Langsung ke konten utama

Featured Post

Ashes Under the Aspen | Genshin Impact Fanfiction: MavuiTano / CapUika ( Mavuika x Capitano ) — America Colonization AU

    Hutan aspen di kaki Pegunungan San Juan tunduk pada kesunyian kala cahaya rembulan menyinari jagat. Dedaunannya berdesir pelan seperti desahan roh-roh tua bersahutan. Batang-batang putihnya menjulang bak jemari para dewa yang lupa bagaimana rasanya menyentuh bumi. Tahun di catatan sejarah telah menginjak angka 1908, rel kereta telah mulai menggigit pinggiran barat Colorado.  Sungai Arkansas mengalir lambat saat matahari terbenam, membelah tanah merah dan hutan pinus menjadi dua dunia yang tak pernah saling bicara. Di sisi timur berdiri kokoh kediaman keluarga Hadleigh, bangsawan kulit putih, pemilik tanah, pemegang kontrak dagang, dan peluru. Di sisi barat, di balik bayang-bayang pohon aspen, hidup suku Tetsune—para penjaga gunung, peramu hujan, dan pewaris bumi—jauh sebelum peta-peta dibuat. Kendati dunia luar sudah berubah mengikuti perkembangan zaman, masih ada satu sudut kecil yang belum terjamah modernisasi. Tempat itu tidak tergambar dalam peta manapun, tidak di...

A Battle Beneath The Darkened Sky

      Di sebuah zaman yang terlupakan, jauh sebelum dunia seperti yang kita kenal, ada sebuah gunung suci yang berdiri kokoh di batas antara dunia manusia dan alam yang lebih tinggi. Di tempat ini, di mana langit selalu berwarna kelam, dan tanah menyimpan kisah-kisah dari zaman kuno, dua dewa dengan takdir yang tak terelakkan dipertemukan oleh waktu.

      Konon, setiap langkah mereka meninggalkan jejak yang akan dikenang oleh seluruh alam semesta. Dulu mereka adalah sekutu, dua kekuatan yang saling melengkapi, namun perjalanan hidup membawa mereka ke jalan yang berbeda. Masing-masing memegang kekuatan yang luar biasa, yang mampu mengguncang langit dan bumi. Mereka telah melalui banyak ujian, tetapi kali ini, ujian mereka adalah pertarungan yang akan menentukan siapa yang benar-benar menguasai dunia yang tersembunyi di antara bintang-bintang.

     Malam itu, saat langit mendung dan angin berhembus dingin, tanah bergoyang di bawah kaki mereka. Sebuah pertempuran yang telah lama diprediksi akan terjadi, sebuah benturan antara dua kekuatan yang tak bisa lagi dihindari. Mereka berdiri di tengah medan itu, bukan hanya sebagai musuh, tetapi sebagai dua jiwa yang telah saling mengerti, bahkan dalam perbedaan yang memisahkan mereka.

     Seperti kisah-kisah lama yang diceritakan oleh orang-orang bijak, kisah ini akan menjadi legenda. Kisah tentang dua dewa yang berdiri di ujung dunia, memegang tombak mereka yang telah teruji oleh waktu. Dan malam itu, dalam kilatan petir yang menyambar, nasib mereka akan terungkap.

      Langit gelap menyelimuti medan pertempuran di kaki gunung suci, tempat yang terpisah dari dunia fana. Dua sosok berdiri dengan teguh di tengah medan itu, masing-masing memegang tombak mereka — tanda kekuatan, namun juga simbol perjalanan panjang yang telah mereka tempuh bersama.

      Di tengah malam yang kelam, hanya gemuruh petir yang terdengar mengiringi pertempuran antara dua dewa. Di lembah yang sunyi, tanah bergetar dan langit mengancam dengan kilatan petir yang melintas, menciptakan bayang-bayang yang menari-nari di antara dua sosok yang berdiri menghadapi satu sama lain.

      Beelzebul, sang Dewi Petir dan Keabadian yang baru, berdiri tegak dengan tombaknya yang berkilau. Wajahnya yang penuh tekad memancarkan kepercayaan diri yang kuat, namun di balik tatapan tajamnya, ada perasaan yang lebih dalam. Beelzebul tahu betul bahwa pertarungan ini bukan hanya untuk membuktikan kekuatan, melainkan juga untuk menguji hubungan mereka, untuk mengetahui apakah kata-kata yang selama ini ia pendam bisa diungkapkan dalam aksi.

