Langsung ke konten utama

Featured Post

Ashes Under the Aspen | Genshin Impact Fanfiction: MavuiTano / CapUika ( Mavuika x Capitano ) — America Colonization AU

    Hutan aspen di kaki Pegunungan San Juan tunduk pada kesunyian kala cahaya rembulan menyinari jagat. Dedaunannya berdesir pelan seperti desahan roh-roh tua bersahutan. Batang-batang putihnya menjulang bak jemari para dewa yang lupa bagaimana rasanya menyentuh bumi. Tahun di catatan sejarah telah menginjak angka 1908, rel kereta telah mulai menggigit pinggiran barat Colorado.  Sungai Arkansas mengalir lambat saat matahari terbenam, membelah tanah merah dan hutan pinus menjadi dua dunia yang tak pernah saling bicara. Di sisi timur berdiri kokoh kediaman keluarga Hadleigh, bangsawan kulit putih, pemilik tanah, pemegang kontrak dagang, dan peluru. Di sisi barat, di balik bayang-bayang pohon aspen, hidup suku Tetsune—para penjaga gunung, peramu hujan, dan pewaris bumi—jauh sebelum peta-peta dibuat. Kendati dunia luar sudah berubah mengikuti perkembangan zaman, masih ada satu sudut kecil yang belum terjamah modernisasi. Tempat itu tidak tergambar dalam peta manapun, tidak di...

Sparkle in Your Eyes

———



• all characters belongs to miHoYo
• contains Zhongli x Ei/Morax x Beelzebul ship
• OOC
• fluff

———
Sparkle in Your Eyes
by Shinadara
————


Sambil menggenggam erat selembar brosur di tangan, Ei berjalan dengan bersenandung ria di sepanjang langkahnya. Moodnya sedang sangat bagus hari ini. 

Brosur itu berisi tentang informasi jadwal Festival Akhir Musim Panas, yang diadakan selama 7 hari, 7 malam, dan dengan 7 budaya! Festival besar yang diadakan 5 tahun sekali karena besarnya anggaran.

"Mau datang ke sini bareng, 'gak?"

Sebenarnya waktu itu Ei mau jawab, "Mau, Kak! Mau banget!" saja. Tapi karena masih sadar gengsi dan image, ia hanya mengangguk dengan senyuman terulas di wajahnya. Ia lebih memilih untuk menyembunyikan antusiasme berlebihnya.




Di apartemen kecil mereka yang cukup rapi—kecuali meja ruang tamu yang penuh dengan kaset game dan sisa camilan—Ei berdiri di dapur, menuangkan susu ke dalam mangkuk serealnya. Matanya menatap kosong ke arah meja, pikirannya masih dipenuhi dengan ajakan Zhongli ke festival.

Mau datang ke sini bareng, ‘gak?

Iya!

Seharusnya ia langsung menjawab seperti itu saja, kan? Tapi tidak, dia malah cuma mengangguk sok tenang. Bodoh.

"Aduh—!"

Suara cipratan cairan memenuhi dapur. Ei tersentak keluar dari lamunannya, menunduk hanya untuk melihat susunya sudah meluber, mengalir ke meja dan menetes ke lantai.

Di ruang tamu, Scaramouche yang sedang fokus main PS mendesah keras. "Astaga, Te, bisa nggak sih kau diem sebentar? Aku lagi mau masuk final round, nih!"

"Tahu nggak sih? Aku tuh, barusan aja, tumpahin susu," kata Ei, lebih ke bicara pada dirinya sendiri.

Scaramouche masih asyik menekan tombol kontroler, tapi satu alisnya terangkat. "Bagus. Aku sebenarnya mau pakai susu itu buat masak sesuatu."

"Ya maaf," gerutu Ei, buru-buru meraih lap.

Suasana kembali hening selama beberapa detik, hanya diisi suara karakter game Scaramouche yang bertarung di layar. Tapi lalu, tanpa berpaling dari game-nya, Scaramouche menambahkan, "Jadi, ini karena Zhongli, ya?"

Gerakan Ei berhenti sejenak. "Apa?"

"Kau senyum-senyum sendiri, terus jadi bego gini. Pasti gara-gara Zhongli."

Ei mengerjap, lalu buru-buru kembali mengelap meja. "Ngawur."

"Hah, terserah." Scaramouche mendengus kecil. "Tapi kalau nanti kau berakhir jadi babu gratisan di festival, jangan salahkan siapa-siapa."

Ei melempar serbet ke arah kepalanya.

"Kau kenapa, sih, Te? Kuperhatikan senyum-senyum melulu dari tadi, serem."

"Ukh, panggil aku Kak, dong! Jarak umur kita gak sampai sepuluh tahun, tau!"

"Nye, nye, nye." Scaramouche memutar bola mata, malas.







