Cari Blog Ini
Sebuah pojok fanfiksi berbahasa Indonesia, dibuat oleh penggemar untuk penggemar pula
Featured Post
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
50 Cara 'Tuk Curi Hatimu : Chapter 10 | ThomAya Prompt (ft. Jagoan Garuda)
Jagoan Garuda menatap Thoma dengan penuh keyakinan.
“Dengar baik-baik,” kata Childe. “Cara Kedua Puluh Tujuh ini bukan sekadar teknik biasa. Ini adalah seni.”
“Seni?” Thoma mengulang, skeptis.
“Ya,” Hanin menimpali. “Sebuah metode yang begitu tenang dan halus, tapi dampaknya tak terbantahkan.”
Yoimiya menyeringai. “Kami menyebutnya… kehadiran yang nyata.”
Bala menepuk pundak Thoma. “Intinya, kau tidak perlu melakukan sesuatu yang besar. Tidak perlu trik, tidak perlu aksi berlebihan. Kau hanya perlu ada di sana. Ada untuk Ayaka. Bahkan ketika dia tidak menyadari itu.”
Thoma mengernyit. “Dan bagaimana itu bisa membuat perasaan seseorang berubah?”
Childe mendengus. “Karena, manusia tidak selalu menyadari apa yang mereka butuhkan sampai hal itu menghilang.”
Thoma terdiam.
Kata-kata itu terasa menusuk.
Karena selama tiga hari terakhir, dia sendiri merasakan kekosongan itu—ketiadaan momen-momen kecil bersama Ayaka yang dulu terasa begitu biasa.
Mungkin… mungkin Ayaka juga bisa merasakannya?
Yoimiya tersenyum penuh keyakinan. “Jadi, Thoma, kau siap?”
Thoma menarik napas dalam. Kali ini, tanpa banyak rencana, tanpa trik aneh, ia hanya akan ada.
📝
Chapter X: Cara Keduapuluhtujuh
Keesokan harinya, Thoma kembali ke rumah keluarga Kusumadewa.
Ia tidak memaksakan percakapan. Ia tidak mencari-cari perhatian.
Sebaliknya, ia hanya menjalankan tugasnya seperti biasa. Diam, tapi ada.
Ia tetap membawakan teh untuk Ayaka di sela-sela belajarnya.
Ia tetap menyalakan lampu di ruang kerja saat melihat Ayaka terlarut dalam teks kuno.
Ia tetap menyediakan payung ketika hujan turun dan Ayaka lupa membawa.
Ia tetap ada, meskipun Ayaka tidak meminta.
Dan perlahan, sesuatu mulai berubah.
Ayaka, yang tadinya begitu fokus dengan studinya, mulai menyadari keberadaan Thoma lagi.
Awalnya, hanya sekilas. Tatapan yang lebih lama saat ia menerima cangkir teh darinya.
Lalu, gumaman terima kasih yang lebih pelan dari biasanya.
Hingga akhirnya, sore itu, ketika hujan turun dan Thoma berdiri di dekat pintu membawa payung ….
Ayaka akhirnya benar-benar melihatnya. Dia menatap Thoma dalam diam, lalu menghela napas kecil. “Kenapa kau selalu ada di sini?”
Thoma tersenyum kecil. “Karena aku ingin.”
Ayaka tidak langsung membalas.
Tapi kali ini, dia tidak mengabaikannya.
Dia mengambil payung itu, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, ia berjalan di samping Thoma.
Diam-diam, Jagoan Garuda yang mengintip dari kejauhan bertepuk tangan dalam diam.
Mereka tahu, Cara Kedua Puluh Tujuh sudah mulai bekerja.
📝
Thoma sudah siap untuk pulang ketika Ayaka tiba-tiba membuka pintu balkon ruang belajarnya lebih lebar.
“Kau masih di sini?” Ayaka bertanya, agak berteriak, agar Thoma mendengar suaranya. Alisnya sedikit berkerut melihat Thoma yang masih duduk di lantai, bersandar ke dinding.
Thoma menengadah, tersenyum kecil. “Sepertinya begitu.”