      Morax, Dewa Tanah dan Kontrak, berdiri dengan tenang. Tombaknya, terbuat dari batu yang kokoh, bersinar lembut di bawah cahaya rembulan yang redup. Meskipun ia tak pernah menunjukkan emosi secara berlebihan, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa tidak stabil—sebuah ketegangan yang membungkusnya setiap kali ia berhadapan dengan Beelzebul. Meskipun ia tahu bahwa Beelzebul adalah muridnya, ada perasaan yang lebih dari itu—perasaan yang tak bisa ia jelaskan.


Beelzebul, meskipun sering terkesan seperti sosok yang angkuh dan penuh ego, sebenarnya memiliki rasa tidak puas yang mendalam terhadap cara Morax memimpin. Beelzebul percaya bahwa Morax terlalu terikat pada prinsip-prinsip lama, prinsip yang menurutnya sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan dunia yang mereka hadapi sekarang.

     Beelzebul merasa bahwa Morax telah gagal dalam melihat potensi kekuatan yang dapat mereka capai jika mereka mengambil jalur yang lebih radikal. Kecewa dengan sikap Morax yang selalu mempertahankan status quo, Beelzebul merasa perlu untuk menguji sejauh mana prinsip-prinsip tersebut mampu bertahan di hadapan kekuatan yang lebih besar — dirinya sendiri. Dalam pandangannya, kekuatan itu adalah segala-galanya, dan dia ingin menunjukkan kepada Morax bahwa ada jalan lain yang lebih cepat, lebih berani, meskipun berisiko.

    Selain itu, ada perasaan pribadi yang menggerogoti Beelzebul. Ia merasa Morax lebih dihormati dan disegani oleh para dewa lain, sementara dirinya sering dianggap sebagai sosok yang lebih impulsif dan kurang memiliki tempat. Duel ini bukan hanya sekadar pertarungan fisik, tetapi juga pertarungan untuk pengakuan dan dominasi di antara para dewa, sesuatu yang telah lama direncanakan dalam diam oleh Beelzebul.

     Dengan mengajak Morax bertarung, Beelzebul berharap bisa menghancurkan ketenangan yang dibangun oleh sang pemimpin dan menunjukkan bahwa kekuatan baru dan segar lebih layak untuk memimpin.

     “Morax!” Suara Beelzebul menggema, penuh tantangan, "Aku ingin tahu seberapa kuat dirimu. Aku ingin menguji sejauh mana kekuatanmu bisa menahan petir ini."

      Morax memandang Beelzebul dengan tenang, meskipun hatinya sedikit bergetar. "Beelzebul, kamu tidak perlu lagi membuktikan apapun. Kita sudah saling mengenal, dan kamu sudah cukup kuat."

      Beelzebul menyeringai, sedikit sinis. “Kamu selalu menghindar, Morax. Kamu pikir aku hanya sekadar muridmu yang tak tahu apa-apa? Atau kamu hanya terlalu takut untuk melihatku mengalahkanmu?” Tombaknya berkilau, dan di tangan Beelzebul, itu bukan sekadar senjata—itu adalah simbol dari kekuatan yang ingin dia lepas dari dalam dirinya.

     Morax menghela napas panjang. “Beelzebul, ini bukan tentang kekuatan atau siapa yang menang. Ini tentang saling memahami. Kamu sudah menunjukkan lebih dari cukup, tetapi jika ini yang kamu inginkan ....” Ia menggenggam tombaknya dengan mantap, siap untuk menerima tantangan Beelzebul, meskipun hatinya tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat satu sama lain, bahkan jika itu berarti mereka harus bertarung.

     Beelzebul, tidak menunggu lebih lama. Dalam sekejap, ia melesat dengan kecepatan yang luar biasa, tombaknya menyambar dengan kilatan petir yang memecah kesunyian malam. Namun, Morax, dengan keahlian dan ketenangannya, mengangkat tombaknya, menciptakan dinding tanah yang kokoh untuk menahan serangan itu. Gemuruh petir dan getaran tanah mengisi udara, menciptakan medan perang yang penuh dengan kekuatan yang saling bertubrukan.

     “Tidak ada yang bisa menghentikan petirku, Morax!” teriak Beelzebul, menatapnya dengan mata penuh semangat, seolah menantang Morax untuk mengalahkan kekuatan yang ia miliki. Tombaknya menyambar lagi, kali ini lebih cepat, lebih kuat, namun masih bisa dibendung oleh kekuatan Morax.

