Langsung ke konten utama

Featured Post

Ashes Under the Aspen | Genshin Impact Fanfiction: MavuiTano / CapUika ( Mavuika x Capitano ) — America Colonization AU

    Hutan aspen di kaki Pegunungan San Juan tunduk pada kesunyian kala cahaya rembulan menyinari jagat. Dedaunannya berdesir pelan seperti desahan roh-roh tua bersahutan. Batang-batang putihnya menjulang bak jemari para dewa yang lupa bagaimana rasanya menyentuh bumi. Tahun di catatan sejarah telah menginjak angka 1908, rel kereta telah mulai menggigit pinggiran barat Colorado.  Sungai Arkansas mengalir lambat saat matahari terbenam, membelah tanah merah dan hutan pinus menjadi dua dunia yang tak pernah saling bicara. Di sisi timur berdiri kokoh kediaman keluarga Hadleigh, bangsawan kulit putih, pemilik tanah, pemegang kontrak dagang, dan peluru. Di sisi barat, di balik bayang-bayang pohon aspen, hidup suku Tetsune—para penjaga gunung, peramu hujan, dan pewaris bumi—jauh sebelum peta-peta dibuat. Kendati dunia luar sudah berubah mengikuti perkembangan zaman, masih ada satu sudut kecil yang belum terjamah modernisasi. Tempat itu tidak tergambar dalam peta manapun, tidak di...

The Umbrellas We Never Share Again | Genshin Impact Fanfiction: Kamisato Ayato x Yae Miko

  Hujan deras mengguyur Inazuma malam itu. Yae Miko berdiri di beranda Kuil Agung Narukami, menatap hujan yang jatuh tanpa henti. Gemuruh petir bersahutan di kejauhan, tapi tak ada yang lebih gaduh dari pikirannya sendiri.

Selama ini, ia selalu sendiri. Ia terbiasa menghadapi badai tanpa perlindungan, tersenyum angkuh pada petir yang menyambar. Tetapi kali ini rasanya berbeda.

Langkah kaki di belakangnya terdengar jelas meski hujan berisik. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.

"Kau berdiri di sini lagi," suara Kamisato Ayato terdengar lembut. "Miko, kau tahu betul hujan seperti ini tidak baik untukmu."

Miko tersenyum miring, tetap menatap ke depan. "Oh? Sejak kapan Komisaris Yashiro peduli apakah aku kehujanan atau tidak?"

Ayato tidak menjawab dengan kata-kata. Sebagai gantinya, ia membuka payung hitamnya, lalu dengan tenang berdiri di samping Miko, menaungi mereka berdua dari hujan.

Miko mendongak sedikit, tatapannya setengah geli, setengah terpana. "Payung?"

"Aku tahu kau tidak suka berteduh, tapi setidaknya izinkan aku menunggumu di sini." Ayato menoleh, matanya yang biasanya penuh kelicikan kini tenang. "Kau tidak harus menghadapi semuanya sendirian, Miko."

Untuk pertama kalinya, Yae Miko kehilangan kata-kata.


⛈ ּ ֶָ֢.𓂃☂♡


   Hujan terus turun, menyelimuti mereka dalam kesunyian yang anehnya nyaman. Tiap rintikannya menari di atas atap kuil dan membasahi tangga batu. Ayato tetap berdiri di sana, tak bergeming meski angin berembus kencang. Payung hitamnya tetap kokoh, melindungi Miko dari derasnya hujan.

Yae Miko meliriknya, ekspresi wajahnya sulit ditebak. "Kamisato Ayato," ia menyebut nama pria itu dengan nada lembut tetapi tetap saja menyiratkan penekanan, "Kau tahu betul aku tidak suka merasa … dilindungi."

Ayato hanya tersenyum tipis, seakan sudah memperkirakan jawaban itu. "Aku tidak melindungimu, Miko. Aku hanya memastikan kau tidak sendirian."

Yae Miko menyipitkan mata. "Ucapan manis. Kau mulai terdengar seperti Thoma."

"Aku tersinggung," Ayato terkekeh pelan. "Setidaknya berilah aku pujian lebih dari seorang pelayan."

Miko mendesah dramatis, lalu menoleh ke langit kelam. "Apa kau tidak takut, Ayato?"

"Takut akan apa?"

"Bahwa suatu hari nanti, aku akan menjadi badai yang menghancurkanmu," kata Miko, suaranya nyaris tenggelam dalam suara hujan. 

Ayato menoleh pada Miko, lalu mengerjapkan mata beberapa kali. Matanya menatap lurus ke mata Miko, tapi akhirnya terbahak; menganggap apa yang baru saja dilontarkan wanita itu lucu dan menggelikan. Tetapi semakin lama Ayato meneliti air muka Miko yang semakin serius, semakin memudar pula tawa di mulutnya.

"Aku tidak selalu berada di sisi yang aman, kau tahu itu," ujar Miko lagi.

Angin bertiup lebih kencang, membawa aroma tanah basah dan bunga sakura yang berguguran. Ayato tidak segera menjawab, matanya menatap Miko dengan ketenangan khas seorang Kamisato.