Thoma begitu melas di sana. Duduk berpeluk lutut dengan mantel setengah basah, dengan payung yang diapitnya di lengan. Ia terjebak di sana, hendak berjalan pulan pun tak bisa, hujan sudah terlalu deras untuk menempuh perjalanan. Kediaman Kusumadewa dan rumah pribadinya yang kecil bagaikan ujung ke ujung, meskipun di atas lembaran surat, alamat mereka masih ada di satu perumahan yang sama. Rumah kecil itupun hasil pemberian Mendiang Tuan Besar Kusumadewa yang sangat pengasih.
Ayaka menatapnya lebih lama, lalu matanya turun ke arah pakaian Thoma yang basah kuyup. “Kau kehujanan?”
“Hanya sedikit,” jawab Thoma ringan, meski sebenarnya ia benar-benar basah.
Ayaka menghela napas panjang, lalu sosoknya menghilang dari balkon ruang belajar itu.
Thoma sangat tahu diri dan sadar kalau ia amat tak pantas untuk dikhawatirkan oleh seorang Nona Muda. Maka dari itu, kini ia benar-benar menerima nasib dan menenggelamkan kepalanya di antara dua lutut.
Saat itulah, pintu kayu Kediaman Kusumadewa kembali terbuka, menampilkan seorang wanita dewasa muda dengan baju rumah warna biru mudanya. Ia menatap Thoma yang melas tak suka, lalu berkacak pinggang. “Kalau memang sudah tahu kehujanan, jangan duduk di situ! Nanti kau masuk angin, tahu!”
Sebelum Thoma sempat membalas, Ayaka sudah menarik pergelangan tangannya dan menyeretnya masuk ke dalam.
📝
Di ruang tengah, suasana sedang jauh dari tenang.
Abimanyu dan Arataki duduk di meja bundar, menatap setumpuk kartu poker dengan ekspresi tegang.
“Aku bersumpah ini bukan kecurangan!” Arataki berteriak, tangannya mengepal di udara. “Ini strategi, bro, strategi!”
“Strategi apanya?” Abimanyu membalas ketus. “Aku tahu kau menyelipkan kartu di bawah meja!”
“Tuduhan palsu!”
“Tanganmu jelas-jelas gerak mencurigakan tadi!”
Tapi yang lebih menarik perhatian Thoma adalah barang-barang yang ada di meja.
Di satu sisi, ada kumpulan kumbang eksotis yang masih hidup dan bergerak-gerak dalam wadah kaca.
Di sisi lain, ada koleksi taksidermi kupu-kupu dari berbagai spesies, tersusun rapi dalam bingkai kayu mahal.
Thoma mengerjap. “Tunggu… apa yang kalian pertaruhkan?”
“Apa lagi?” Abimanyu mendecak. “Koleksi kesayangan kami.”
Thoma menatap mereka seakan mereka sudah gila.
“Tapi kalau Arataki kalah, aku akan mendapatkan koleksi kumbangnya!” Abimanyu berkata penuh kemenangan.
“Aku tidak akan kalah, bro!” Arataki membantah, matanya menyala penuh semangat. “Aku sudah mengorbankan banyak hal untuk koleksi ini! Setiap kumbang punya nama, tahu! Ada si Tompel, si Kunyil, si—”
“Arataki.”
Ayaka memotong dengan suara datar, tangannya masih menggenggam pergelangan tangan Thoma. “Abimanyu, pinjamkan kamar mandimu untuk Thoma. Dan tolong ambilkan baju kering.”
Abimanyu menatap mereka, lalu ke tangan Ayaka yang masih menggenggam Thoma. Alisnya naik.
Arataki juga ikut melirik, kemudian tersenyum lebar. “Ohhh? Ada apa ini? Kenapa bergandengan tangan begitu?”
Thoma langsung mundur selangkah.
Sementara itu, Ayaka mendengus kesal. “Aku baru saja menyeretnya masuk, dasar!”
Abimanyu menatap Thoma lama, lalu tersenyum miring. “Tapi kau tetap basah kuyup saat dia menggandengmu.”
Ayaka memutar bola matanya. “Abimanyu Kusumadewa.”
Abimanyu terkekeh mendengar nama lengkapnya disebut. “Oke, oke, aku ambilkan,” sahut Abimanyu akhirnya, meski nada suaranya masih terdengar penuh ejekan.
Arataki, sementara itu, menatap Thoma dengan ekspresi pura-pura bijak. “Bro, aku harap kau sadar betapa beruntungnya dirimu saat ini.”
Thoma hanya menghela napas panjang.
📝
Beberapa saat kemudian....