     Morax mengayunkan tombaknya, menghancurkan batu dan tanah yang menyelimuti medan mereka, menciptakan jalan bagi mereka untuk bertarung dengan bebas. “Kekuatanmu memang luar biasa, Beelzebul. Tapi kekuatan fisik bukanlah segalanya. Kamu perlu lebih dari itu untuk mengalahkanku.”

      Beelzebul terhenti sejenak, terkejut dengan kata-kata Morax. Di tengah percikan petir yang ia lepaskan, dia merasa sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih lembut dalam setiap gerakan Morax. Meskipun pertarungan mereka penuh dengan kekuatan dan taktik, ada ketegangan emosional yang tidak bisa disangkal.

      “Morax. Apakah kau takut aku akan mengalahkanmu?” tanya Beelzebul, dengan nada lebih lembut kali ini, meskipun kata-katanya tetap tajam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang ingin ia ungkapkan—sesuatu yang lebih dari sekadar adu kekuatan.

     Morax menatapnya dengan lembut, menghentikan tombaknya sejenak. “Beelzebul, aku tidak takut. Justru aku khawatir jika kau terlalu fokus pada kekuatanmu, kau akan melupakan yang lebih penting.”

     Beelzebul terdiam, perasaannya bergejolak. Dalam sekejap, ia melesat lagi, kali ini tombaknya tidak diarahkan untuk menyerang Morax, tetapi untuk menciptakan percikan cahaya yang terang, memantulkan sinar bulan ke arah Morax. Petir yang berkilau itu seakan mengungkapkan perasaan yang ia pendam dalam hati, meskipun ia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.

     Morax mengangkat tombaknya dan menghentikan serangan itu, mendekati Beelzebul dengan langkah tenang. “Aku tahu apa yang kau rasakan, Beelzebul. Kita berdua sudah lama mengarungi perjalanan ini bersama. Tetapi ada hal-hal yang lebih dalam dari sekadar kekuatan.”

     Beelzebul berhenti di depannya, nafasnya terengah-engah, matanya yang tajam kini lebih lembut. “Kamu selalu tahu apa yang aku rasakan, Morax. Tapi, kenapa kita selalu harus menghindar dari ini?”

     Morax menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ada senyum yang terbentuk di wajahnya. “Karena aku tahu, Beelzebul. Aku selalu tahu ... bahwa kita berdua akan selalu berada di sini—sekarang, dan di mana pun kita pergi.”

     Dengan langkah yang lebih dekat, Morax mengulurkan tangannya, menyentuh lembut ujung tombaknya ke tombak Beelzebul. “Dan aku akan selalu ada, di sini, di sana, dan di mana pun kita berada.”

     Beelzebul menatap Morax, rasa cemas dan kebingungannya mencair. Dalam detik itu, petir dan tanah bukan lagi simbol kekuatan, tetapi jembatan yang menghubungkan mereka—dua dewa yang saling memahami, meskipun tak pernah mengungkapkan perasaan mereka secara langsung. Beelzebul mengangguk, perlahan, dan dalam hatinya, dia tahu bahwa apa yang mereka miliki lebih dari sekadar sebuah pertarungan. Ini adalah kisah tentang dua jiwa yang saling mengisi, yang selalu ada satu sama lain, meskipun dunia mereka terpisah oleh kekuatan yang luar biasa.

     “Selalu, Morax,” bisiknya pelan, namun kata-kata itu terasa lebih dalam daripada apapun yang pernah mereka ucapkan sebelumnya.


***


      Setelah pertarungan sengit yang berlangsung begitu cepat dan memukau, kedua dewa itu berdiri di medan yang penuh dengan sisa-sisa dampak kekuatan mereka. Beelzebul, yang sebelumnya begitu percaya diri dan penuh semangat, kini tergeletak di tanah, kelelahan dan tak berdaya, napasnya yang cepat terdengar jelas di udara yang semakin sunyi.

     Morax berdiri beberapa langkah darinya, napasnya juga terengah-engah, meski tidak seburuk keadaan Beelzebul. Ia menatap Beelzebul yang terbaring, tidak ada rasa kemenangan di matanya—hanya rasa prihatin yang dalam. Meskipun dalam pertarungan itu ia berhasil mengalahkan Beelzebul, hati Morax tahu bahwa ini bukanlah akhir yang ia inginkan.

     Dengan langkah perlahan dan penuh hati-hati, Morax mendekat ke arah Beelzebul. Tangannya yang besar dan kokoh dengan lembut menyentuh pundak Beelzebul, memastikan bahwa ia masih bernapas. Beelzebul masih terbaring dengan mata tertutup, wajahnya memucat.