"Kau bisa jadi badai," katanya akhirnya, "tapi aku tidak akan lari."

Miko tertawa kecil, tapi ada sesuatu di matanya—sesuatu yang nyaris rapuh. "Kau bodoh."

"Aku hanya memastikan bahwa saat kau menghadapi hujan, aku ada di sini, memegang payung untukmu."

Miko terdiam.

Dulu, ia terbiasa berdiri sendiri di tengah hujan, membiarkan dinginnya menusuk kulitnya. Ia tahu bagaimana rasanya dikhianati, ditinggalkan, kehilangan orang-orang yang pernah berjanji akan selalu ada.

Tapi Ayato?

Ia tidak bergerak. Ia tetap berdiri di sana, di sisinya.

Di bawah payung yang sama.


⛈ ּ ֶָ֢.𓂃☂♡



  Langit malam di Inazuma berpendar keunguan, tersapu kilatan petir yang sesekali menyambar di kejauhan. Dari balkon Kuil Agung Narukami, Yae Miko menatap ke bawah, ke arah kota yang bermandikan cahaya lentera. Hujan deras mengguyur tanpa henti, membasahi atap-atap dan jalanan batu yang berkilau di bawah sinar lampu.

Di suatu tempat di antara kerlip cahaya itu, ada seseorang yang pernah berdiri di sampingnya, memegang payung hitam dengan tangan yang masih terasa hangat.


"Aku tidak mengerti kenapa aku selalu ke sini saat hujan," Ayato menghela napas, menyesuaikan genggamannya pada gagang payung yang melindungi mereka dari rinai malam.

Miko menyeringai, matanya berbinar penuh godaan. "Karena kau terlalu baik untuk membiarkan seorang miko kehujanan, mungkin?"

"Aku akan mengatakan ini demi menjaga harga diriku," Ayato terkekeh, "Aku hanya mencari tempat yang tenang untuk berpikir."

"Tentu saja," Miko menanggapi dengan nada main-main. "Komisaris muda kita kewalahan, rupanya?"

"Aku?" Ayato menoleh dengan ekspresi yang dibuat dramatis. "Tidak mungkin."

Tawa kecil lolos dari bibir Miko. Di sela-sela gemuruh hujan, ada sesuatu dalam keheningan mereka yang terasa nyaman—sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh dua orang yang terbiasa menyembunyikan diri mereka di balik senyum dan kata-kata licin.

Sesaat kemudian, Ayato melirik ke langit sebelum berkata santai, "Ngomong-ngomong soal sesuatu yang terlihat kuat tapi sebenarnya lemah … kau tahu onikabuto?"

Miko mengerjap. "Serangga yang sering dimainkan Arataki Itto itu?"

Ayato mengangguk, senyum samar menghiasi wajahnya. "Mereka sebenarnya tidak agresif. Hanya terlihat garang dari luar, tapi terlalu lamban untuk bertarung dengan serangga lain. Itulah kenapa mereka sering kalah di alam liar."

Miko mengangkat alisnya. "Jadi kau ingin mengatakan bahwa Itto mengidentifikasi dirinya dengan serangga yang selalu kalah?"

"Aku kira begitu," Ayato terkekeh, matanya berbinar. "Tapi dia tetap menikmatinya, jadi biarlah. Aku hanya berpikir… beberapa hal tampak mengancam dari luar, padahal sebenarnya tidak."

Keheningan menggantung di antara mereka, diiringi suara rintik hujan yang jatuh di payung hitam.

Miko menoleh pelan, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Apa kau sedang bicara tentang dirimu sendiri, Ayato?"

Pria itu menatapnya sejenak sebelum tersenyum seperti biasa—senyum seorang Kamisato yang terlalu halus untuk ditebak. "Mungkin."



Kilatan petir menerangi kediaman Klan Kamisato di kejauhan, memantulkan bayangan seorang pria yang berdiri di balik jendela. Tidak ada lagi tawa ringan yang memenuhi malam-malam hujan, tidak ada lagi payung hitam yang dibagi berdua.

Dulu, Ayato berbicara tentang onikabuto dengan nada ringan. Sekarang, ia adalah rubah yang lebih berbahaya dari seekor kitsune.

Miko tersenyum miring, meski hatinya tidak ikut tersenyum.

Dulu, ia berdiri di sampingnya. Sekarang, ia telah menjadi badai itu sendiri.









⛈ ּ ֶָ֢.𓂃☂♡

❒︎ BONUS!

    Lorong kuil sunyi ketika Yae Miko melewatinya, hanya diiringi suara hujan yang mengetuk jendela. Ia melewati lorong panjang yang diterangi lentera, jejak kakinya nyaris tak bersuara di atas lantai kayu yang licin. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar sesuatu; sebuah suara samar, begitu pelan hingga hampir terserap dalam bunyi rintik hujan.

"Masih terjaga, Miko?"

Punggungnya menegang sepersekian detik, sebelum ia berbalik dengan ekspresi netral. Di sudut ruangan, di tempat seharusnya tidak ada siapa-siapa, seorang pria berdiri dalam bayangan. Setengah wajahnya tersapu cahaya lentera, menampilkan senyum 'ramah' yang begitu familiar, tapi kini lebih sulit ditebak. 