Setelah mengelap sisa susu yang tumpah, Ei duduk di meja dapur dengan mangkuk serealnya yang setengah penuh. Matanya menatap kosong layar ponselnya, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja tanpa tujuan.

Pesan dari Zhongli yang berisi ajakan ke festival masih ada di sana. Tidak ada tekanan apa pun dalam cara Zhongli menanyakannya, tetapi justru karena itu, Ei semakin berpikir keras.

Kalau ia mengiyakan sekarang, apakah itu tidak terlihat terlalu… antusias?

Tapi kalau terlalu lama, jangan-jangan Zhongli menganggapnya tidak tertarik?

"Astaga, Te, mau makan sereal aja mikir kayak soal ujian."

Ei mendongak. Scaramouche sudah berdiri di belakang sofa, menatapnya dengan ekspresi malas. 

"Kalau mau pergi ke festival bareng Zhongli, tinggal bilang iya aja. Ribet amat."

Ei mendelik. "Aku nggak ribet."

"Hah? Dari tadi kau udah kayak patung di situ."

Sebenarnya, Scaramouche ada benarnya. Ei menarik napas dalam, lalu mulai mengetik sesuatu. Ia menatap pesan itu selama beberapa detik sebelum akhirnya menekan send.

Aku ikut.

Tidak ada emoji, tidak ada tambahan kata-kata lain. Seperti sedang mencoba menyamarkan ketegangan yang aneh ini. Tapi begitu pesan terkirim, Ei buru-buru membalikkan ponselnya, seakan tidak mau melihat balasannya.

Scaramouche, yang menyaksikan semua ini, hanya menghela napas dan kembali ke PS-nya.











Malam festival akhirnya tiba. Ei berdiri di depan apartemen, memakai kimono sederhana yang tidak terlalu mencolok tetapi tetap anggun. Tangan kecilnya menggenggam tali balon merah yang ia beli sendiri—bukan karena takut tersesat, tentu saja, tapi lebih karena kebiasaan festival.

Dari kejauhan, lampu-lampu jalan menerangi sosok tinggi dengan jas santai dan scarf tipis di lehernya. Zhongli.

"Menunggu lama?" tanyanya begitu ia sampai.

Ei menggeleng cepat. "Nggak."

Zhongli tersenyum kecil. "Ayo."

Tapi sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara Scaramouche terdengar dari arah apartemen.

"Oi, pulangnya jangan kemalaman!" teriaknya dari jendela lantai dua. "Jangan aneh-aneh juga!"

"Diam kau!" Ei balas berteriak, wajahnya mulai panas.

Zhongli hanya terkekeh, melirik sekilas ke arah jendela sebelum kembali menatap Ei. "Dia cukup perhatian, ya?"

Ei mendengus, sementara di atas sana, Scaramouche masih bersungut-sungut, menatap mereka sampai akhirnya menghilang di ujung jalan.









Cahaya lentera kertas berwarna-warni menghiasi jalanan, sementara wangi manisan tradisional dan suara alat musik khas setiap budaya memenuhi udara.

Di antara keramaian, Ei berjalan dengan langkah ringan, balon merah terikat di pergelangan tangannya. Sejak sore tadi, ia dan Zhongli telah mengunjungi berbagai stan, mencicipi makanan, serta menonton pertunjukan seni dari berbagai daerah.

"Aku masih heran kenapa kita harus bawa balon begini," Zhongli menghela napas kecil, memandang balon emas yang ia pegang.

"Agar kau tidak hilang," Ei terkikik. "dan juga supaya kau bisa menemukanku kalau aku tersesat."

Zhongli menggeleng pelan, tetapi tak menampik bahwa ide itu cukup masuk akal. Festival ini begitu luas dan ramai; setiap sudut penuh dengan lautan manusia. Jika mereka terpisah, balon-balon ini akan menjadi penanda.

Mereka berhenti di salah satu stan yang menjual pernak-pernik khas. Mata Ei tertarik pada sebuah pin berbentuk naga kecil dengan ukiran detail di atasnya. Sekilas, pin itu mengingatkannya pada Zhongli—anggun, klasik, dan penuh kharisma.

Tanpa berpikir panjang, Ei membelinya.

"Apa itu?" tanya Zhongli ketika Ei kembali dengan senyum misterius.

"Bukan apa-apa," jawab Ei santai, lalu dengan cepat menyematkan pin itu di kerah jas Zhongli. "Sekarang milikmu."

Zhongli menatapnya sejenak, kemudian menyentuh pin tersebut. Wajahnya terlihat terkejut, tetapi kemudian ia tersenyum kecil—senyum yang jarang ditunjukkannya.

"Tidak perlu repot-repot, Ei," ucapnya lembut.

"Tidak repot," Ei menatapnya dengan mata berkilau. "Aku hanya berpikir ini cocok untukmu."