     Morax membungkuk sedikit, dan dalam sekejap, ia memanggil energi tanah untuk menciptakan alas lembut di bawah tubuh Beelzebul. Kemudian, ia perlahan mengangkat tubuh Beelzebul, membawanya ke tempat yang lebih aman, jauh dari reruntuhan batu dan tanah yang berguncang.

     Di bawah cahaya rembulan yang temaram, Morax merawatnya dengan penuh ketelitian. Ia menghapus debu dan keringat dari dahi Beelzebul dengan lembut, menyentuh wajahnya dengan tangan yang penuh perhatian, seakan mencoba meredakan rasa sakit yang diderita Beelzebul. Tangan Morax bergerak ke arah leher Beelzebul, menahan darah yang mengalir akibat benturan keras dalam pertarungan. Dengan tenang dan penuh kebijaksanaan, ia mengobati luka-luka kecil pada tubuh Beelzebul dengan kekuatan tanah yang ia mengobati luka-luka kecil pada Beelzebul dengan kekuatan tanah yang ia kuasai, memastikan agar Beelzebul merasa lebih baik.

     Beberapa saat kemudian, Beelzebul membuka matanya perlahan. Cahaya lembut dari bulan menyinari wajah Morax yang kini duduk di dekatnya, pandangannya penuh perhatian namun tidak menghakimi.

Beelzebul mengerjapkan matanya beberapa kali, kebingungan, dan tubuhnya terasa begitu lemah. "Tuan Morax..." suaranya serak, seperti berjuang untuk berbicara. "Aku... kalah?"

Morax tersenyum tipis, meski senyumnya lebih lembut dan tidak setegas biasanya. “Kamu lebih dari sekadar lawan yang tangguh, Beel,” jawabnya, nada suaranya tenang namun penuh pengertian. "Tapi, pertarungan ini lebih dari sekadar menang atau kalah. Kamu harus beristirahat sekarang."

Beelzebul mendorong sedikit tubuhnya, mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa begitu berat. “Aku… harus melawan lagi,” katanya, suaranya penuh tekad meskipun kelemahan menguasai tubuhnya. "Aku tidak ingin kalah begitu saja."

Morax mengangguk pelan, lalu meletakkan tangan di bahu Beelzebul, memberikan sedikit dukungan. “Tidak ada yang salah dengan beristirahat, Beelzebul. Kamu sudah berjuang lebih dari cukup. Biarkan aku merawatmu.”

Beelzebul merenung sejenak, matanya yang masih berkilat dengan tekad, meski ada sedikit kebingungannya. “Aku... tidak suka kalah. Tapi kamu juga tidak bisa membiarkanku begitu saja, Morax,” ujarnya, kini dengan sedikit kekesalan, meski nada suaranya masih lemah dan rapuh.

Morax tertawa pelan, suatu hal yang jarang terlihat darinya. Ia mengalihkan pandangannya sejenak, menenangkan diri, lalu berkata dengan penuh sabar, “Aku tidak akan membiarkanmu apa-apa, Beel. Aku akan memastikan kamu baik-baik saja.”

Beelzebul mendengus, matanya kini tertutup sebagian, seolah menyerah pada rasa lelah yang menguasai tubuhnya. "Aku tahu kamu begitu sabar, Morax," gumamnya, "Tapi tetap saja, tidak ada yang bisa mengalahkanku selain diriku sendiri."

Morax hanya mengusap lembut rambut Beelzebul, mengingatkan dirinya bahwa meskipun Beelzebul adalah dewa yang tangguh, di balik sikap keras kepala itu, ada seorang pribadi yang penuh dengan rasa hormat dan dedikasi. “Terkadang, kita harus mengakui bahwa kita tidak bisa berjuang sendirian,” katanya lembut, suaranya penuh dengan kebijaksanaan.

Beelzebul hanya tersenyum samar, walaupun kelelahan masih jelas terlihat di wajahnya. “Kamu benar... Tapi itu tidak akan membuatku lebih mudah menyerah, Morax.”

Morax menundukkan kepalanya sedikit, menatap mata Beelzebul dengan lembut. “Aku tahu,” jawabnya, “dan itu sebabnya aku akan selalu berada di sini, bahkan ketika kamu tidak memintanya.”

Beelzebul, dengan lemah namun penuh perasaan, akhirnya menutup matanya lagi, tetapi kali ini ada rasa tenang yang muncul. "Terima kasih," katanya pelan, suaranya mulai melunak. "Kau memang selalu ada untukku."