Kamisato Ayato.


Miko menatapnya sejenak sebelum berdecak kecil. "Tsk. Masih suka muncul tanpa diundang rupanya, Komisaris Kamisato?"

Ayato melangkah pelan mendekat, seperti angin yang menyelinap tanpa suara. "Aku kebetulan sedang lewat. Sayang sekali jika tidak menyempatkan diri untuk menyapa seorang teman lama."


"Teman lama?" Miko mendengus. "Sejak kapan aku sekadar itu bagimu?"


Tanpa menjawab, Ayato meraih sebuah cangkir kosong di meja teh, membolak-baliknya seolah mempertimbangkan sesuatu.

"Ngomong-ngomong, ramen buatanmu masih enak?" tanyanya tiba-tiba, mengabaikan topik sebelumnya begitu saja.

Miko mengerjap, sedikit terkejut dengan perubahan arah pembicaraan yang mendadak. "Hah? Dari mana datangnya pertanyaan itu?"


"Aku lapar." Ayato tersenyum kecil, seolah itu jawaban yang paling masuk akal.


Miko mendesah, melipat tangan di depan dada. "Jangan bilang kau menyelinap ke sini hanya untuk meminta ramen gratis?"


"Itu akan jadi alasan yang cukup bagus, bukan?" Ayato menatapnya penuh arti.


Miko menghela napas panjang sebelum berbalik menuju dapur kuil. "Tsk. Aku seharusnya mengusirmu, tapi karena kau sudah di sini .…"


Ayato mengikuti langkahnya dengan tenang, memperhatikan bagaimana Miko mulai menyiapkan bahan-bahan dengan gerakan yang anggun tapi efisien. Uap perlahan naik dari panci, aroma kuah kaldu memenuhi ruangan.

Ia bersandar pada ambang pintu, matanya mengamati setiap gerakan Miko—dari cara tangannya mengaduk kuah hingga bagaimana ia dengan santai mencicipi rasanya sebelum menambahkan sedikit garam.

"Kau terlihat tenang saat memasak," Ayato berkomentar.


Miko tidak menoleh. "Oh? Apa aku tidak terlihat tenang di waktu lain?"


"Kau selalu tampak seperti seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang kau katakan," Ayato mengangkat bahu. "Tapi sekarang, kau hanya seseorang yang membuat ramen."


Miko tertawa kecil. "Lalu bagaimana denganmu? Apakah Kamisato Ayato yang berdiri di sini hanyalah seseorang yang ingin makan ramen?"


Ayato tidak menjawab langsung. Ia hanya menatapnya, senyumnya samar—halus seperti hujan yang mulai mereda.

Ketika akhirnya semangkuk ramen disodorkan ke hadapannya, ia menerimanya tanpa berkata-kata. Tapi sebelum mengambil sumpit, ia menatap Miko sebentar dan berkata pelan,

"Terima kasih."


"Untuk apa? Ramen? Atau yang lain?"

Ayato tidak menunjukkan reaksi yang jelas. Matanya yang tajam mengamati setiap detail di sekitarnya, seolah menilai sesuatu yang tidak ia ucapkan. "Aku mendengar kau berdiri cukup lama di balkon," katanya akhirnya, nada suaranya ringan. "Melihat hujan … atau melihat sesuatu yang lain?"

Miko tidak menjawab. Ayato sukses membalikkan pertanyaannya tadi.

Untuk sesaat, hanya ada suara hujan yang mengetuk jendela dan desiran halus dari pakaian Ayato saat ia bergeser, mendekati meja teh di ruangan itu. Ia mengambil sebuah cangkir kosong, membolak-baliknya seolah tengah mempertimbangkan sesuatu.

"Kau tahu," lanjutnya, "hujan seperti ini mengingatkanku pada satu hal."


Miko menyipitkan mata. "Jangan bilang kau akan membicarakan onikabuto lagi."


Senyum Ayato melebar sedikit—tidak cukup untuk menjadi hangat, tapi cukup untuk membuatnya tampak seperti pria yang sedang menikmati permainan. "Tentu tidak."

Ia meletakkan kembali cangkir itu, kemudian menoleh, matanya bertemu langsung dengan Miko. "Aku hanya berpikir… beberapa hal yang dulu tampak tidak berbahaya, ternyata menyimpan bahaya yang tersembunyi."


Miko tersenyum miring, merasa tantangan terselip dalam kata-kata itu.

"Lucu," katanya. "Aku baru saja berpikir hal yang sama."

Ayato tertawa pelan, lalu melangkah ke ambang pintu. "Maka kita sudah banyak belajar, bukan?"


Hujan masih deras, menyelimuti seluruh Inazuma dalam tirai air yang dingin. Di tengah lebatnya hujan turun, dengan guntur berkecamuk di antaranya, pria itu akhirnya menghilang dalam bayangan, meninggalkan sisa kehadiran yang nyaris tak terasa—bak jejak air hujan yang perlahan mengering.





⛈ ּ ֶָ֢.𓂃☂♡
Thanks for reading .

Komentar

Postingan Populer