Malam semakin larut, tetapi mereka masih berjalan berdampingan, tangan Ei menggenggam erat benang balonnya. Balon emas milik Zhongli pun tetap melayang di udara, menjadi saksi diam dari kilauan yang terpancar di mata mereka berdua.









Udara malam semakin dingin dan festival mulai mereda. Para pedagang sibuk membereskan stan mereka, sementara pengunjung berangsur-angsur meninggalkan area festival. Lentera-lentera masih berpendar di sepanjang jalan, memberikan nuansa hangat di tengah malam yang mulai larut.

Zhongli melirik jam tangannya. "Sepertinya sudah waktunya kita pulang."

Ei, yang masih sibuk mengamati lampion-lampion di langit, menghela napas pelan. "Padahal masih pengen lihat-lihat lebih lama…"

"Tapi kita sudah cukup lama di sini," ujar Zhongli lembut. "Lagipula, aku tidak ingin kau dimarahi begitu kembali ke apartemen."

Ei mengerucutkan bibirnya, mengingat Scaramouche yang pasti sudah bersiap dengan ceramah panjang lebar. "Iya, iya. Ayo pulang."

Mereka mulai berjalan beriringan, sesekali masih melirik suasana festival yang mulai sepi. Di sepanjang jalan, Ei tidak bisa menyembunyikan senyum yang terus terulas di wajahnya.

Zhongli menoleh, memperhatikan ekspresi cerah Ei di bawah sinar rembulan. Ia ragu sejenak, sebelum akhirnya bertanya, "Gimana hari ini?"

"Seru!" jawab Ei dengan penuh semangat.

Melihat senyuman cerah Ei di bawah pantulan sinar rembulan, tanpa disadarinya diam-diam Zhongli ikut tersenyum. Hanya melihat Ei seperti ini saja sudah cukup baginya.


Kilauan di matamu itu, benar-benar membuatku mabuk.












Saat mereka hampir sampai di depan apartemen, terdengar suara familiar dari lantai atas.

"Oi, akhirnya pulang juga!" Scaramouche sudah bersandar di jendela, menatap mereka dengan ekspresi setengah mengantuk, setengah kesal. "Kalian tahu jam berapa ini? Aku hampir nelfon buat ngecek kau masih hidup atau enggak!"

Ei mendengus, berusaha menahan tawa. "Aku nggak sejauh itu, tahu?"

"Ya, tapi tetap aja!" Scaramouche menatap Zhongli sejenak, sebelum kembali menatap Ei dengan tatapan penuh tuduhan. "Kau belum pernah pacaran, tapi tiba-tiba pergi semalaman sama cowok. Aku berhak curiga."

Wajah Ei langsung memanas. "Itu bukan urusanmu!"

Zhongli hanya tertawa kecil, sementara Ei dengan cepat menarik tangannya ke dalam apartemen sebelum Scaramouche bisa mulai ceramah lagi.









Zhongli menatap pintu apartemen Ei yang baru saja tertutup. Ia tersenyum kecil, lalu menghela napas sebelum melangkah pergi. Langkahnya tenang, tapi pikirannya masih dipenuhi bayangan senyum cerah Ei di bawah cahaya lentera tadi.






Di dalam apartemen, Ei bersandar di pintu, mencoba mengatur debar jantungnya. Wajahnya masih terasa hangat, pikirannya masih dipenuhi kilasan momen sepanjang malam ini. Ia tersenyum sendiri.

"Astaga, lihat dirimu."

Ei mendongak, hanya untuk menemukan Scaramouche berdiri di ambang pintu kamarnya, tangan terlipat di dada dan ekspresi penuh kemenangan di wajahnya.

"Kau senyum-senyum sendiri kayak orang jatuh cinta," lanjutnya dengan nada menggoda.

"Diam kau!" Ei buru-buru berjalan ke dapur, berusaha menyibukkan diri, tapi Scaramouche dengan sigap mengikutinya.

"Aku benar, kan? Kau jatuh cinta."

"Tidak!"

"Jelas-jelas iya."

Ei mengambil gelas dan menuangkan air, berharap bisa mengabaikan kakaknya yang semakin menyebalkan. Tapi Scaramouche tidak berhenti di situ.

"Jadi? Kapan pernikahannya?" tanyanya dengan nada polos yang jelas dibuat-buat.

Ei hampir tersedak. "Scara!"

Scaramouche tertawa puas. "Hei, hei, aku cuma ingin memastikan kau nggak dibodohi."

"Zhongli nggak begitu!"

"Iya, iya. Bucin."

Ei mendengus, meneguk airnya dalam diam. Tapi di dalam hati, ia tahu—bahkan dengan segala godaan dan keisengan Scaramouche—malam ini adalah malam yang tidak akan ia lupakan begitu saja.


Komentar

Postingan Populer