Morax tetap berada di sampingnya, memastikan bahwa Beelzebul bisa beristirahat dengan nyaman. Ia tidak mengatakan apapun lagi, hanya mengamati Beelzebul dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa meskipun ini bukan akhir dari pertarungan mereka, ini adalah saat ketika mereka benar-benar saling memahami.


***


     Saat fajar perlahan menyusup di balik horizon, langit yang gelap dan muram semalam mulai terbangun dengan warna-warna lembut, menandakan awal baru. Beelzebul terbangun dari tiduran panjangnya, masih merasakan sisa-sisa lelah yang menghantui tubuhnya. Matanya perlahan terbuka, dan ia melihat Morax duduk di sampingnya, masih berada di tempat yang sama, tidak bergerak, menatapnya dengan perhatian penuh.

Ia mengangkat sedikit tubuhnya, mencoba untuk bangkit, dan merasakan sakit di sekujur tubuhnya. "Aku..." kata Beelzebul dengan suara pelan, suaranya masih terdengar serak. Namun, sebelum ia bisa melanjutkan kata-katanya, Morax menghentikan gerakannya dengan lembut.

"Kamu harus beristirahat lebih lama," kata Morax dengan tenang, matanya yang tajam namun penuh kelembutan menatapnya. "Tubuhmu belum pulih sepenuhnya."

Beelzebul mengerjapkan matanya, masih merasa tak percaya dengan apa yang terjadi semalam. Pertarungan yang begitu sengit, penuh dengan kemarahan dan perasaan yang terpendam, berakhir dengan dia yang tergeletak tak berdaya. "Aku... merasa kalah," katanya, dan ada nada kecewa dalam suaranya.

Morax tersenyum kecil, senyum yang jarang muncul dari bibirnya yang keras. "Tidak ada yang kalah di sini, Beelzebul. Pertarungan ini lebih dari sekadar adu kekuatan. Ini tentang kita yang saling mengerti, meski tidak mengucapkan kata-kata."

Beelzebul mengangguk pelan, mengerti maksudnya meski masih ada perasaan yang belum sepenuhnya terselesaikan. "Kamu benar. Mungkin aku terlalu fokus pada kemenangan."

Morax menatapnya dengan lembut, lalu mengangkat tangan untuk merapikan rambut Beelzebul yang kusut. "Kemenangan bukan segalanya, Beelzebul. Kadang, untuk menang, kita harus tahu kapan harus berhenti dan memperhatikan apa yang ada di sekitar kita."

Beelzebul menunduk, memikirkan kata-kata Morax. Ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya kali ini—sebuah ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia selalu tahu bahwa Morax adalah sosok yang bijaksana, namun sekarang ia merasakan kedalaman dari kebijaksanaan itu.

Dengan lembut, Morax membantu Beelzebul untuk duduk, memberikan sedikit dorongan pada bahunya. "Kamu telah berjuang cukup keras. Sekarang, izinkan dirimu untuk menerima apa yang ada."

Beelzebul menatapnya dalam keheningan, merasakan jantungnya berdegup pelan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa tidak terbebani. Semua kekuatan yang ia miliki, yang dulu ia anggap sebagai satu-satunya cara untuk meraih segalanya, mulai terasa tidak cukup. Ada sesuatu yang lebih penting—hubungan yang telah terjalin di antara mereka, tanpa perlu kata-kata yang rumit. 

"Aku berterima kasih, Morax," kata Beelzebul akhirnya, dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya. "Karena selalu ada di sampingku, bahkan ketika aku tidak memintanya."

Morax mengangguk dengan senyum penuh pengertian, merasakan sesuatu yang lebih dalam menghubungkan mereka berdua. "Aku akan selalu ada, Beelzebul. Meskipun perjalanan kita berliku, aku akan tetap di sini, menemanimu, apapun yang terjadi."

Dengan pelan, Morax membantu Beelzebul untuk berdiri, berjalan bersama menyusuri medan yang penuh reruntuhan akibat pertarungan mereka. Mereka tidak perlu berbicara banyak. Ada keheningan yang nyaman di antara mereka, yang lebih berbicara daripada kata-kata.


Dan meskipun perjalanan mereka baru saja dimulai, satu hal yang pasti: Mereka akan selalu saling ada, baik dalam pertempuran atau dalam kedamaian.


Di saat itu, tidak ada lagi suara petir atau guncangan tanah yang memisahkan mereka. Hanya ada dua dewa, saling mengerti dan saling mendukung—meskipun dunia mereka penuh dengan kekuatan yang luar biasa, mereka tahu bahwa yang terpenting adalah saling memahami.



***



Komentar

Postingan Populer