Langsung ke konten utama

Featured Post

Senja hingga Fajar | The Unwelcome Guests of House Fildette "What If Scenario" Fanfiction | Dusk Till Dawn Songfiction

 "Hayleen," gumam Benedict, seraya mengucek matanya dengan tangan. Dikerjapkannya kedua netra itu untuk memperjelas pandangan, sementara jiwanya masih melayang setengah, entah ke mana. Beberapa saat kemudian, barulah Benedict terbelalak. Otaknya memastikan kedua mata Benedict terbuka lebar-lebar, membuka paksa akses logika yang bersarang di dalam sana.  Hayleen? Nama siapa itu? Terasa asing, tapi juga familier di saat yang sama. Bagaimana bisa aku merasakan ini ... , batin Benedict berkecamuk, mendebatkan suatu ketidakpastian yang terus berkecambah dalam benaknya. Kendatipun, Benedict berusaha mempertahankan senyum di wajah bagaimanapun caranya; ia telah belajar dari kesalahan masa lalu -- lebih tepatnya kompilasi kesalahan , sebab kesulitannya dalam mengontrol ekspresi ini kerap menjadi akar segala problematika dalam hidupnya. "Ayah, Ayah! Bangun!" Lagi, terdengar suara yang menjadi alasan Benedict memutar otaknya di pagi-pagi buta. Suara melengking anak perempuan.

Jalak dan Aku | Genshin Impact Oneshot Fanfiction: Raiden Ei



Kala itu, Ei kecil sedang bermain bersama teman-temannya di lapangan. Lebih tepatnya, saat ini mereka sedang bersiap untuk main petak umpet. Termasuk Makoto, sang saudari kembar, teman bermainnya ada 5, yaitu Saiguu, Chiyo, Sasayuri, dan Miko.

Meski berasal dari ras yang berbeda, keenam anak itu tetap semangat untuk dolan bersama.

"Sasayuri jadi!"

"Lagi, ya? Kasihan kau, kena apes terus. Haha!" ejek si rubah cilik bersurai putih, Saiguu.

Si bocah 

Giliran s"Ya Ampun, Pak. Saya nggak ngomong apa-apa, lho, Pak. Tolong jangan seret nama saya ke lumpur!" 

Namun akhirnya, Sasayuri menghela napas berat. Sebetulnya tidak lila hati kecilnya dibeginikan terus, mentang-mentang dirinya cowok sendiri. Protes? Ah, sudahlah. Lupakan soal protes. 

Sasayuri tak mau menambah julukan, yang awalnya hanya seorang boomer, malah jadi pengacau suasana. Bahkan perusak silaturahmi! Maka dari itu, yang bisa ia lakukan kini hanyalah menguatkan hati ... dan bersabar. :)

"Halo, ganteng! Namaku Ei, salam kenal!"

"Ei, salam kenal." Burung berbulu hitam itu membeo, mengulangi tiga kata terakhir Ei tadi.

Ei membelalakkan mata. Tentu ia terkejut sekaligus kagum dengan pengalaman barunya. "Gacor!" serunya sambil bertepuk tangan. Riangnya bukan main.

"Gacor, gacor, gacor!"

"Jadi siapa namamu?"

Namun alih-alih menjawab, burung tersebut justru mengulangi ucapan pertamanya tadi: "Ei, salam kenal."

"Mengecewakan! Kamu nggak jawab, berarti kamu nggak punya nama!"

"Eh, sekarang aku tau enaknya apa namamu! Gimana kalau ... Si Ganteng Jalak Gacor, panggilannya Jalak?"

"Bunda, Bunda! Aku pulang! Bunda, ayo lihat deh, aku bawa apa?"

"Bawa apa memang, Kak?"

"Jengjeng! Teman baru, namanya Jalak!" seru Ei, seraya mengeluarkan si burung hitam dari dalam jaket wolnya.

Nyonya Raiden melotot, kaget bukan main. “Ei, itu burungnya kenapa disimpan di dalam jaket!?” pekiknya panik.

“Biar lebih aman di dekapan Ei, Bunda! Nanti ada yang mau ambil dia dari Ei, gimana? Soalnya dia, ‘kan, tampan, gagah, dan berani!” Ei menjawab dengan begitu semangat.

“Ei, bukan gitu konsepnya ....!” Nyonya Raiden berseru tertahan, lalu menghela napas kasar.


S h i n a d a r a


Di umur dua puluh lima, Ei sudah lulus kuliah dan sudah bekerja. Namun, pertanyaan sang Ibu kini berganti dengan: "Kapan bawa mantu buat Bunda ke rumah?"

Lelah? Iya, lelah itu pasti.

Rasa muak pun turut menghampiri batin tiap kali pertanyaan terkutuk itu menyapa gendang telinga.

"Aduh, putri sulungnya Bunda. Cantik sekali," ujar Bunda yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.

Mendengar sapaan asing dari ibunda, Ei mengerutkan dahi. Kemudian mengusap dan mengedipkan mata berulang kali. Dirinya tak percaya kalau komplimen itu dilontarkan oleh sosok yang melahirkannya.

"Ah, kalau kamu manusia udah kupacarin kali, Jal. Soalnya cuma kamu yang paling pengertian, hahaha."

"Sama. Kalau aku manusia juga pasti kita sudah jadi kekasih, Ei."

"Hahahaha! Bisa aja kamu!"


Sementara itu Tuan dan Nyonya Raiden, di teras kediaman Raiden ....

"Yah, lihat tuh anak kita. Kelamaan jomblo, dia malah ketawa-ketiwi bareng burung kicau!"

"Memangnya kenapa? Zaman sekarang itu pacaran justru dijadikan kedok buat melecehkan oleh oknum-oknum yang sesat. Bukannya senang anaknya terhindar dari begituan."

"Kok mikirnya gitu? Saya begini juga karena peduli."

"Peduli kok memaksa?"

"Terus situ maunya suruh saya gimana?"


S h i n a d a r a


Rambut hitam, pun mata kuning keemasan nan indah. Benar-benar mengingatkannya akan si Jalak.

Namun, Jalak sang sahabat yang ia kenal merupakan seekor burung ... dan bukannya manusia.

"Ja ... lak?" Kendati tengah diselimuti keraguan, Ei tetap berusaha untuk memanggil nama yang terlintas di benak.

Namun, sosok itu justru menyunggingkan senyum manis. Lalu berujar, "Itu benar, Ei. Aku Jalak, sahabatmu."

"Dan aku kemari untuk menepati janji yang selalu kuocehkan itu."

Ei tertawa sinis. Logikanya menolak untuk mempercayai semua ucapan. Lagipula kemunculannya yang mendadak itu juga patut dicurigai. Baginya, pria ini hanya sedang mendongeng. Membual.

"Lihat gelang cringe ini?"

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer