Langsung ke konten utama

Featured Post

Ashes Under the Aspen | Genshin Impact Fanfiction: MavuiTano / CapUika ( Mavuika x Capitano ) — America Colonization AU

    Hutan aspen di kaki Pegunungan San Juan tunduk pada kesunyian kala cahaya rembulan menyinari jagat. Dedaunannya berdesir pelan seperti desahan roh-roh tua bersahutan. Batang-batang putihnya menjulang bak jemari para dewa yang lupa bagaimana rasanya menyentuh bumi. Tahun di catatan sejarah telah menginjak angka 1908, rel kereta telah mulai menggigit pinggiran barat Colorado.  Sungai Arkansas mengalir lambat saat matahari terbenam, membelah tanah merah dan hutan pinus menjadi dua dunia yang tak pernah saling bicara. Di sisi timur berdiri kokoh kediaman keluarga Hadleigh, bangsawan kulit putih, pemilik tanah, pemegang kontrak dagang, dan peluru. Di sisi barat, di balik bayang-bayang pohon aspen, hidup suku Tetsune—para penjaga gunung, peramu hujan, dan pewaris bumi—jauh sebelum peta-peta dibuat. Kendati dunia luar sudah berubah mengikuti perkembangan zaman, masih ada satu sudut kecil yang belum terjamah modernisasi. Tempat itu tidak tergambar dalam peta manapun, tidak di...

Skyfall: For This Is The End | Serena 세레나 "What If" Fanfiction | Skyfall Songfiction

  Hujan turun seperti ratapan langit, membasahi reruntuhan kejayaan Kediaman Serenity. Lebat, dingin, dan tak kenal ampun.

Di luar, langit retak oleh gemuruh guntur, menyapu kota yang masih berdenyut dalam cahaya redup. Di dalam, suasana terasa jauh lebih sunyi, tetapi kehampaan itu jauh lebih menyakitkan dibanding suara petir yang meraung di kejauhan.

Pilar-pilar yang dulunya berdiri megah kini mulai retak, dindingnya kehilangan kemewahan yang pernah memikat siapa pun yang memasukinya. Lorong-lorong yang dulu ramai dengan tamu kini sunyi, hanya dihuni oleh bayangan kesepian.

Serena berdiri di tengah ballroom yang kosong, suara hujan menggema dari langit-langit tinggi. Langkah-langkahnya terdengar hampa saat ia melangkah menuju jendela besar, tempat ia dulu sering menghabiskan malamnya. Tangannya menyentuh kaca yang dingin, menatap bayangan dirinya yang memudar dalam cahaya remang.

Dia sendirian.

Dia benar-benar sendirian sekarang.

"This is the end …"


Grayon menang.


Serenity tidak lagi menjadi lambang kebanggaan keluarga Serenity, tidak lagi menjadi tempat berlindung bagi mereka yang mencari kehangatan di balik dindingnya. Semua ini adalah permainan licik yang telah dirancang dengan sempurna—satu demi satu, asetnya dirampas, reputasinya dihancurkan, dan akhirnya … semuanya runtuh.


Tidak ada yang tersisa.


Tidak ada yang kembali.


Dan Eiser .…


Serena menutup matanya.


Bayangan pria itu masih melekat di pikirannya—sosok tegap yang pernah berdiri di sisinya, dengan tatapan kelabu yang selalu sulit ditebak. Dia tidak mengatakan apa pun saat semuanya mulai runtuh, tidak berjanji bahwa dia akan tetap tinggal, tetapi juga tidak segera pergi.

Namun, pada akhirnya, dia pergi juga.

Let the sky fall ... when it crumbles, we will stand tall, and face it all together.”

Kata-kata itu terasa seperti kebohongan sekarang.

Karena saat Serena membuka matanya lagi, yang ada di sana hanyalah bayangannya sendiri.

Hujan semakin deras, menciptakan pola-pola tak beraturan di kaca. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan gemetar yang perlahan mulai merambati jari-jarinya.

“Jadi begini akhirnya,” bisiknya, suaranya nyaris tidak terdengar di tengah gemuruh badai.

Tapi kemudian, suara langkah kaki terdengar dari belakang.

Serena membeku.

Hatinya berdegup lebih kencang, tetapi ia tidak berani berbalik. Tidak berani berharap.

Karena jika ia berbalik dan mendapati dirinya masih sendirian .…

ia tidak yakin apakah ia bisa menerima kenyataan itu.

Namun, suara itu semakin dekat. Hangat, familiar.