Thoma berdiri di pinggir sofa, masih dalam keadaan basah kuyup dengan payung yang sudah tertutup di tangannya.
Di depannya, Arataki sudah menyerah pada permainan poker dan kini sibuk menonton TV. Ia duduk selonjoran, makan pop corn, dan menyesap soda dengan santai, seolah tidak ada hal serius yang baru saja terjadi.
Tak lama, Ayaka muncul dari dapur, membawa secangkir coklat hangat, lalu meletakkannya di meja di depan Thoma.
“Minum.”
Thoma menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih.”
Ayaka tidak menjawab. Ia hanya kembali ke dapur, lalu menghilang ke dalam kamarnya.
Thoma meraih cangkirnya, menghangatkan tangannya dengan uapnya yang masih mengepul. Saat ia hendak menyesap coklatnya, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk dari Jagoan Garuda.
[Jagoan Garuda]: Bro, ini saatnya.
[Jagoan Garuda]: Lakukan Cara Kedua Puluh Tujuh.
[Jagoan Garuda]: Jangan panik. Jangan terburu-buru.
[Jagoan Garuda]: Bantu dia dengan tulus. Tunjukkan bahwa keberadaanmu tidak untuk membebaninya, tetapi meringankan bebannya.
[Jagoan Garuda]: Dia sedang sibuk, bukan? Masuklah ke dalam dunianya.
Thoma membaca pesan-pesan itu berulang kali, lalu menoleh ke arah pintu ruang belajar Ayaka yang sedikit terbuka.
Benar.
Ayaka memang sedang sibuk.
Bukannya berdiam diri dan menunggu momen tepat, kali ini ia harus melakukan sesuatu.
📝
Di ruang belajar Ayaka
Setelah Thoma selesai mandi dan berganti pakaian yang lebih kering—baju milik Abimanyu yang sedikit kebesaran—ia berjalan ke ruang belajar Ayaka, menemukan gadis itu masih sibuk dengan tugasnya.
“Aku masih ingat tawaranmu kemarin,” kata Ayaka tiba-tiba, tanpa menoleh.
“Tawaran apa?”
“Kau bilang ingin membantuku.”
Thoma tersenyum kecil, lalu menarik kursi di seberang Ayaka dan duduk. “Tentu saja. Aku akhirnya bisa berguna juga, kan?”
Ayaka meliriknya sekilas, lalu menyerahkan salah satu teks lama yang tengah ia analisis. “Kalau begitu, coba lihat ini.”
Thoma menerima kertas itu dan membacanya perlahan. Ia bukan ahli dalam sastra Jepang, tapi ia bisa membaca, mengartikan, dan mencoba memahami apa yang sedang Ayaka pelajari.
Tanpa sadar, mereka mulai berdiskusi.
Ayaka menjelaskan beberapa bagian yang rumit, sementara Thoma mendengarkan dengan serius. Kadang ia menanyakan sesuatu, kadang ia memberikan pendapat.
Dan tanpa perlu usaha berlebihan, tanpa trik aneh-aneh, ia menyadari sesuatu.
Cara Kedua Puluh Tujuh memang benar.
Bukan tentang strategi.
Bukan tentang manipulasi.
Tapi tentang keberadaan.
Tentang menunjukkan bahwa dirinya benar-benar ada untuknya, dengan cara yang paling sederhana dan tulus.
Di sampingnya, Ayaka mulai terlihat lebih santai.
Dan bagi Thoma, itu sudah lebih dari cukup.
TO BE CONTINUED.
Tokoh 50 Cara 'Tuk Curi Hatimu
- Ayara Kusumadewi (Kamisato Ayaka) alias AYAKA
- Thomas Günther Schumacher (Thoma) alias THOMA
- Abimanyu Kusumadewa (Kamisato Ayato) alias ABIMANYU
Tokoh Pendukung
Kwarto Jagoan Garuda
- Hu Tao as Hanindya Putri Ramananda (Hanin)
- Naganogara Yoimiya as Naganohara Yoimiya (Yoimiya)
- Childe as Ajax Lyubovich Ledovsky (Childe)
- Scaramouche/Kunikuzushi as Khaizuran Balaaditya Saguntur (Bala)
Postingan Populer
Summer Fireworks — Genshin Impact Oneshot Fanfiction: Tomo, Kazuha, Yoimiya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Rekomendasi Manhwa Bertema Hubungan Ayah-Anak!
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar