Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

[Klee, No!!] Episode 3: Maaf ... eh?

 Senyum jahil Klee meluntur. Ekspresi ketakutan yang tak kunjung lenyap dari wajah para remaja itu membuat Klee badmood. Badmood yang benar-benar ... bad

Bocil pirang itu menyilangkan tangan di dada, lalu memalingkan kepala. “Huh! Kakak-kakak ini juga nggak seru. Lebih parah dari Tante Jean!” cemooh Klee, sambil menutup mata.

Meski begitu, tak terdengar reaksi apapun. 

Klee mengintip dari mata kanannya yang setengah terbuka. Namun ketika yang dilihatnya lagi-lagi ekspresi bingung-setengah-takut. Ekspresi yang sama dengan yang ia lihat sebelum matanya terpejam tadi.

Biasanya, atau mungkin dulu saat baru bertemu, setelah Klee bicara begini, reaksi yang dipanennya beragam. Ada yang syok dan pingsan seperti Kak Sucrose, hanya melongo seperti Kak Albedo, terbahak-bahak seperti Om Kaeya, mengomel seperti Tante Jean, menggeleng-geleng seperti Tante Lisa, atau malah yang hanya memutar bola mata seperti Om Diluc. Akan tetapi, semua itu seru untuk dipandang! Setidaknya, ekspresi mereka berubah, walau sedikit!

Atau orang-orang di kompleks rumah mamahnya Tante Jean yang memang aneh, ya?

Klee menghembuskan napas. “Kakak-kakak, coba dengar, ya! Ini adalah suara timer biasa. Bukan bom betulan. Sekali lagi, bukan!” katanya, disambi memainkan alarm —asal bunyi suara terkutuk mirip jangkrik tadi– di tangannya. “Dalam kata lain, prank!”

Xingqiu menaikkan satu alis. “Jadi, maksudmu adalah ...?”

Klee menunduk. “Aku ... maaf,” cicitnya.

Mendengar kata yang diucapkan Klee, meski dengan suara kecil, senyum Barbara mengembang. “Tak apa, Klee! Tentu saja kamu dimaafkan. Anak-anak memang suka bermain dan bercanda, ‘kan?” ujar Barbara.

Uh, Barbara, tapi bukannya buat guyonan bocah, itu kelewatan?” sahut Xingqiu.

Barbara mengangguk, lalu berkata, “Eung! Bahkan kalau kelewatan sekalipun.”

Noelle mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuk. “Yah, meski dia masih kecil, kalau Klee dapat konsekuensi seperti yang seharusnya didapat, kurasa aku nggak apa, sih.”

Oh, come on, Barb, Noé ....” desah Xingqiu.

“Asal dia dapat karma saja,” timpal Fischl sambil mengedikkan bahu. Ucapan Fischl satu ini sama sekali tak membuat hati Xingqiu melega.

“Bahkan kau juga, Fischl?!” Xingqiu memekik syok. “Astaga, ayolah, teman-teman ... segampang itukah kalian memaafkan bocil kematian yang hampir membunuh kalian dengan serangan jantung dadakan?”

Sekali lagi Fischl hanya mengedikkan bahu. Sementara Noelle tersenyum manis sambil mengacungkan ibu jari.

“Nggak apa, ‘kan, Qiu! Lagipula, Klee masih kecil. Kita sebagai yang lebih tua harus mengajari hal baik, ‘kan!” ujar Barbara dengan cerianya. 

“Hehe, memang kakak kuncir kembar terbaik!” seru Klee dengan girang, kemudian memeluk kaki Barbara.

Xingqiu hanya bisa mendengus melihat pemandangan yang menurutnya teramat menjengkelkan itu. Terkadang kepositifan Barbara yang kelewat batas itu memang mengerikan. Contohnya di situasi seperti ini! Ck.

Namun, belum lama chemistry di antara mereka terbangun, mereka kembali dikagetkan dengan suara tik, tik, tik yang familiar. Suara yang lebih mirip dengan timer bom. Jauh lebih horor daripada timer alarm kecil Klee.

“Oh!” pekik Klee, antusias.

“Eh ...?”

Setelah mengetahui kalau yang ini bukan ulah Klee, muka mereka memucat, tapi kali ini lebih parah daripada sebelumnya. Aura gelap menyelimuti masing-masing dari mereka, kecuali Klee. Mungkin kalau ada karakter komik yang bisa menggambarkan ekspresi mereka saat ini ... wajah ketakutan warga Shiganshina ketika pertama kali menyaksikan kengerian serangan titan di Paradis itu lumayan mirip.



Wkwkwkwk menurut kalian chapter ini gimana guyss? Makin dramatis, kah?😂

Komentar

Postingan Populer