuka pintu café.

Langkah itu asing tapi juga ... tidak. 

Seolah dilahirkan kembali dari kenangan buruk dan mimpi paling sunyi yang pernah dimiliki ruangan itu. Armin membeku. Mikasa tak langsung menoleh, tapi ia tahu.

Eren.

Ia lebih kurus. Lebih dingin. Tidak ada lagi hoodie belel atau jas almamater kampus tempat mereka dulu berdiskusi soal kapitalisme dengan suara separuh emosi, separuh candaan. Yang ada hanyalah pria bertubuh tegap dengan jas hitam sederhana dan wajah yang terlalu tenang untuk seseorang yang pernah membentak dunia.

Di tangannya, ada sesuatu yang mereka kira tidak akan mereka dapatkan dari Eren, terlebih setelah ketidakhadirannya di pernikahan Mikasa lalu. Satu hal yang tidak siap mereka lihat: undangan pernikahan.


Dengan nama pengantinnya tertulis jelas, Eren Yeager & Historia Reiss.


Sasha menjatuhkan sendok. 

Connie tersedak.


Tidak ada yang tahu harus bilang apa.


Mikasa menatap undangan itu sebentar. Lama. Tapi tidak menyentuhnya. 

Senyumnya kecil. Tidak pahit. Tidak juga manis. Hanya ... sadar.


Bahwa luka bisa berubah jadi jaringan parut, tapi tak pernah hilang benar-benar.

Eren berdiri cukup lama di ambang pintu. Tidak meminta maaf, tidak minta diundang kembali masuk ke dalam hidup mereka. Ia hanya menunduk sedikit—seolah ingin bilang terima kasih, maaf, dan selamat tinggal ... dalam satu tarikan napas yang tidak terucap.

Dan ketika ia pergi lagi ....

... tak seorang pun menahannya.

Karena bagaimana bisa kau menahan sesuatu yang sudah lama menghilang bahkan sebelum pergi?

 𓍯𓂃𓍙_⋆˚࿔

Malam itu, Mikasa memandang kosong ke arah pintu yang telah tertutup kembali.

Ia tidak menangis.

Tidak menyesal.

Hanya menyadari, bahwa pada akhirnya ....

...beberapa orang memang tidak diciptakan untuk saling memiliki.

Mereka hanya diberikan cukup waktu untuk saling menyakiti, agar hidup terasa lebih nyata.


﹌﹌﹌﹌﹌

♯┆song of the day  .ᐟ 



Komentar

Postingan Populer