“Serena.”


Suaranya terdengar serak, lebih dalam dari yang ia ingat.


Serena menutup matanya sekali lagi sebelum akhirnya berbalik.

Dan di sana, berdiri di ambang pintu dengan rambut basah dan pakaian yang tampak lelah oleh perjalanan panjang, adalah Eiser.


Tatapan mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya dalam sekian lama, Serena merasakan sesuatu yang hampir ia lupakan.

Sebuah harapan kecil, teramat kecil.


Serena berdiri di depan jendela besar, matanya menatap butiran air yang mengalir turun di kaca seperti garis-garis nasib yang tak bisa ia kendalikan. Angin malam berembus dari celah jendela yang sedikit terbuka, membuat gaun tidurnya berkibar lembut di sekitar kakinya. Ia tidak bergerak, seakan takut jika ia berbalik, kenyataan akan jatuh terlalu keras di hadapannya.

Di belakangnya, Eiser berdiri diam, sosoknya tegak seperti patung yang terpahat dalam kesunyian. Bayangannya membaur dengan temaram ruangan, tetapi kehadirannya selalu terasa, seperti luka lama yang tak kunjung sembuh.

"This is the end .…"

“Kenapa kau masih di sini?” suara Serena terdengar pelan, hampir tenggelam dalam suara hujan.

Eiser mengangkat wajahnya, matanya yang kelabu menatap punggung Serena dengan sorot yang sulit dijelaskan—bukan kemarahan, bukan kebencian, tetapi sesuatu yang jauh lebih kompleks dan menyakitkan.

“Kau tahu jawabannya,” katanya akhirnya.

Serena tersenyum miris, meski ia tahu Eiser tak bisa melihatnya. “Kau bisa pergi kapan saja. Tidak ada yang menahanmu.”


“Aku tahu.”


“Tapi kau tetap bertahan.”


Eiser tidak menjawab.


Serena akhirnya berbalik, dan di sana, di bawah sorot lampu yang temaram, ia melihat pria itu berdiri dengan ekspresi yang tidak bisa ia baca sepenuhnya. Eiser selalu seperti itu—terlalu tenang, terlalu sulit ditebak, tetapi selalu ada dalam diam yang menyiksanya.

“Mengapa?” Serena bertanya, matanya mencari sesuatu di wajah pria itu, sesuatu yang bisa ia pegang, sesuatu yang bisa ia yakini.

Eiser menarik napas panjang sebelum akhirnya melangkah mendekat. Tidak ada lagi jarak di antara mereka selain udara yang dipenuhi dengan kata-kata yang tidak pernah terucapkan.

“Kau ingin tahu kenapa?” suaranya rendah, serak, nyaris seperti bisikan. “Karena aku tahu jika aku pergi … tak akan ada yang kembali untukmu.”


Serena merasakan sesuatu mencengkram hatinya dengan erat.


"Where you go, I go. What you see, I see."


Mata mereka bertemu, dan dalam sorot kelabu Eiser, Serena melihat sesuatu yang selalu ia takuti—bahwa di balik semua pertengkaran mereka, di balik semua luka yang mereka bagi, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih nyata, lebih menyakitkan daripada sekadar kebencian.


Ada perasaan yang tidak pernah mereka berani akui.


Serena menelan ludah. “Apa itu artinya kau .…”


Eiser menyela sebelum Serena bisa menyelesaikan pertanyaannya, “Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.”


Serena terdiam. Ia tidak tahu apakah itu adalah jawaban yang ingin ia dengar. Jika Eiser mengatakan tidak, semuanya akan lebih mudah. Jika Eiser mengatakan iya .…


Maka segalanya akan menjadi jauh lebih sulit.


Langit jatuh di luar sana.


Tetapi yang terasa runtuh adalah sesuatu di dalam dirinya.


Hujan masih turun, menyapu Kediaman Serenity seperti waktu yang tak bisa dihentikan. Dan di dalam ruangan itu, dua hati yang terluka tetap berdiri dalam kebisuan—bersama, tetapi tidak benar-benar memiliki satu sama lain.

Langit mungkin telah jatuh, tetapi mungkin … hanya mungkin … mereka masih bisa berdiri di bawahnya.

Mungkin inilah takdir mereka. Untuk saling mencintai dalam diam, untuk saling menahan dalam kehancuran.


Untuk tetap bersama … meski di bawah langit yang jatuh.









Presenting, today’s source of inspiration:


Adele — Skyfall


Komentar

Postingan Populer